PENANGKAPAN GAJAH, PENTINGKAH?
Oleh: Wishnu Sukmantoro
Kemarin dalam berita di berbagai media surat kabar, KSDAE – KLHK (Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem – Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menyetujui penangkapan dan pemindahan gajah yang ada di Subulussalam, Aceh karena mengganggu masyarakat. Apakah penangkapan dan pemindahan gajah di lokasi tersebut itu penting dan prioritas?
Sejak tahun 1980an, penangkapan dan pemindahan gajah liar sudah menjadi program pemerintah yaitu dalam Tata Liman, Bina Liman dan Guna Liman tahun 1982 – 1995. Dari program ini, estimasi 520 ekor gajah liar ditangkap dan masuk ke pusat – pusat latihan gajah. Program ini berlanjut misalnya di Riau sampai tahun 2006. Kemudian konsep ini direvisi dalam Strategi Konservasi Gajah di tingkat nasional 2007 – 2017 karena implikasi dari penangkapan gajah dan relokasinya ke lokasi lain (Strategi Konservasi gajah Sumatera dan Kalimantan 2007 – 2017, KLHK).
Penangkapan dan relokasi gajah bukan hanya memperlihatkan torehan emas bagi tim penangkapan dan penggiringan tersebut yang juga melibatkan militer waktu itu (misal Operasi Ganesha yang melakukan penggiringan gajah dari Air Sugihan, Sumatera Selatan tahun 1982), tetapi juga menyingkap kisah yang memilukan. Catatan WWF Indonesia sejak tahun 2000, mencatat bahwa pada bulan September 2000, tiga ekor gajah mati dari overdosis obat dalam proses translokasi, kemudian tahun 2001 diketahui 12 ekor gajah mati pula sampai bulan maret karena proses penangkapan pula. Catatan tahun 2002 antara mei – juli 2002, penangkapan dan relokasi yang dilakukan dari perusahaan perkebunan sawit PT. Bina Fitri karena pembukaan lahan untuk kebun sawit yang kemudian menimbulkan konflik, 14 ekor gajah mati akibat translokasi. Kejadian kematian gajah akibat penangkapan dan translokasi berlanjut sampai tahun 2004 (Mikota & Hammat 2004).
Implikasi terhadap penangkapan dan translokasi gajah terutama apabila tidak dipersiapkan dengan matang adalah kematian akibat pembiusan, luka infeksi yang dapat menimbulkan kematian akibat penggunaan rantai atau alat ikat dalam proses penangkapan dan pemindahan gajah, terkena penyakit dalam proses penangkapan dan pemindahan, stress dan disorientasi. Beberapa kasus gajah akibat proses pelepas liaran tanpa dilakukan rehabilitasi misalnya adalah gajah dapat kembali atau berusaha kembali ke habitat asalnya meskipun harus dilalui puluhan, bahkan ratusan km, seperti kasus gajah jantan Haris di Jambi beberapa tahun lampau.
Langkah Terakhir
Sejak tahun 2007, stakeholder penggiat konservasi gajah sepakat bahwa penangkapan dan pemindahan gajah karena konflik gajah manusia adalah bukan solusi yang tepat, meskipun demikian, penangkapan dan pemindahan gajah dapat dilakukan sebagai langkah terakhir, dimana seluruh solusi terhadap gajah tidak dapat dilakukan di lokasi tersebut. Kriteria ini harus melalui seleksi yang ketat, analisa yang dalam terutama memonitor dan mengevaluasi upaya-upaya yang dilakukan stakeholder termasuk perusahaan dan masyarakat terhadap solusi mitigasi konflik gajah manusia di lokasi tersebut. Seleksi dan analisa dapat menggunakan ahli konservasi gajah atau lembaga yang khusus mengurusi konservasi gajah misalnya Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI). FKGI dalam websitenya sudah membuat kriteria tentang kriteria-kriteria penangkapan dan translokasi gajah karena konflik http://www.gajah.id/strategi/penanggulangan-konflik-gajah.
Banyak dijumpai kasus, terutama melibatkan pemerintah daerah setempat, penangkapan dan translokasi gajah bukan sebagai langkah terakhir, tetapi sebagai langkah praktis menghilangkan masalah, meskipun langkah-langkah solusi belum pernah dilakukan. Tahun 2008-2009 misalnya beberapa anggaran pemerintah daerah di beberapa propinsi di Sumatra menganggarkan konsep mitigasi konflik gajah – manusia yaitu penangkapan dan pemindahan gajah tanpa ada opsi solusi lain. Beberapa perusahaan sawit yang memiliki konsesi di dalam wilayah jelajah gajah juga berpandangan sama dalam mitigasi konflik, yaitu memindahkan gajah keluar dari konsesinya atau dibangun barrier artifisial permanen yaitu parit gajah karena dianggap sebagai hama.
Kondisi ini selain tidak menjadi solusi yang baik, justru memindahkan masalah konflik ke wilayah lain. Di Aceh atau di Riau dan Jambi, perusahaan-perusahaan membuat parit gajah sebagai blokade gajah masuk ke konsesinya. Kemudian, di tahun berikutnya, muncul konflik gajah manusia di tempat yang dahulunya bukan sebagai wilayah jelajah gajah tersebut akibat blokade oleh perusahaan. Wilayah ini terjadi kematian gajah dan manusia akibat konflik. Perusahaan-perusahaan model seperti ini sangat tidak layak disebut perusahaan hijau.
Skenario Matang
Penangkapan dan translokasi gajah haruslah melalui skenario yang matang. Pertama-tama adalah alasan yang kuat tentang opsi penangkapan dan translokasi kedua, evaluasi terhadap opsi-opsi yang telah dilakukan. Banyak hal bahwa opsi tersebut tidak dilakukan optimal, tetapi kemudian cepat-cepat ambil tindakan memindahkan gajah ke lokasi lain. Ketiga, persiapan dari tim penangkapan dan translokasi, survey posisi gajah yang akan direlokasi, persiapan alat penangkapan dan pembiusan, SOP keselamatan dan skenario pasca penangkapan dan translokasi.
Sekurangnya ada dua opsi pasca translokasi, pertama adalah dipindahkan ke Pusat latihan gajah, opsi ini biasanya memberatkan pemerintah karena menjadi beban untuk memelihara gajah tangkapan. Kedua, translokasi ke wilayah lain, permasalahannya, sulit mencari lokasi yang aman apalagi tanpa persiapan yang matang. Pembelajaran kasus di Jambi beberapa waktu lalu dalam posisi translokasi ke salah satu restorasi ekosistem Hutan Harapan – Jambi (translokasi gajah Haris), persiapan dan rencana sudah dibangun setahun atau dua tahun sebelumnya. Tujuannya jelas, yaitu selain solusi gajah haris yang selalu menyimpang jalur pada saat direpatriasi dari lokasi simpangannya (dikembalikan ke lokasi asal), gajah ini meskipun dua kali repatriasi, tetap menyimpang jalur, bahkan puluhan km dari lokasi asal.
Kedua, translokasi digunakan untuk peningkatan populasi gajah di Hutan Harapan, dimana identifikasi disana sudah tidak dijumpai gajah jantan. Introduksi gajah jantan di lokasi tersebut, dapat meningkatkan harapan mempertahankan populasi apabila kawin dengan kelompok betina. Kelompok gajah ini akan memiliki nilai lebih sebagai kantung yang berfungsi untuk peningkatan populasi gajah.
Penyiapan lokasi translokasi, harus dilakukan matang, karena sebagai antisipasi gajah akan kembali ke lokasi asal, juga antisipasi konflik gajah manusia di lokasi yang baru dan lebih seru dibandingkan lokasi asal.