PASANG SURUT BUDIDAYA KERAPU MACAN DI KABUPATEN BERAU
Oleh Masayu Yulien Vinanda
Jakarta (12/05)-Program percontohan budidaya kerapu macan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur yang sudah dimulai sejak 2009, kini memasuki siklus yang ketiga. 1200 benih kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) didatangkan dari tempat pembenihan di Situbondo, Jawa Timur. Walaupun harus menempuh perjalanan panjang melalui darat, udara, dan laut yang tidak kurang dari 13 jam, 100% benih kerapu mampu bertahan hidup saat ditebar di Kampung Balikukup. Budidaya kerapu siklus ketiga ini sepenuhnya dikelola oleh Kelompok Sapandapat, kelompok nelayan lokal dampingan WWF.
Merunut kembali saat pertama kali program percontohan budidaya kerapu ini dicetuskan, yakni pada tahun 2009, sederet pembelajaran berharga pun kian terkuak. Program percontohan budidaya kerapu macan dilatarbelakangi oleh maraknya praktik perburuan kerapu hidup yang merusak lingkungan. Ya, selain penyu yang menjadi ikon dari kabupaten yang terletak di hidung Kalimantan tersebut, Berau memang kaya akan potensi perikanan kerapu hidup. Permintaan pasar untuk kerapu hidup pun seakan tak pernah surut. Kerapu tersebut dieskpor dalam keadaan hidup lalu dibunuh pada saat akan dimasak. Hal ini dilakukan tentu semata-mata demi menciptakan cita rasa segar untuk kepuasan para konsumen. Akibatnya, para nelayan berlomba-lomba untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kerapu. Racun potas pun menjadi pilihan dalam berburu kerapu.
Racun potas berfungsi untuk membuat “teler” kerapu agar semakin mudah ditangkap. Namun, ada harga mahal yang harus ditanggung. Terumbu karang pun menjadi korbannya. Semakin banyak nelayan yang disuplai potas oleh para cukongnya, maka semakin hancur ekosistem terumbu karang. Tidak hanya itu, jumlah kerapu pun semakin berkurang karena ulah para pemburu yang “kalap.” Semua kerapu ditangkap tanpa mempedulikan ukurannya. Bahkan kerapu yang masih anakan (juvenile) tak luput dari jerat racun potas nelayan.
“Ada dua cara utama yang bisa dilakukan untuk memperbaiki fenomena perdagangan kerapu hidup yang merusak itu. Cara pertama adalah memperbaiki cara tangkap, dari yang merusak menjadi ramah lingkungan. Cara lainnya yakni dengan mengalihkan mata pencaharian nelayan dari menangkap kerapu di alam menjadi sesuatu yang lain. Salah satunya adalah membudidayakan kerapu,” ujar Candhika Yusuf, Koordinator Program Budidaya WWF-Indonesia.
Menjadikan Berau sebagai proyek percontohan untuk budidaya kerapu bukanlah upaya yang mulus tanpa hambatan. Diawali dengan feasibility study pada tahun 2009 dan pelaksanaan siklus pertama pada Agustus 2010, sejumlah tantangan pun kerap muncul.
Pada siklus pertama, WWF-Indonesia memberikan bantuan kepada tiga kelompok binaan yakni Kelompok Kabilahian di Kampung Tanjung Batu, Kelompok Idaman Bersama di Kampung Teluk Sulaiman, dan Kelompok Sapandapat di Kampung Balikukup. Dari 1000 ekor yang dibeli dari Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut di Gondol, Bali atas bantuan UD Pulau Mas, hanya 600 ekor yang selamat sampai di Berau. Pengiriman benih kerapu dari Bali ke Berau via transportasi laut dengan menggunakan salah satu kapal loading ikan kerapu hidup milik UD Pulau Mas mencapai waktu 7 hari. Mayoritas kematian disebabkan faktor pemeliharaan benih yang kurang diperhatikan pada saat pengangkutan benih dengan kapal laut.
Kisah pahit lainnya terjadi pada periode Agustus – November 2010. Benih yang dikelola Kelompok Kabilahian dan Kelompok Idaman Bersama mengalami mortalitas 100% yang diakibatkan berbagai macam faktor, baik teknis maupun non teknis. Ikan dari siklus pertama yang masih bertahan hidup adalah yang dibudidayakan oleh Kelompok Sapandapat.
Pada Mei 2011, WWF mencoba lagi untuk memberikan bantuan benih kerapu macan untuk Kelompok tersebut. Pada siklus kedua ini, sebanyak 1000 benih kerapu didatangkan dari tempat pembenihan di Situbondo – Jawa Timur. Kombinasi faktor buruknya penanganan pada saat proses transportasi dan buruknya kualitas benih, serta faktor cuaca yang tiba – tiba terjadi badai menyebabkan benih kesulitan untuk bertahan hidup. Hanya sekitar 350 ekor benih yang selamat pada saat penebaran. Satu bulan kemudian, terus menerus terjadi kematian hingga akhirnya tersisa 38 ekor. Ini yang masih bertahan sampai dipanen minggu lalu.
Walaupun baru satu kali panen, dengan tingkat produksi yang tidak seberapa, semangat Kelompok Sapandapat sangat luar biasa. Mereka meyakini kalau budidaya kerapu suatu saat akan membuat mereka hidup berkecukupan.
“Semangat Kelompok Sapandapat merupakan suntikan energi yang sangat berarti bagi tim budidaya WWF-Indonesia. Pembelajaran berharga juga telah kami petik bersama. Bagaimana pemilihan benih kerapu yang berkualitas prima, mengoptimalkan strategi transportasi dari hatchery ke lokasi budidaya, menerapkan disiplin tinggi untuk berbudidaya sesuai dengan BMP, serta meningkatkan kapasitas kelompok untuk manajemen pakan dan penanganan benih yang sakit. Kami optimis, siklus ketiga ini akan mampu menorehkan kisah sukses dalam sejarah budidaya kerapu macan di Kabupaten Berau,” pungkas Candhika.