POTRET KEPEDULIAN MASYARAKAT PERANCAK TERHADAP KONSERVASI PENYU
“Kami kemudian bertanya-tanya kenapa tiba-tiba penyu sangat sulit dicari. Apa karena penangkapan yang kami lakukan berlebihan? Apa yang harus kami lakukan?”
Itulah sepenggal ucapan I Wayan Tirta, seorang mantan pemburu penyu dari Desa Perancak, Bali, yang sedang bercerita mengenai kondisi penyu di tahun 1960an, dimana permintaan pasar akan daging penyu sangat tinggi sehingga mendorong para nelayan untuk berburu penyu. Akan tetapi, sekitar tahun 1985, tiba-tiba jumlah tangkapan penyu menurun drastis. “Saya sendiri mulai merasa ada yang salah dengan cara kami, para nelayan, memperlakukan penyu. Sedih membayangkan penyu yang kami tangkap mati mengenaskan, tetap di sisi lain, memperdagangkan satwa tersebut memberikan banyak keuntungan,” lanjut pria kelahiran 1944 ini.
Pada tahun 1997, saat WWF-Indonesia mengimplementasikan proyek konservasi penyu di Perancak, Wayan Tirta dan kedua adiknya mendapatkan ‘pencerahan’ mengenai pentingnya peranan penyu bagi ekosistem. “Setelah mendengar informasi itu, saya langsung memutuskan untuk berhenti menjadi pemburu penyu,” kenang Wayan Tirta. Sejumlah kerabat mengatakan bahwa Wayan Tirta bertobat. “Dia dijuluki ‘aneh’ karena mengamankan telur penyu, memelihara tukik, bahkan rajin mengambil air laut untuk diletakkan di bak-bak penampungan,” kata Nyoman Warsa, salah satu adik kandung Wayan Tirta.
Di tahun yang sama, WWF-Indonesia dan sejumlah warga Perancak mendirikan forum Kurma Asih – yang dalam bahasa Sansekerta berarti ‘sayang penyu’ – dan menunjuk Wayan Tirta sebagai ketua. Forum ini bertujuan mengajak sejumlah warga Perancak untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi penyu, melalui pemetaan partisipatif, pemantauan, patroli, bahkan program donasi perlindungan sarang penyu.
Wayan Tirta menjelaskan, “Walaupun kami berhasil mengajak banyak orang, proses kegiatan cukup berjalan lambat. Sebagai contoh, sekitar 50 warga pernah terlibat dalam proses pemantauan dan patroli penyu. Namun jumlah warga yang terlibat merosot cepat karena mereka kecewa bahwa kegiatan-kegiatan itu tidak mendapatkan bayaran.” Hingga saat ini, Kurma Asih hanya dapat mempertahankan 15 orang anggota, termasuk kedua adik kandung Wayan Tirta.
Setelah 5 tahun bekerja sama, pada tahun 2001, WWF-Indonesia melepaskan diri dari Kurma Asih. Meskipun begitu, upaya konservasi penyu di Perancak tetap berjalan. Program donasi untuk perlindungan sarang penyu tetap terus dipromosikan oleh Kurma Asih. Awalnya menggunakan sebuah situs sebagai salah satu sarana untuk menarik donatur namun tidak berjalan lancar karena kekurangan biaya, meskipun begitu program donasi tetap berjalan dengan metode konvensional, promosi dari mulut ke mulut.
“Konsep donasi perlindungan sarang penyu tidak bisa berhenti karena itu merupakan salah satu jalan bagi kami untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya upaya konservasi penyu,” tukas Anom Astika Jaya, salah satu pengurus aktif Kurma Asih. Meskipun tidak 100% ideal, namun cukup jitu menarik minat siapa pun yang peduli pada isu konservasi, termasuk para pengunjung Pantai Perancak.
Kurma Asih menjadikan program donasi perlindungan telur penyu sebagai bagian dari program pariwisata di Perancak. Di sini, pengunjung tak hanya memberikan donasi, melepaskan tukik, menjadi relawan pemantauan telur penyu, tapi juga menikmati kuliner setempat dan atraksi wisata lain di sekitaran Perancak.
Menandai sarang penyu yang telah didonasikan, pengurus Kurma Asih menancapkan papan kecil bertuliskan nama donatur. Selanjutnya, donasi yang dikumpulkan dimanfaatkan pengurus Kurma Asih untuk program perlindungan sarang penyu, serta namun juga perbaikan faktor pendukung habitat seperti program kebersihan pantai yang dilakukan secara teratur oleh pengurus Kurma Asih dan sejumlah relawan.
Selain itu, donasi tersebut juga digunakan untuk pembiayaan operasional seperti listrik, jasa pemantauan, bahkan pergantian transportasi bagi para pengunjung yang menyelamatkan dan mengantarkan telur penyu dari luar Perancak.
“Biaya pergantian transportasi yang kami berikan kepada warga hanya setara dengan 1 liter bensin, yaitu sekitar IDR 10.000. Harga tersebut masih jauh di bawah harga pasar apabila mereka mau menjual telur penyu tersebut. Walaupun belum ideal, hal ini sudah menjadi indikator peningkatan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya upaya konservasi penyu,” kata Anom.
Sejak didirikan 18 tahun yang lalu, Kurma Asih telah berhasil menyelamatkan 241.246 telur penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae), dengan perolehan donasi sekitar IDR 500.000 (USD 38) per tahun atau IDR 41.000 (USD 3,11) per bulannya. Jika dibandingkan dengan harga secangkir kopi di kedai kopi di kota besar, angka perolehan donasi tersebut memang terbilang lebih kecil. Namun, pernahkan terbayang bahwa manfaat yang didapat jauh lebih besar.
Program donasi untuk perlindungan sarang penyu yang didorong oleh Kurma Asih itu tidak hanya mendorong penguatan masyarakat dalam upaya konservasi penyu dan habitatnya, tetapi juga sekaligus mendorong banyak pihak untuk beraksi nyata. Tidak hanya sebatas dana, program donasi ini juga mengantarkan edukasi lingkungan yang kuat.
Desa Perancak terletak di Kabupaten Jembrana, Bali, yang mana merupakan salah satu wilayah penting untuk melintas dan bertelur bagi penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), penyu Hijau (Chelonia mydas) dan penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae). Sebagian wilayah Kabupaten Jembrana sendiri masuk ke dalam lingkup Taman Nasional Bali Barat (TNBB), yang memiliki garis pantai sepanjang 83,5 kilometer serta hutan mangrove dan sebaran terumbu karang di area perairan mencapai hingga 868 hektar.
Info lebih lanjut tentang program donasi konservasi penyu Kurma Asih, silakan hubungi Anom Astika Jaya di +6281338410898.
Penulis: Indarwati Aminuddin (Marine Tourism Coordinator)