PERAIRAN KOON BERSTATUS OVERFISHED, WWF SOSIALISASIKAN ATURAN PENGENDALIAN PENANGKAPAN
Oleh: Rafika Puspita Army (Writer and Documenter Assistant for Inner Banda Arc Sub-seascape, WWF-Indonesia)
Tren pemanfaatan sumber daya perikanan terus berkembang sebagai penyokong kehidupan manusia, baik secara ekonomi maupun konsumsi gizi harian. Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan penting diterapkan untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan.
Pendekatan ini tak hanya berfokus pada jumlah tangkapan. Pengelolaan terintegrasi melalui Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM pun menjadi hal mendesak untuk diterapkan, diperkuat dengan Undang-Undang No.45 tahun 2009 Tentang Perikanan. Melalui EAFM, tak ada pilihan untuk mengabaikan kesehatan ekosistem demi pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat. Keduanya adalah hal yang berjalan seiring.
Urgensi penerapan EAFM ini juga dirasakan di Kawasan Konservasi Perairan dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K), Taman Pulau Kecil (TPK) Pulau Koon, Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya di Seram Bagian Timur, Maluku. Di sinilah, lokasi pemijahan ikan karang terbesar di Indonesia Timur. Pulau kecil di tenggara Pulau Seram, di tepian Laut Banda ini adalah habitat penting bagi komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi.
WWF-Indonesia dan EAFM Universitas Pattimura, didukung Pemda setempat, telah melakukan beberapa kajian perikanan di Koon. Salah satunya adalah penyusunan aturan pengendalian penangkapan (Harvest Control Rules/HCR) untuk 5 spesies ikan ekonomis di perairan Koon, yaitu kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatusI), tefar (Lethrinu olivaceus), julung-julung (Hemiramphidae sp.), kakatua (Hipposcarus longiceps) dan ikan layang (Decapterus sp.).
Hasil kajian ini tentunya tidak disimpan sendirian. Pada 18-19 Maret lalu, WWF menggelar diseminasi hasil studi dan penyusunan rencana kerja bersama demi mewujudkan sinergitas pengelolaan ke depannya. Pemerintah, aparat penegak hukum, LSM, institusi pendidikan, pelaku usaha perikanan, dan masyarakat memenuhi Kantor Bappeda Seram Bagian Timur selama dua hari tersebut.
”Secara umum, produktivitas nelayan dan stok ikan di Perairan Koon cenderung mengalami penurunan dengan status pemanfaatan berada dalam kategori overfishing dan overfished,” papar Adrian Damora, Fisheries Science Officer, WWF-Indonesia.
”Sebagai solusinya, dibutuhkan aturan pengendalian penangkapan (HCR) untuk memulihkan kondisi stok menjadi sehat (healthy stock) agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan,” katanya kemudian.
HCR adalah salah satu instrumen penting dalam pengelolaan perikanan modern. Tujuannya, untuk mengidentifikasi dan membuat proyeksi tindakan yang harus dilakukan pengelola terkait dengan status stok, kondisi ekonomi, atau lingkungan lainnya yang berpengaruh.
Bentuk control rules bergantung pada instrumen pengelolaan yang disepakati. Bisa berupa output control, yaitu menentukan tingkat hasil tangkapan, maupun dengan menentukan tingkat upaya penangkapan atau input control.
Kajian HCR ditempuh melalui beberapa metode pengumpulan data. Mulai dari pendataan karakteristik pemanfaatan sumber daya, standardisasi alat tangkap mana yang paling produktif untuk menangkap ikan, hingga rekomendasi praktik penangkapan pada berbagai macam spesies yang dianggap penting.
Diseminasi hasil kajian dan perumusan aturan pengelolaan penangkapan di hadapan para pihak ini adalah langkah penting dalam menjaga perairan Koon, tetap menjadi area pemijahan ikan karang terbesar di timur negeri.