SEPIJAK-PIJAK, MALUKU TENGGARA
Oleh Idham Malik
Kami tiba di Kantor WWF-Indonesia site Kei pada pukul 14.30 WIT, Minggu, 24 Maret 2014. Jaraknya tak jauh dari pusat kota, di sebuah kawasan kecil yang disebut Pokarina. Di sana kami (saya bersama David dan Rustam – tim WWF-Indonesia yang hendak melakukan sosialisasi BMP perikanan karang) duduk-duduk di halaman belakang, bersama beberapa staf lokal yang sedang bercanda dengan logat Kei/Ambon.
Sehabis makan siang kami melakukan perjalanan pertama kami ke Ngadi, sebuah desa di Kec. Dullah Utara. Di Dullah Utara, kami memasuki sebuah kawasan sepi, yaitu Kawasan Minapolitan Terpadu. Di luar kawasan, Desa Ngadi, kami memandangi laut, kapal nelayan tampak tidur di pinggir pantai. Konon, kapal-kapal itu sudah tidur begitu lama dan karat-karat telah merajalela mengelupas badan-nya. Kami kembali ke kantor dan membawa oleh-oleh gambar, gambar di hari pertama. Satu gambar yang terus mengganggu pikiran, yaitu pasir pantai yang terbungkus dalam sak semen, jumlahnya puluhan. Sepertinya pasir-pasir itu sudah siap untuk diangkut dan hinggap entah di halaman rumah siapa. Belakangan saya ketahui, setelah lima hari di Maluku Tenggara (Malra), ketika kembali menelusuri jalan-jalan di Dullah Utara, saya baru sadar bahwa aktivitas menambang pasir menguar di sepanjang pesisir pantai. Gundukan pasir putih hingga jalan yang longsor akibat kerukan - kerukan.
Membahas soal ini memang rumit, karena perut-perut warga juga diisi dari hasil pertukaran pasir ini. Kita tak dapat dengan mudah menghardik bahwa aktivitas tersebut merusak lingkungan. Persoaannnya bukan hanya berbicara tentang ekologi, tapi juga tentang ekonomi, tentang kekuatan benteng keluarga, dan sekolah anak-anak. Saya pun tak menemukan rumput laut terpasang di kejauhan laut, sebab angin tak berpihak pada kawasan itu. Kala itu musim barat dan Dullah Utara berada di posisi timur pulau dan lautannya sedang teduh-teduhnya. Jikalau teduh, penyakit rumput laut menjangkiti, lalu membuat pembudidaya jengkel. Mungkin, saat itu warga menutupi kurangnya pendapatan akibat berhenti sejenak membudidayakan rumput laut dengan menambang pasir.
Di kantor kami melakukan rapat kecil-kecilan, membahas rencana esok dan lusa hari. Saat itu kami mendapat banyak sekali wejangan dari Om Yan dan Usy Mien, tim WWF-Indonesia di Kei. Usy terlihat terampil memaparkan kondisi budaya dan sosial masyarakat Kei. Menurutnya, orang Kei itu sangat susah diorganisasi. “Ketika kita menyatukan mereka dalam satu kelompok (nelayan), mereka justru akan berkonflik,” ujar Usy. Oleh karena itu, jalan keluar yang ditempuh dengan memasukkan pemahaman dan nilai-nilai konservasi ke masing-masing kepala dan membiarkan mereka melakoni aktivitasnya secara mandiri.
Saya menggadang-gadang pernyataan itu. Kira-kira untuk pembudidaya rumput laut, apakah terjadi hal serupa? Karena misi saya ke Maluku Tenggara lantaran ingin mengamati rumput laut, secara teknis, situasi alam, serta kondisi sosial masyarakatnya. Tentang rumput laut, Usy tidak berkomentar. Dia hanya bilang kalau pada hari Selasa, ada panen raya di Desa Letvuan dan saya harus ikut.
Dua hari berikutnya saya mendengar dua nelayan berdiskusi, di kampungnya ditemukan orang luar pulau yang melakukan pengeboman di sekitar laut Kei. Mereka berang, dan menuntut agar pengebom-pengebom ikan itu segera ditangkap. Dari situ saya mulai paham begitu terikatnya para nelayan dengan adat dan nilai-nilai bijak yang terkandung di dalamnya. Sebenarnya mereka sudah jauh lebih mengerti dibandingkan dengan kita yang tergolong orang luar dan bukan nelayan. Mereka pun lebih arif dalam memandang sumber daya ikan karena kelak mereka akan dihadapkan pada persoalan kelangkaan. Oleh karena itu, mereka melakukan adaptasi teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan keberlanjutan masa depan kehidupan ikan-ikan.
Nelayan Kei hanya menggunakan pancing ulur untuk menangkap Geropa (Kerapu). Dengan pancing ini, nelayan menangkap ikan satu demi satu dan bersabar menunggui ikan yang bersembunyi di balik batu-batu besar memakan umpan. Kadang nelayan memperoleh 10 – 15 ikan per hari dan kadang nihil. Jika dijual ke pengumpul ikan segar (ikan hidup) di keramba jaring apung, Geropa jenis Tong Seng dapat dihargai 340 ribu per kilonya. Mereka sudah tampak senang dengan penghasilan seperti itu.
Semoga tulisan ini dapat kembali mengingatkan saya kelak tentang keindahan Kei, kelembutan orang-orang Kei, serta segala pesona mulai dari pasir, laut, karang, dan juga matahari.