PAPAGARANG, DESA PERJUANGAN YANG BERKEMBANG BERSAMA TAMAN NASIONAL KOMODO
Oleh: I Made Bayu Gunantara (Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional (STPBI), Responsible Marine Tourism Intern, WWF-Indonesia)
Selain Kampung Rintja, saya juga menetap satu minggu di Desa Papagarang, Taman Nasional Komodo. Desa ini berada dalam area Pulau Papagarang yang dulunya disebut kawasan penyangga. Sekitar 426 kepala keluarga yang menetap di desa ini berasal dari etnik berbeda-beda. Lombok, Manggarai, Bima, Bugis-Makassar, Bajo, Flores, dan sebagainya.
Pada umumnya warga bekerja sebagai nelayan. Boleh dikata, Desa Papagarang adalah desa perjuangan. Warga beradaptasi dengan wilayah tanpa sumber air bersih, sistem tadah hujan menjadi pilihan mereka selama berpuluh puluh tahun.
Saya merasakan panas menyengat sejak pertama kali tiba. Melewati rumah rumah panggung warga yang dibangun rapat satu sama lainnya, dan bergegas menuju rumah pos Polisi Kehutanan (Polhut) Taman Nasional Komodo.
Di sana, Abdul, penjaga pos telah menanti dengan senyum lebar. “Panas ya…di sini memang teriknya luar biasa,” ia menyapa. Ia bercerita banyak tentang Desa Papagarang dan tentang tugas yang harus diembannya selama bekerja di Papagarang.
Di hari berbeda, saya bertemu Suharto atau Harto. Pria asli kelahiran Papagarang ini dulunya adalah nelayan dan berhenti sejak menjabat sebagai kepala urusan pemerintahan desa. Di saat senggang, Harto pergi memancing. “Kalau butuh lauk makanan, cukup menggayung dayung saja. Kita beruntung karena wilayah ini di konservasi,” jelasnya.
Dulunya, ia menolak ide menjadikan Papagarang sebagai bagian dari Taman Nasional komodo. “Saya bahkan mengajak orang lain untuk protes. “Kami khawatir nantinya kalau desa ini masuk kawasan dilindungi, nelayan tak boleh lagi mencari ikan di laut”. Harto berubah pikiran saat ia bergabung menjadi anggota Masyarakat Mitra Polisi Hutan.
“Saya belajar tentang konservasi, dan ternyata apa yang saya lakukan dulu itu banyak yang salah. Misalnya, dulu saya mencari mata tujuh dengan cara mencongkel karang, dan ini menyebabkan kerusakan karang. Apa yang saya lakukan sama halnya merusak rumah ikan, terumbu karang adalah salah satu tempat ikan-ikan bertelur, serta rumah bagi ikan-ikan kecil,” kisahnya.
“Saya menyesal dulu pernah merusak alam yang saya miliki, Mas,” ungkapnya pada saya., “Saya sekarang mencoba menyadarkan masyarakat lainya, sehingga mereka tahu betapa pentingnya melakukan konservasi,” tutup Harto mantap.
Seperti kata-katanya, Suharto memang aktif memberi pemahaman terhadap masyarakat tentang pentingnya konservasi., Sebagai Kaur Desa, Suharto berharap mampu membuat program konservasi yang dijalankan terus menerus, dan mendorong Papagarang berkembang sebagai desa wisata. “Pariwisata bisa membantu kami menjaga alam ini terus menerus dan menjual keindahannya pada wisatawan,” katanya.
Agus (21 tahun), warga Desa Papagarang adalah naturalist guide di Loh Buaya yang juga saya temui. Dulunya ia nelayan muda yang mencari ikan dengan cara apapun. “Sekalipun ikan tersembunyi di terumbu karang, saya pasti memburunya. Bila perlu sampai merusak terumbu karang,” jelasnya.
Saat menjadi naturalist guide Taman Nasional Komodo, dan diberi pengetahuan tentang konservasi, Agus menyadari betapa besar dampak yang timbul bila terumbu karang hancur. “Kini saya selalu memberitahu keluarga saya untuk mencari ikan di zona-zona yang sudah ditentukan oleh Taman Nasional Komodo.”
Semua orang yang saya temui memiliki cerita yang sama tentang kampung dan desa mereka. Situasi yang sulit, pariwisata yang tak menyentuh langsung daerah mereka, hingga kesadaran baru yang timbul untuk menjaga kawasan taman nasional.
Berbicara dengan mereka seperti berbicara tentang masa depan yang telah pasti depan mata, namun butuh kekuatan besar untuk membuat masa depan tersebut terwujud. Tapi, kekuatan besar tersebut ada pada diri mereka, warga desa yang berkembang bersama pariwisata alamnya.
Seri tulisan ini adalah bagian dari catatan I Made Bayu Gunantara selama dua bulan mendukung program WWF-Indonesia dan Taman Nasional Komodo sebagai tenaga pendamping masyarakat di bidang pariwisata. Kegiatan pendampingan terbagi ke dalam tiga fokus utama, yaitu bidang kelautan, perikanan, dan pariwisata. Program ini bertujuan untuk membuka pintu dan menjembatani kebutuhan pada tingkat masyarakat di Taman Nasional Komodo.