REWARD TRIP KE SITUS TERTUA
Pada saat berkunjung ke salah satu sekolah bersama Panda Mobile, saya bercerita tentang satwa-satwa yang dilindungi WWF-Indonesia. “Jadi adik-adik, satwa payung ada enam, salah satunya badak. Di Indonesia sendiri badak ada dua jenis yaitu Badak Jawa dan Badak Sumatra. Badak Jawa sendiri habitatnya ada di ujung barat Pulau Jawa tepatnya di Ujung Kulon.” Lalu ada seorang anak yang bertanya, “Memangnya kakak pernah lihat badak?” Mendengar pertanyaan tersebut saya jadi teringat kunjungan ke habitat Badak Jawa beberapa waktu yang lalu.
Setelah bergabung menjadi volunteer Panda Mobile dari tahun 2015, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu site tertua WWF-Indonesia yang terletak di Ujung Kulon. WWF-Indonesia sendiri telah melakukan konservasi Badak Jawa di Ujung Kulon sejak 1962. Kesempatan itu datang kepada saya dan Raisha sebagai volunteer dengan jam terbang tertinggi di tahun 2019. Reward trip ke Ujung Kulon tersebut merupakan apresiasi dari WWF-Indonesia atas kontribusi kami dalam usaha konservasi dan edukasi bersama Panda Mobile.
Jumat, 20 September 2019, saya dan Raisha berkumpul di Graha Simatupang untuk berangkat ke Ujung Kulon bersama para staf dan tim WWF-Indonesia lainnya. Perjalanan panjang dan melelahkan kami lewati untuk sampai ke sana. Setibanya di lokasi, kami disambut oleh Mang Oji selaku Restoration Officer WWF-Indonesia Project Ujung Kulon. Mang Oji menceritakan karakteristik flora dan fauna di Ujung Kulon. “Di sini bukan hanya ada Badak Jawa, tetapi juga ada banteng, kucing hutan, owa dan masih banyak lagi. Ujung Kulon juga memiliki flora beragam yang tersebar di hutan pantai, hutan rawa air tawar, dan hutan-hutan lainnya dengan vegetasi yang berbeda satu sama lain.” Selain itu, ia juga menjelaskan tentang urgensi konservasi Badak Jawa serta usaha konservasi yang telah dilakukan WWF-Indonesia. Setelah itu, kami diajak untuk bermalam di desa terdekat dari pintu gerbang Taman Nasional Ujung Kulon. Saya sangat bersemangat karena kami sudah semakin dekat dengan “rumah” salah satu satwa payung tersebut.
Keesokan harinya, kami diajak untuk tracking memasuki Taman Nasional Ujung Kulon melewati jalur yang biasa digunakan oleh para ranger dan tim patroli WWF-Indonesia. Setelah berjalan lebih dari enam jam menyusuri hutan mangrove, kami pun sampai di site penanaman mangrove binaan WWF-Indonesia. Di sana kami diajak untuk berdiskusi dengan tim Bayawak yang menceritakan pengalaman dan rasa bangganya menjadi bagian dari WWF-Indonesia untuk melestarikan lingkungan melalui penanaman bibit mangrove. Sepuluh bibit mangrove kami dapatkan untuk ditanam secara langsung. Semua peserta merasa senang setelah menanam bibitnya masing-masing. Proses menanam mangrove ternyata tidak mudah, saya melakukannya dengan penuh perjuangan di medan yang licin dan berlumpur. Padahal, tim Bayawak mampu menanam lebih dari 1.000 bibit mangrove per hari. Luar biasa!
Usai menanam tumbuhan penjaga lingkungan, kami melanjutkan perjalanan menggunakan speed boat untuk melakukan aktivitas snorkeling di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon. Saya dan peserta lainnya tertegun saat melihat keadaan karang dan ikan-ikan yang memprihatinkan. Ternyata daerah tersebut adalah wilayah yang terdampak dari peristiwa tsunami yang terjadi beberapa bulan sebelum kedatangan kami. Rasa sedih bercampur haru melihat kondisi ekosistem bawah laut yang ada di sana. Hari yang melelahkan dan berkesan ini ditutup dengan santap malam yang disediakan oleh warga sekitar tempat kami menginap. Kami menikmatinya diiringi embusan angin dan deburan ombak pantai Dermaga Taman Jaya.
Fajar pun tiba, kami memulai hari terakhir reward trip Ujung Kulon dengan mengunjungi beberapa Sekolah Lapangan yang dicetuskan oleh WWF-Indonesia seperti Sekolah Lapangan Lumbung Pangan Hidup (SL-LPH). Ibu-ibu di sana berkumpul dan membuat media tanam dari jerami dan kotoran kambing yang dibungkus dengan daun pisang. Media tanam ini selanjutnya dibagikan kepada warga sekitar untuk menanam bibit-bibit tanaman yang nantinya akan mereka konsumsi sendiri. Kita yang hidup di perkotaan juga bisa mencontoh para ibu di SL-LPH dengan menanam sayur dan buah di pekarangan rumah sendiri. Kunjungan berlanjut ke Sekolah Lapangan Lebah Madu yang memproduksi madu teuweul, si manis yang menjadi ciri khas daerah tersebut.
Adanya sekolah lapangan binaan WWF-Indonesia sangat dirasakan dampaknya oleh warga sekitar. Ibu-ibu SL-LPH menunjukkan rasa syukur mereka atas perekonomian yang lebih baik setelah mendapat bimbingan dan pelatihan pembuatan media tanam ini. Para Ibu mengatakan bahwa mereka dapat menghemat uang belanja dengan adanya kebun buah dan sayur yang ada di pekarangan rumah. Tak jarang, hasil panen yang melimpah mereka bagikan ke tetangga yang membutuhkan. Kang Tolib, salah satu anggota Sekolah Lapangan Lebah Madu mengaku terbantu dengan adanya budi daya lebah teuweul. Ia tak perlu berburu madu hutan dengan memanjat pohon setinggi 40-50 meter. Terlebih, lebah teuweul ukurannya kecil dan tidak menyengat sehingga terbilang aman bagi pembudi daya seperti dirinya.
Adanya para pahlawan konservasi seperti Mang Oji sangat dibutuhkan untuk menunjang usaha konservasi WWF-Indonesia. Selain itu pemberdayaan warga sekitar juga sangat krusial dalam menunjang keberlangsungan hidup flora dan fauna di Ujung Kulon. Reward trip merupakan pengalaman tak terlupakan yang menjadi pemicu semangat kami untuk terus melakukan edukasi lingkungan bersama Panda Mobile WWF-Indonesia. Kalian juga bisa ambil bagian dalam usaha pelestarian lingkungan dengan menerapkan gaya hidup hijau atau dengan mendaftarkan diri untuk menjadi volunteer Panda Mobile WWF-Indonesia.
Salam Lestari!