SEKOLAH TAMBAK KE- 7: TINGKATKAN PEMAHAMAN PETAMBAK UDANG TENTANG BENUR DAN PENANGANAN PASCAPANEN
Oleh: Zulkarnain, Fasilitator Lokal Aquaculture Improvement Program (AIP) Udang, WWF-Indonesia
Sudah lima bulan sejak Sekolah Tambak ke-6 digelar WWF-Indonesia di Desa Tasiwali’e, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Rangkaian pendidikan non-formal bagi pembudidaya udang di Kawasan Minapolitan Lowita, Kecamatan Suppa ini telah dimulai sejak tahun 2015.
Sekolah Tambak membekali para petambak dengan dasar teori akuakultur, dan menjadi wadah bagi mereka bertukar informasi. Meningkatnya pemahaman petambak mengenai budidaya udang akan berdampak pada perbaikan pengelolaan tambak dan lingkungan. Inilah yang menjadi misi besar Sekolah Tambak, hingga pertemuannya yang ke-7.
Sejumlah 34 peserta hadir di kantor Desa Tasiwali’e hari itu (7/3) untuk mengikuti Sekolah Tambak ke-7. ‘Penanganan Benur yang Baik dan Penanganan Udang Pascapanen’ – begitu tema kelas kali ini. Mereka yang siap belajar hari itu adalah pembudidaya udang windu Kelompok Phronima - dampingan WWF-Indonesia sejak 2014 - dan pembudidaya udang Kecamatan Suppa.
Di desa yang mengandalkan pendapatan dari tambak-tambak udang dan ikan bandeng ini, persoalan gagal panen akibat penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya penyakit masih menjadi hal yang dikeluhkan. Setengah mati pembudidaya berusaha meningkatkan produktivitas tambak budidaya udang windu dan udang vannamei secara tradisional dan tradisional plus, didampingi oleh kami, fasilitator WWF-Indonesia.
Sebagai narasumber, Ir. Taufik Sabir (pengusaha hatchery udang, Benur Utama) dan Jenny Adiyaningtyas (Marketing Staff, Fish n’ Blues (FnB) berbagi ilmunya seputar benur dan penanganan pascapanen.
“Benur yang berkualitas baik berasal dari induk yang berkualitas baik pula. Induk udang harus dalam kondisi sehat dengan organ tubuh lengkap,” papar Taufik. Ia menjelaskan mengenai faktor genetik sebagai salah satu penentu kualitas benur.
Selain faktor genetik, kualitas benur juga bergantung pada praktek pemeliharaan induk dan benur yang baik, termasuk kualitas pakan yang diberikan. Kalau soal pakan, Kelompok Phronima boleh berbangga dengan pakan alami phronima, krustasea kecil (were’), yang menjadi salah satu faktor alah pendukung budidaya udang windu secara tradisional di Tasiwali’e.
Salah satu ciri-ciri benur yang baik adalah ketahanan terhadap penyakit. Sebagai upaya pencegahan dan deteksi dini virus WSSV (White Spot Syndrom Virus), pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dilakukan pada induk udang.
“Saat ini, Dinas Perikanan Pinrang telah menyediakan alat uji PCR secara gratis, tinggal kita mau menggunakannya atau tidak,” ujar Taufik. Soal benur, tak ketinggalan, petambak juga belajar pemanenan dan pengangkutan benur yang baik, agar kualitasnya tidak menurun.
Ilmu mengenai benur ini bukan satu-satunya hal yang dibahas pada Sekolah Tambak hari itu. Jenny dari perusahaan perikanan berkelanjutan, Fish n’ Blues (FnB), memaparkan hal yang menarik perhatian para pembudidaya. FnB berkomitmen untuk hanya membeli produk yang melalui proses penangkapan atau pembudidayaan yang baik, dengan menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan.
“FnB akan memberi persenan sebesar 2,5% dari total pembelian udang kepada kelompok petambak ramah lingkungan,” papar Jenny. “Dana itu dapat digunakan untuk penguatan kelembagaan, serta penyediaan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk peningkatan kualitas produk,” katanya lagi.
Hal ini jelas memotivasi pembudidaya untuk terus memperbaiki produk hasil tambaknya. Selama ini, salah satu sumber produk udang FnB, adalah udang yang dibudidayakan Kelompok Phronima. Udang milik Kelompok Phronima telah menerapkan metode Better Management Practices (BMP) yang diperkenalkan oleh WWF-Indonesia sejak tahun 2014, dan dianggap sudah memenuhi standar kualitas udang.
Jenny tak lupa memaparkan kualitas udang yang baik – segar, dengan mata hitam mengkilat, dengan kulit melekat pada daging padat, tidak berlendir. Proses pengiriman udang juga harus sesuai dengan standar operasional FnB, agar kualitasnya tidak menurun. Saya optimis, dengan Sekolah Tambak, akan lebih banyak udang-udang Pinrang berlabel Fish n’ Blues yang sampai ke meja makan kita.