PERJALANAN PANJANG REVISI ZONASI WAKATOBI
Oleh: Sugiyanta
Upaya perbaikan dan revisi dari kegiatan konservasi di suatu wilayah terkadang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu. Misalnya pemekaran wilayah, atau terkadang dari dinamika masyarakat yang terus berkembang. Perjalanan perkembangan wilayah Taman Nasional Wakatobi (TNW) juga melalui proses tersebut dari tahun 1995 sampai pada akhirnya tahun 2007 sebuah revisi zonasi kawasan tersebut disahkan. Suatu saat, ketika dibutuhkan dan perlu disesuaikan, revisi zonasi adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
Pada awalnya Kepulauan Wakatobi merupakan wilayah administrasi kabupaten Buton. Pada tahun 1996 pemerintah menunjuk kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut sebagai TNW. Kemudian memisahkan diri dan menjadi kabupaten yang disahkan secara undang-undang (definitif) pada tanggal 18 Desember 2003, dengan demikian luas dan batas taman nasional sama dengan luas wilayah administrasi kabupaten. Oleh sebab itu, rancangan tata ruang (zonasi) laut yang dulu ketika masih dalam wilayah kabupaten Buton harus ditata kembali karena fungsi dan peruntukannya sudah tidak efektif lagi.
Proses revisi zonasi TNW dilakukan melalui tahapan membangun persepsi pengelolaan taman nasional, pemantauan (monitoring) sumberdaya, pengkajian efektivitas TNW yang dilakukan tim independen dari pemerintah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan perguruan tinggi (Institu Pertanian Bogor; IPB, dan Universitas Haluoleo; Unhalu). Tahapan berikutnya adalah kompilasi hasil survey pemantauan sumberdaya biofisik kawasan dengan informasi dari pengalaman masyarakat yang menghasilkan peta lokasi sumberdaya hayati penting dan peta lokasi pemanfaatan kawasan. Informasi dari masyarakat tentang lokasi penting yang mereka ketahui berdasarkan pengalaman mereka dan lokasi pemanfaatan sumberdaya yang mencakup jenis pemanfaatan dan pihak yang memanfaatkan melalui dua kegiatan yakni pemantauan langsung di laut dan diskusi yang dilakukan anggota rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau, dan kabupaten. Proses ini mulai dilakukan dari tahun 2005 – 2007. Peta sumberdaya penting dan lokasi pemanfaatan kemudian dikembalikan ke dalam diskusi masyarakat mulai dari elemen rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau, dan kabupaten untuk mengkonsultasikan seleksi informasi dalam peta yang penting untuk dilindungi menurut masyarakat.
Hasil diskusi peta dibahas dalam konsultasi publik tingkat pulau yang dihadiri perwakilan nelayan desa, tokoh masyarakat, kepala desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), kecamatan, instanasi Pemda terkait yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, BAPPEDA dan unsur Balai TNW, Koramil, serta Polsek. Hasil konsultasi berupa rancangan peta zonasi berdasarkan aspirasi tiap pulau dibawa dalam forum konsultasi tingkat kabupaten untuk didiskusikan. Di samping hasil berupa dokumen, konsultasi pulau juga merekomendasikan orang-orang yang akan menjadi perwakilan pulau dalam konsultasi kabupaten terdiri dari unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika), perwakilan pemerintah desa dan nelayan.
Draft peta hasil konsultasi publik kabupaten kemudian diberikan kepada Balai TNW dan Pemda Kabupaten untuk dikonsultasikan kepada pemangku kepentingan di tingkat nasional. Hasil konsultasi nasional dikembalikan lagi ke daerah dan dilakukan konsultasi tahap ke-2 mulai dari desa, pulau dan kabupaten. Hasil akhir dibawa ke dalam konsultasi nasional yang kemudian melahirkan kesepakatan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi yang ditanda tangani kedua belah pihak.
Tahapan proses revisi zonasi TNW tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:
1.
Pertemuan tingkat kampung di 190 titik tempat diskusi pada Maret 2004 dengan materi Pengelolaan kawasan dengan alat bantu lembar jurnal diskusi, hasil pertemuan adalah: Jurnal pertemuan kampung berisi gambaran isu dominan dalam mayarakat kawasan dan informasi pihak (individu) yang selalu dominan dalam diskusi setiap kampung, serta daftar nama tokoh kampung untuk diskusi tingkat desa.
2.
Pada bulan Agustus - Desember 2004 diadakan lokakarya di tingkat desa dan tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten menghasilkan : Isu-isu yang akan diperjuangkan pulau pada pertemuan tingkat kabupaten, perencanaan pengelolaan kolaboratif, rencana peningkatan kapasitas wakil masyarakat nelayan, rencana revisi zonasi, rencana patroli bersama, rekomendasi pemberdayaan ekonomi masyarakat, rencana pembentukan forum konsultasi di tingkat pulau.
3.
Januari 2005: pembentukan fasilitator pulau pada Januari 2005, tugas fasilitator adalah memfasilitasi pertemuan-pertemuan forum konsultasi, memfasilitasi peningkatan kapasitas wakil nelayan dalam forum konsultasi, memfasilitasi dengan mitra peningkatakan kapasitas dari The Nature Conservancy (TNC) serta WWF.
4.
Pada bulan Februari – Juli 2005: diskusi desa, lokakarya pulau (kecamatan) untuk pembentukan forum konsultasi pulau, dan mekanisme forum.
5.
Berikutnya diadakan pertemuan regular forum konsultasi kabupaten, pelatihan peningkatan kapasitas mekanisme forum, kegiatan forum dalam meningkatkan kapasitas nelayan, mendorong pengelolaan kolaborasi, revisi zonasi yang melibatkan masyarakat, pertemuan regular forum pertemuan regular forum pulau 3 bulan sebanyak 1 kali, forum kabupaten 1 tahun sebanyak 3 kali, serta forum independen.
6.
Pada bulan Agustus 2005 dilaksanakan pertemuan regular forum konsultasi kabupaten hasil mekanisme forum, kegiatan forum dalam membangkitkan kapasitas nelayan, mendorong pengelolaan kolaborasi, revisi zonasi yang melibatkan masyarakat, pertemuan regular forum pulau 3 bulan 1 kali, forum kabupaten 1 tahun 3 kali, serta forum independen.
7.
Pelatihan peningkatan kapasitas dilaksanakan di Pulau Hoga pada Desember 2005, hasil kegiatan ini adalah Peserta membentuk kelompok nelayan/revitalisasi kelompok dengan tiga indikator : aturan bersama, aset bersama dan cita-cita dan aktivitas yang se-profesi
8.
Pada bulan April - September 2005, Dilakukan pengumpulan pendapat masyarakat dalam dokumen hasil Marxan (piranti lunak untuk pemetaan) tentang sumber daya penting di 64 desa , dari pertemuan ini dihasilkan: cara melindungi adalah dengan zona perlindungan yang tidak diganggu, cara melindungi dengan membuat pos jaga, cara melindungi dengan membatasi alat tangkap tetapi tidak perlu ditutup
9.
Konsultasi publik zonasi tingkat pulau (gabungan kecamatan karena tiap pulau sudah mekar menjadi 2 kecamatan) di empat pulau dimulai dari Binongko, Tomia, Kaledupa, Wangi-Wangi yang dilaksanakan pada Oktober – November 2005, hasil konsultasi adalah: sepakat untuk belum membuat peta tetapi membuat kriteria zona: perlestarian sumber daya dan tidak mengganggu kehidupan masyarakat serta pemilihan