PERBURUAN PENYU, BUKAN ANCAMAN BARU DI PANTAI PENELURAN PENYU BELIMBING PULAU BURU, MALUKU
Oleh: Taufik Abdillah (Marine Spatial and Monitoring Officer, Inner Banda Arc Sub-seascape (IBAS), WWF-Indonesia)
Pantai berpasir hitam diketahui sebagai pantai yang disukai oleh penyu belimbing untuk bertelur. Seperti halnya pantai peneluran penyu belimbing terbesar di Indonesia, yang berada di Jamursba Medi, Papua Barat. Pasir hitam kesukaan penyu belimbing ini juga kami temui di pantai Desa Wainibe, Waspait, hingga Wamlana di Kecamatan Fena Leisela, Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Di garis pantai ketiga desa inilah, kami menemukan 85 sarang penyu.
Dari jumlah total sarang penyu yang ditemukan, 79 di antaranya adalah sarang sawalaku – begitu masyarakat Pulau Buru menyebut penyu belimbing. Sebanyak enam sarang lainnya memiliki ukuran yang lebih kecil, kemungkinan merupakan sarang penyu lekang dan penyu sisik. Menurut mesyarakat setempat, kedua spesies penyu laut ini juga kerap bertelur di sepanjang pantai ini.
“Salawaku mulai naik di pantai untuk bertelur dari bulan November sampai Maret. Kalau penyu lekang dan penyu sisik mulai bertelur pada bulan Maret ke Juni,” tutur Bapak Awal Wawangi, nelayan Desa Waspait yang kami wawancarai. “Sekali naik bertelur, penyu belimbing ini menghasilkan 70 hingga 110 butir telur per sarang,” lanjut rekannya, Bapak Salam Wawangi, pada kami.
Sarang-sarang penyu belimbing di Pulau Buru ini bukan berarti bebas dari ancaman. Perburuan dan perdagangan telur bahkan daging penyu bukan hal baru yang kami jumpai di sini. Menghabiskan dua hingga tiga hari di masing-masing desa pengamatan, kami jadi tahu bahwa telur dan penyu yang naik ke pantai masih dimanfaatkan oleh masyarakat desa. Telur-telur penyu masih dikonsumsi, bahkan dijual kembali.
Telur penyu dijual dengan harga Rp5.000 per 5-15 butir, bergantung pada banyaknya jumlah penyu yang bertelur. Telur penyu yang diambil biasanya dijual di rumah masing-masing warga, atau di pasar mingguan yang ada di desa. Bahkan, jika jumlah telurnya banyak, mereka bisa menjualnya hingga ke Namlea, ibukota Kabupaten Buru.
Beberapa desa juga masih mengkonsumsi salawaku untuk pribadi, bahkan dibagikan kepada warga. Konservasi memang masih menjadi kata yang asing bagi masyarakat ini – dibandingkan rasa telur dan rupiah hasil penjualan salawaku.
Peran pemerintah, aparat terkait, dan masyarakat harus didorongkan untuk mendukung keberlanjutan hidup penyu belimbing, dan penyu lainnya yang bertelur di pantai ini. Jika aktivitas pemanfaatan telur dan daging penyu masih dilakukan, maka ketersediaan stok dan populasi penyu di alam akan semakin menurun dan terancam punah.
WWF-Indonesia pun tidak ingin tinggal diam. Hasil survei cepat ini akan ditindaklanjuti dengan pemantauan populasi penyu belimbing dan penyu lainnya di Pulau Buru dengan melakukan sigi (survei) intensif lanjutan di tiga desa Waenibe, Waspait, dan Wamlana.
Hal ini penting untuk mendapatkan data jumlah individu, mofometri, frekuensi, sebaran lokasi sarang penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Tujuan ke depannya, agar dapat bekerja sama dengan stakeholder setempat untuk memperkenalkan konservasi pada masyarakat, dan menjadikan Pulau Buru sebagai lokasi konservasi pantai peneluran penyu, bukan tempat dimana penyu-penyu diburu.