MELEPAS TUKIK PENYU SISIK PULAU HOAT DI BENING PERAIRAN MALUKU TENGGARA
Oleh: Syarif Yulius Hadinata (Marine Species Assistant for Inner Banda Arc Subseascape, WWF-Indonesia)
“Ini musim ombak kencang, hanya satu sarang penyu sisik yang menetas 25 Februari kemarin, sementara dua sarang lainnya hilang tersapu ombak,” cerita Wilhelmus Ohoiwutun, anggota kelompok nelayan ‘Hoat Indah’. Kelompok nelayan ini tergabung dalam jejaring pembudidaya rumput laut ‘Penyu Lestari’ dampingan Project Inner Banda Subseascape WWF-Indonesia di Pulau Hoat, Maluku Tenggara. “Ada total 77 tukik dari satu sarang yang menetas ini,” tambah kawannya, Esebius Kanarubun, pada acara pelepasliaran tukik sore itu (28/02/2017).
Pada Januari lalu, sebanyak tiga individu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) menyambangi Pulau Hoat untuk bertelur. Biota yang dilindungi ini dikenal dengan nama teteruga kerang oleh masyarakat pesisir perairan Kepulauan Kei. Selang sebulan, setelah pelaporan penetasan oleh anggota kelompok nelayan Hoat Indah, tukik-tukik yang telah menetas dilepasliarkan ke lautan – tempat mereka nantinya tumbuh dan berkembang.
Nelayan ‘Hoat Indah’ memang menjadi salah satu kelompok yang aktif melestarikan sumber daya alam. Tak hanya memanfaatkan alam dengan pembudidayaan rumput laut ramah lingkungan di Pulau Hoat dan Nai, mereka juga terlibat dalam mengawasi zona inti di Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K), Taman Pulau Kecil (TPK), Pulau Kei Kecil, Pulau-pulau, dan Perairan sekitarnya di Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) Provinsi Maluku.
Kelompok nelayan yang mendiami Ohoi (desa) Debut dan dikukuhkah pada 28 April 2016 ini menjadi salah satu penjaga perairan. Menjaganya dari tindak kejahatan illegal fishing serta penangkapan dan perdagangan satwa dilindungi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Contohnya, dengan melakukan pelaporan terhadap kejadian langka atau pelanggaran yang ada. Termasuk melaporkan penetasan telur penyu yang mereka temukan saat sedang melakukan aktivitas budidaya rumput laut.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, Nico Ubro, dan Project Leader WWF Indonesia – Inner Banda Arc Subseascape (IBAS), Hero Ohoiulun, hari itu turut melepasliarkan tukik-tukik penyu sisik ini. “Pelepasliaran tukik yang telah menetas ini, adalah cara kecil masyarakat Maluku Tenggara berkontribusi pada upaya pelestarian alam, khususnya perlindungan penyu di TPK Kei Kecil dan Pulau-pulau dan Perairan Sekitarnya ini,” tutur Nico Ubro. “Agenda ini bahkan bisa menjadi salah satu rangkaian acara Festival Meti Kei, event pariwisata tahunan kita bersama,” ungkapnya kemudian.
Di samping izin pemerintah, menjadikan pelepasan tukik sebagai atraksi wisata harus sesuai dengan kaidah Code of Conduct; Peraturan Pemerintah No. 8/1999 dan No. 60/2007 danKesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Wisatawan harus memahami prosedur, konservasi dan biologi laut. Misalnya,tukik dilepas harus sesaat setelah menetas karena masih memiliki penyimpanan energi berupa kuning telur di dalam tubuhnya untuk berenang tanpa henti (swimming frenzy) dan menghindari predator. Kecuali bagi tukik yang masih lemah, harus menjalani rehabilitasi selama 1-2 hari.
Pelepasliaran sebaiknya dilakukan setelah matahari terbenam atau menjelang matahari terbit untuk menghindari predator, dengan jarak yang diupayakan sama seperti dari sarang ke laut. Wisatawan tidak boleh membantu tukik dengan mengangkatnya ke laut, juga tidak boleh menggunakan senter, kecuali untuk memastikan semua tukik telah sampai ke laut lepas. Dengan kaidah-kaidah ini, tukik-tukik yang dilepas akan `menemukan jalan terbaiknya ke laut – tak hanya dari pesisir Pulau Hoat, tapi pulau-pulau lainnya di Indonesia.