SECERCAH HARAPAN UNTUK KELESTARIAN PENYU
Oleh : Agri Aditya Fisesa
Jakarta (11/07) – Hermanto (33 tahun) memarkirkan sepeda motornya di tepi pantai setelah melihat jejak penyu yang naik ketika ia sedang patroli pengamanan di pantai peneluran penyu, Kecamatan Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Malam itu, Senin (02/07) adalah jadwal kelompoknya bertugas.
Herman, demikian ia biasa disapa adalah anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kambau Borneo. Bersama kelompok inilah, ia menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli pengamanan sekaligus pendataan penyu yang naik ke pantai untuk bertelur.
Perlahan ia menyusuri jejak yang terbentuk di pasir putih tersebut. “Tolong matikan rokoknya Mas, penyu sensitif sama cahaya,” katanya saat kami sudah mendekat ke reptil yang telah melewati jutaan tahun evolusi ini. Penyu memang peka terhadap cahaya dan gangguan-gangguan lainnya. “Jika merasa terganggu, maka ia akan urung untuk bertelur. Paling aman untuk mengamatinya adalah saat penyu sudah mengeluarkan telur-telurnya, menimbun dengan pasir dan saat ia akan pulang ke laut,” tambahnya.
Penyu yang naik adalah jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas). Jumlah telurnya persarang kurang lebih mencapai 113 butir. Sebelum Herman turun ke lapangan, ia telah dibekali dengan pengetahuan dan pelatihan tentang spesies laut ini.
Pokmaswas Kambau Borneo didirikan tanggal 25 Mei 2011 dengan anggota sebanyak 26 orang. Pembentukan kelompok ini diprakarsai oleh masyarakat Paloh yang prihatin dengan maraknya perdagangan ilegal telur penyu dan semakin sedikitnya penyu-penyu yang naik ke pantai peneluran. Mereka memiliki kepedulian yang sama, bagaimana menjaga kelestarian penyu Paloh, melindungi spesies langka itu dari para pemburu telur penyu.
Walaupun usia kelompok ini relatif muda, tidak demikian dengan prestasi membanggakan yang telah ditorehkan. Untuk musim puncak peneluran tahun yang lalu, anggota kelompok ini berhasil mengamankan sarang sebanyak 95% dari jumlah penyu yang naik untuk bertelur. Ini merupakan suatu usaha yang patut diacungi jempol mengingat anggota kelompok ini tidak digaji selama bertugas. “WWF berusaha mendampingi kelompok ini dengan bantuan berupa logistik dan transportasi selama mereka bertugas,” tutur Dwi Suprapti, Koordinator WWF-Indonesia Program Paloh.
Tantangan yang dihadapi selama bertugas juga terbilang tidak mudah. Mereka harus menghadapi para pemburu telur penyu yang selalu berganti-ganti modus operasi agar bisa mengelabui para petugas. Pergulatan batin juga kerap dialami ketika yang dihadapi adalah sesama masyarakat, baik tetangga maupun saudara atau keluarga. Mereka juga sering mendengar tudingan yang miring tentang pekerjaan ini. Namun semua bisa mereka atasi. Usaha yang gigih selalu akan membuahkan hasil.
Sambil menunggu penyu menggali sarang, kami duduk dan berbincang memandangi lautan. Berkisah tentang pemikiran yang sering hinggap dibenaknya. “Ini milik kami, siapa lagi yang akan menjaganya agar tetap lestari? Jangan sampai generasi mendatang hanya bisa mendengar cerita tentang penyu-penyu di Paloh. Perlu adanya penyadaran ke masyarakat dan ini tidaklah mudah,” ungkap Herman. Dari ketegasan suaranya ada sebuah keinginan yang kuat. Dimana harapan akan jejak masa depan Penyu Paloh terekam di sepanjang pasir putih seiring dengan langkah kecil para tukik menuju cakrawala untuk mengarungi samudera.