PEMBELAJARAN DARI PROSES PENETAPAN PEMBIAYAAN JASA LINGKUNGAN PERAIRAN KOON
Oleh: Indarwati Aminuddin
Tiga tahun sebelumnya, Habib Abdullah (Aquaculture and Fisheries Improvement Manager) bersama Lida Pet Soede dan Veda Santiadji (Coral Triangle Support Program Leader) mengawal program Marine Conservation Area (MCA) dengan tool Rights Based Management (RBM) di wilayah Petuanan Kataloka. Program ini dijalankan berdasarkan fakta ; perairan Koon menjadi lokasi pemijahan ikan karang bernilai tinggi terutama kerapu, kerapu sunu , kakap merah, kerapu macan , kakap, Titan triggerfish dan bobara Mata Besar/bigeye trevally. Baik Habib, Veda, Lida dan pihak WWF lainnya memiliki cara pandang sama, bahwa melindungi perairan Koon seluas 2,537,6 hektar dari kerusakan bisa memaksimalkan ukuran dan kelimpahan jumlah ikan karang, dan pada akhirnya menjadikan perairan Koon sebagai lumbung pangan bagi 1,7 juta warga Maluku.
Tapi, mekanisme RBM bukanlah sebuah model perikanan berbasis hak yang bebas konsekuensi. Idealnya, RBM mendorong berjalannya pengawasan dan pengontrolan pola penangkapan ikan, diikuti pengaturan mekanisme pasar. Namun saat praktik RBM dilakukan, deretan konsekuensi muncul. Pertama, dari aspek yang fundamental bahwa mekanisme RBM memungkinkan hukum positif bagi pelanggar terjadi, artinya bila nelayan melanggar maka ia terjerat hukum, meskipun RBM sendiri menekankan ‘right’ atau hak bagi warga setempat. Banyak nelayan Petuanan Kataloka yang jauh dari cara pandang sains melihat kenyataan bahwa hak dan benefitnya belum bisa dinikmati saat ini. Kedua, dimensi tradisional Petuanan Kataloka, tak tertulis, mengatur tentang Ngam—sistem buka tutup kawasan dalam masa masa tertentu—dan dilakukan berdasarkan titah Raja. Melanggar peraturan raja berkonsekuensi pada hukum sosial; yang biasanya diikuti dengan hukum fisik, menyapu jalan, membersihkan kebun, membawa ikan pada keluarga raja dan sebagainya. Secara politis, WWF lega saat Raja Tua Petuanan Kataloka, Muhamad Wattimena setuju menandatangani kesepakatan kerjasama untuk melindungi perairan Koon dari eksploitasi berlebihan. Raja Tua akan menghadapi warganya dan menetapkan praktik tutup kawasan dengan cara modern. Ia dibantu adiknya Raja Muda Anzhar Wattimena.
Dua metode menjaga kawasan ini ; MCA-RBM dan Ngam tampak sama, tapi berbeda dalam praktik dan konsekuensinya. Dalam praktik Ngam, nelayan akan mendapatkan hasilnya saat raja menitahkan pembukaan wilayah Ngam, horee…bisa mengambil ikan yang besar!! Dalam praktik MCA, tak ada istilah kawasan dibuka, yang ada hanyalah kawasan akan dimanfaatkan, tanpa mengurangi nilai sumberdayanya. Bila nelayan lugu bertanya, lalu kapan dibukanya? Jawabannya wallahualam.
Dalam proses MCA-RBM ini, sekitar 12.000 warga, mewakili 33 klan di Petuanan Kataloka diharapkan ikut menjaga perairan Kataloka. Sebagai kompensasi atas komitmen mereka, WWF memberikan dukungan biaya tahunan lebih dari Rp 170 juta yang digunakan untuk berbagai aktivitas di Gorom dan Grogos. Sepanjang proses perlindungan kawasan, Raja Anzhar Wattimena mengenal istilah istilah yang dipinjamnya dari WWF ‘proteksi’, ‘konservasi’, ‘pelestarian’, ‘demi anak cucu kita’. Nelayan Grogos membalas kata kata tersebut dengan kalimat , ‘kawasan ditutup oleh WWF’. Di tahun 2011-2012, protes sembunyi sembunyi muncul dari nelayan nelayan Grogos yang seringkali ditemukan memancing di zona proteksi tersebut.
Barnabas Wurlianty, Koon Project Coordinator, Coral Triangle mengatakan, “seperti diserang oleh keluarga sendiri.” Barnabas adalah prajurit di garda terdepan. Ia bolak balik Ambon-Gorom, menghadapi nelayan dan menghadapi Raja Muda Petuanan Kataloka yang tergesa gesa dengan banyak mimpinya. Kelelahan Barnabas bukan pada jarak tempuh Ambon-Kataloka (total 23 jam perjalanan darat dan laut), namun pada tekanan nelayan yang mulai bertanya tanya, mengapa setelah diproteksi mereka justru tak mendapatkan apa apa? Ini kalau menabung, uangnya tak bisa diambil kalau dibutuhkan.
Habib memikirkan strategi agar nelayan tak jadi musuh dalam proses proteksi wilayah perairan Koon ini. “Mereka wajib mendapatkan keuntungan maksimal karena berperan menjaga kawasannya dari kerusakan. Kami memikirkan peluang menerapkan subsidi perikanan.” Lainnya, dana Rp 170 juta tak cukup menggantikan ‘hak dan keuntungan’ nelayan tersebut, serta merupakan nilai kecil untuk mempertahankan ekosistem perairan Koon. WWF dengan segala respek, memiliki keterbatasan terus menerus membiayai program di perairan Koon.
Praktik Adat Versus Praktik Sains
Tidak terpikirkan sebelumnya tentang mendapatkan benefit dari jasa kepariwisataan. Di tahun 2010, sejumlah kapal rekreasi telah melakukan perjalanan dengan rute Banda-Raja Ampat, atau Halmahera-Raja Ampat. Eddie, pengelola kapal rekreasi Pindito bahkan telah memulai aktivitas bawah air di perairan Koon sejak 25 tahun sebelumnya. Ia mengenang setiap menyelam ia terpukau dengan gelapnya perairan sekitar,”ikan…ikan dimana mana. Ini adalah site yang terbaik di seluruh dunia,” kenangnya.
Keluarga Raja Petuanan Kataloka mengetahui secara pasti bahwa perairan mereka memiliki harta terpendam sejak bertahun tahun lampau. Harta laut diambil secara berkala. “Yakni saat Ngam dibuka. Kami biasanya mendapatkan jatah 200 kilogram ikan dari nelayan setempat yang memancing di wilayah sekitar,” tulis Raja Muda Anzhar Wattimena. Namun tak satupun dari keluarga Raja pernah menyelam dan melihat lansung kelimpahan ikan di perairan Koon. Ikan berukuran besar disaksikan hanya saat turun dari perahu dan atau yang tergeletak berbau bumbu di meja makan. Ini sekaligus sedikit menghebohkan saat mereka tahu kapal kapal pesiar membawa tamunya untuk turun menyelam di perairan Koon. Sama halnya WWF, keluarga Raja juga tak memikirkan adanya peluang mendapatkan keuntungan dari kapal kapal rekreasi ini.
Dalam tekanan yang cukup besar, dan ketidakpuasan karena MCA menyisihkan nelayan Grogos, Gorom dan Nukus. Lida mengatakan bahwa bisa saja kapal rekreasi dilibatkan untuk membiayai wilayah perairan Koon. Habib dan Veda mendiskusikan tata cara model pembiayaan kapal pesiar. “Yah wisatawan harus membayar karena mereka memanfaatkan perairan Koon,” jelas Habib. Ia lalu berinisiatif mencari konsultan yang saat itu Ir Agus Sutiarso, master kepariwisataan. Agus diharapkan bisa mendapatkan kerelaan kemampuan bayar wisatawan bila masuk di perairan Koon.
Pada November 2013, dalam rapat pemantapan ekowisata di Hotel Mercure Sanur, Agus mempresentasikan hasil studinya, bahwa wisatawan lokal bersedia membayar Rp 150.000 per tahun dan Rp 51.500 per sekali kunjungan. Untuk wisatawan international adalah Rp 250.000 setahun dan Rp 51.500 per sekali kunjungan. Peserta rapat yang sebagian besar kapal rekreasi menyatakan, tak masalah dengan membayar biaya menyelam, nilai Rp 51.500 terbilang kecil. Tapi bila hanya 50 wisatawan setahun, maka bukankah komunitas hanya menerima Rp 2,575,000? Apakah nilai ekosistem perairan Koon setara dengan nilai kecil ini? Cukupkah mengkompensasi hak dan benefit warga Kataloka?
Raja muda Kataloka, Anzhar Wattimena menyimak tentang rencana rencana mendapatkan keuntungan dari pariwisata—untuk mengkompensasikan praktik konservasi yang berjalan di perairan Koon. Ia bersemangat, terutama karena menjadikan Bali sebagai kiblat pariwisata dan membayangkan wilayah Petuanan Kataloka didatangi orang orang berkantong tebal, berkulit berbeda dan dengan segala keunikannya berseliweran di tanah Kataloka. Ia lupa bahwa sebagian besar kapal pesiar tak membawa tamunya turun ke tanah (in land), kecil kemungkinan wisatawan membawa ekonomi tambahan bagi komunitas di darat, lalu perairan Koon hanya memiliki satu lokasi selam, tidak menjadi tujuan utama persinggahan kapal rekreasi. Kapal rekreasi bergerak dari dari Halmahera menuju Raja Ampat—tujuan utama. Istilahnya…mampir sejenak untuk berbasah basah di perairan Koon. Artinya, bila sedikit saja salah urus, salah pembiayaan, atau ekosistem Koon rusak, maka kapal pesiar akan berkata bye..bye Koon.
Pergerakan Wisata
Koon, pulau kecil kosong, berpasir putih dengan lebar pantai tak lebih 200 meter, dan panjang 500 meter. Ratusan pohon kelapa tumbuh berjejer, di kelola warga setempat. Dalam catatan adat yang panjang, pulau ini dinyatakan sebagai milik raja Petuanan Katalola, dan ia, sebagai penguasa berhak meminjam pakaikan lahan di pulau tersebut pada warga Kataloka. Pulau Koon berdekatan dengan Pulau Grogos, pulau yang dihuni oleh sekitar 60 kk. Boleh dikata mayoritas warga Grogos adalah nelayan. Merekalah pemanfaat utama perairan Koon.
Pulau Grogos lebih kecil dari Gorom. Lebar pulau ini tak lebih dari 30 an meter dan sekitar 80 an meter pada bagian dimana warga membangun pondok pondok kayu. Sejak kepariwisataan disebut sebut bisa menjadi mesin untuk mengkompensasikan konservasi, Raja muda Petuanan Kataloka bergegas membangun resort dari batako, beratap seng depan pantai di ujung Pulau Grogos. Di saat saat tertentu, air laut menggenangi calon resot tersebut, menyebabkan kerusakan parah lantai bangunan dan separuh dindingnya. Tak ada turis yang datang hingga kini. Hanya segelintir orang, termasuk saya yang berkunjung melihat calon resort tersebut, mengelus elus dinding yang lapuk. Istri raja Muda Anzhar Wattimena mengatakan, “sudah saya ingatkan untuk tak membangun apapun…tapi Pak Raja keras kepala.” Investasi itu sia sia.
Marco Kusumawijaya, arsitek sekaligus ahli urban mengomentari bangunan tersebut dengan sopan. “Hmm ehm menurut saya ide ini luarbiasa. Tapi tampaknya kita perlu mencari cara untuk mendesainnya lebih apik.”
Di tahun 2013, Habib dan Veda cukup optimis dengan ide melibatkan kapal rekreasi untuk membiayai perlindungan ekosistem perairan Koon, sembari membenahi MCA dan mekanisme RBM agar benturannya tidak terlalu tajam dengan nilai nilai lokal yang dipercayai komunitas Kataloka. Habib mendorongkan proses ini diampu langsung tim kepariwisataan WWF-Indonesia. Dari Pulau Gorom, dengan telepon kresek kresek, Raja muda yang tak sabaran, menelpun secara regular pagi, sore, malam, kapan wisatawan harus membayar? Ibarat kredit, masa jatuh tempo telah tiba. Telah 3 tahun program MCA Koon dan di luar dari fakta ikan ikan semakin gemuk di perairan Koon, ada fakta lain ; nelayan yang resah. Tekanan muncul berbagai pihak, Raja, kelompok nelayan dan dari tim WWF-Indonesia sendiri.
Sepanjang tahun tersebut, diskusi diskusi mulai dibangun. Berbagai strategi dilontarkan. Lida mengusulkan penyusunan business plan learning and marine centre di Pulau Koon. “Business plan bisa kita serahkan pada pihak pihak tertentu yang tertarik melakukan investasi untuk riset riset perikanan dan biologi,” jelasnya. Ide ini mentah begitu saja, investasinya terlalu besar. Dalam masa bongkar pasang ide tersebut, Patroli Kataloka diminta memantau jenis, nama kapal dan jumlah penumpang yang turun menyelam di perairan Koon. Di tahun 2013-2014 tercatat 21 kapal yang menurunkan 233 wisatawan di perairan Koon.
Di bulan Mei 2014 yang kering, Raja Tua Petuanan Kataloka menyelenggarakan pesta rakyat dihadiri nyaris 300 an warga, berdesak desakan samping rumah raja. Raja yang mengambil kesempatan itu dengan mempersilahkan saya berdiri dihadapan warganya dan menceritakan tentang program WWF. Apa yang harus disampaikan? Bahwa program ini membuat warga mendapatkan keuntungan? Bahwa masa depan mereka lebih baik? Saya gemetar dan mengucapkan kalimat yang tak membahagiakan raja dan warganya. “Mari…kita bekerjasama membangun Kataloka dan perairan Koon.” Pesta ditutup joget massal, semua menikmati bergembira, dan kecuali saya. Rasanya begitu tertekan karena telah mengimbau dengan gaya orde baru.
Pembayaran Jasa Lingkungan
PES merupakan skema dimana pengguna suatu area tertentu membayar untuk melindungi kawasan tersebut, atau menangani wilayah tersebut dengan prinsip berkelanjutan. Di perairan Koon, pengguna utama saat ini adalah nelayan dan disusul oleh kapal rekreasi. Mekanisme PES tergantung pada ‘pasar’. Dalam sejumlah contoh, misalnya pembiayaan jasa lingkungan air bersih, dan penjagaan kehutanan, mekanisme ini terbilang efektif. Namun untuk pembiayaan jasa lingkungan yang terkait dengan perairan, maka mekanisme ini membutuhkan kerja ekstra keras. Pertama ; pembiayaan ini membutuhkan dukungan monitoring ketat terhadap pengguna perairan lainnya yakni nelayan. Dengan mobilitas laut yang cukup tinggi dan minusnya pengawasan di laut, unsur insecure membayang bayangi mekanisme ini. Kedua; pembiayaan ini mencakup aspek pembagian adil dan setara bagi kelompok ‘lost earnings’. Dengan standar adat, dimana segala kebijakan bersumber dari kekuasaan Raja, maka peluang untuk membahagiakan semua pihak sangat tergantung dari kearifan raja Petuanan Kataloka.
Karakteristik adat dan pendekatan pasar di Perairan Kataloka memungkinan ‘private payment’, dimana pihak adat Kataloka berhak mendapatkan keuntungan dari service perairan Kataloka yang telah dijaganya dengan cara deal dengan pihak lain yang memanfaatkan perairan Kataloka. Sistem ini berbeda dengan dua sistem PES lainnya yakni pertama ; melibatkan publik, dimana pemerintah membayar jasa atas sumberdaya yang digunakannya, dan kedua ; public private payment, dimana baik pemerintah maupun swasta membayar untuk jasa lingkungan yang dimanfaatkannya. Dari sisi spatial, PES Kataloka pun tergolong kecil yakni hanya pada aspek lokasi ‘tangkapan’ dan lokal di perairan, tidak melintasi batas administrasi nasional dan international.
Dalam konteks PES Kataloka, empat pemain terlibat secara aktif yakni WWF-PT SEI-Petuanan Katalola dalam hal ini komunitas adat Leawana dan Kapal rekreasi, dan skema pembiayaan dilakukan dengan konsep one to one, pengguna melakukan pembiayaan secara lansung pada pihak penjual, dan dengan tujuan hasil pembiayaan digunakan untuk melestarikan perairan Kataloka (input based-payments).
Empat pemain ini punya pertanyaan tersendiri. Buyers kapal rekreasi misalnya ;mempertanyakan kemampuan mereka untuk membayar dalam jangka panjang, mereka bisa saja berpindah lokasi tergantung dari arah pasar, sellers Petuanan Kataloka dengan ambisi cukup tinggi memperoleh pemasukan memikirkan tentang aspek lain yang bisa dijual dari perairan Koon, Intermediary PT SEI cukup tertekan karena mereka dipacu menjadi fasilitator yang bertindak mendapatkan dana dari buyers dan mendorongkan dana tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin untuk konservasi perairan Kataloka dan untuk komunitas Kataloka, sedangkan knowledge provider yakni WWF –meskipun skema PES telah ditetapkan, namun ditantang untuk membuktikan bahwa skema tersebut cukup tepat bagi komunitas Kataloka.
Selain PES di Koon, WWF juga berhasil mendukung pelaksanaan PES di Lombok. Bekerjasama dengan Pemerintah, kelompok masyarakat dan agen pemerintah international, mekanisme PES pun terimplementasi dengan objek utama ; suplai air. Sejak Juli 2007, skema PES Lombok diadopsi pemerintah lokal. Skema PES ini secara nyata memberikan dampak ekonomi pada masyarakat hulu yang menjaga ekosistem di Gunung Rinjani, dimana ekosistem di sana mampu mempertahankan suplai air.
Fase Proses Pembiayaan Jasa Lingkungan Perairan Kataloka
Di Kataloka, proses inisiasi PES dmulai pada Mei 2014. Sejumlah pertemuan konsolidasi, konsultasi dan diskusi terbuka untuk membahas strategi pendanaan bagi perairan Koon berjalan dengan parapihak. Tidak semua pertemuan berakhir membahagiakan. Di tahun 2015, koordinator kapal rekreasi Indonesia (Jangkar), Suryani Mile Doucet menegaskan pihaknya bersedia membantu pengelolaan kawasan dengan tujuan ekosistem menjadi lebih baik. Ekosistem yang sehat ibarat piring dengan makanan lezat dan sehat, penikmatnya ingin mempertahankannya.
Di tahun 2015, kesepakatan tentang nominal yang wajar disetujui parapihak, pada November 2015 (lihat tabel bawah), meski dengan sejumlah tuntutan : perairan Koon harus memiliki lebih dari 1 lokasi penyelaman. Bila tidak, bisa saja kapal rekreasi bergeser ke lokasi lain.
International
Rp 100.000/3 hari
Rp 250.000/tahun
Domestik
Rp 50.000/3 hari
Rp 150.000/tahun
Petuanan Kataloka meyakinkan parapihak bahwa penggunaan dana PES ditujukan untuk kegiatan ekosistem (monitoring dan patroli), mendukung adat dan budaya setempat melalui pendidikan dan berbagai bentuk aktivitas lainnya.
Masih di bulan yang sama, parapihak kemudian bersepakat menandatangani pemberlakukan pembayaran jasa lingkungan. Di Maret 2016, dilakukan sosialisasi tata cara pembayaran PES dan memperkenalkan PT SEI sebagai intermediaries komunitas adat dan kapal rekreasi. Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur hadir. Kawasan perairan Koon telah membawa parapihak menerima kenyataan bahwa alam mereka telah mengundang berbagai tamu mancanegara hadir, menikmati keindahan bawah laut perairan Koon dan memiliki ekspektasi bahwa keindahan itu harus tetap terjaga…di sana..di laut Koon.
Tak lebih dari dua minggu setelah proses sosialisasi tersebut dilakukan, empat kapal rekreasi melakukan pembayaran . Lega? Ya, namun pekerjaan belum selesai, Tantangan sebenarnya kini menanti, menjadikan dana PES memiliki nilai setara dengan jasa ekosistem perairan Koon yang telah melayani manusia, dan menjadikan dana dari PES setara dengan nilai ‘kehilangan’ yang telah dikeluarkan nelayan.