PAKANT TALUNT, CARA MASYARAKAT ADAT LESTARIKAN ALAM
Oleh Sri Jimmy Kustini
Linggang Melapeh, Kutai Barat (22/04)Matahari mulai bersinar terang di pagi tanggal 22 April 2012 pada hari Bumi saat masyarakat berduyun-duyun menuju lokasi kawasan hutan Gunung Eno yang berada di Kampung Linggang Melapeh, Kecamatan Linggang Bigung, Kutai Barat. Laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, pemuda-pemudi semua turut ambil bagian, tidak mau ketinggalan untuk mengikuti ritual adat Pakant Talunt yang digelar di kawasan Gunung Eno.
Mayoritas penduduk di wilayah Linggang Melapeh ini berasal dari Dayak Rentenukng. Masyarakat melakukan ritual adat ini sebagai bentuk partisipasi, kepedulian dan komitmen masyarakat dalam upaya melestarikan hutan yang sudah dilakukan sejak dahulu. Menjaga hutan berarti menjaga bumi yang menjadi tempat tinggal manusia.
Upaya perlindungan hutan ini telah dilakukan sejak tahun 1982 termasuk diantaranya dengan mengadakan pencegahan terhadap perusahaan kayu yang akan dan masuk dalam kawasan lindung Gunung Eno. Kawasan hutan Gunung Eno dalam bahasa Dayak di sebut juga Benua Malaang Ari yang bisa diartikan sebagai kawasan hutan yang melintang terhadap jalur pergerakan matahari. Sedangkan kata Eno sendiri adalah sebutan untuk penunggu dikawasan hutan tersebut yaitu nama macan dahan atau kuleh.
Melamun, Kepala Adat Kampung Linggang Melapeh mengutarakan, bahwa adat pakatn talutn yang digelar di gunung Eno adalah sebagai upaya meminta ijin atau permisi dari para ‘penghuni hutan’ serta pemberitahuan kepada para penghuni bahwa akan dilaksanakan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pelestarian di kawasan gunung Eno. Melalui ritual ini diharapkan kegiatan yang akan dilakukan di kawasan tersebut akan berjalan lancar dan terhindar dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Dalam ritual ini juga tersirat bentuk ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta atas sumber daya yang tersedia dan janji masyarakat adat Linggang Melapeh untuk tetap menjaga dan melestarikan hutan untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang di wilayah Linggang Melapeh yang dimulai dari kawasan hutan Gunung Eno.
Proses ritual adat ini berjalan selama dua hari dan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual yaitu pemeliatn yang bekerjasama dengan Kepala Adat Linggang Melapeh. Berbagai bahan ritual dipersiapkan untuk pelaksanaan ritual diantaranya adalah babi, ayam hitam, telur ayam kampung, guci atau antakng, patung, anjing hitamasi, ketan merah dan putih, kain hitam, gong, keratukng atau gendang, mandau, bunga kepangir merah, anjing hitam, tabaq atau kemenyan, sepui dan beras penyempayatn.
Setelah usai ritual adat ini, masuk masa beperikng atau tuhikng atau masa dimana tidak seorangpun diperbolehkan melakukan kegiatan di dalam hutan selama 4 hari. Masa tuhikng selama 4 hari diberlakukan karena pada saat ritual adat hewan yang dipersembahkan sebagai sesaji adalah hewan berkaki empat (babi dan anjing). Hal itu akan memberikan kesempatan bagi “penghuni hutan” untuk “makan” sesaji yang dipersembahkan. Menurut kepercayaan Dayak, bila ada yang lalai mematuhi larangan ini maka akan mendapat celaka atau musibah yang tidak terduga.
Menurut Melamun, orang Dayak meyakini adanya hubungan tertentu antara manusia dengan alam gaib atau dunia lain. Ritual adat yang dilaksanakan ini mencakup beberapa 8 ritual yaitu pakatn talutn, pakatn butaaq, pakatn tonoi, pakatn bangsiq, pakatn rokak, pakatn nyahuq, melaas, dan temanceu. Ritual adat ini mempersembahkan 8 ekor ayam jago merah, 2 ekor babi dan 1 ekor anjing hitam sebagai hewan sesaji bagi penghuni hutan.
Melalui ritual yang dipimpin pemeliatn ini akan dibacakan mantera-mantera, pembakaran tabaq, tiup sepui dan tabur beras penyempayatn untuk berkomunikasi dan memanggil para penghuni atau penunggu hutan untuk hadir dan memberikan restu dan tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan pelestarian dan pengelolaan hutan yang akan dilaksanakan di kawasan gunung Eno. Untuk menjaga hubungan baik dengan dunia supranatural itulah maka dilaksanakan ritual adat pakatn talutn dengan mempersembahkan berbagai sesaji.
Ritual adat yang digelar itu adalah bentuk dukungan adat dan keseriusan serta komitmen masyarakat Kampung Linggang Melapeh dalam pelestarian hutan yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran semua pihak untuk menjaga kelestarian alam yang telah Ketergantungan hidup dengan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup telah dijalani masyarakat Dayak sejak ratusan tahun lalu, bahkan hingga saat ini mereka masih bergantung pada hutan untuk pemenuhan protein hewani, karbohidrat, sayuran, dan obat-obatan.
Kawasan hutan Gunung Eno tidak terlalu luas, jika dibandingkan dengan luasan hutan di Kabupaten Kutai Barat, hanya sekitar 90 Ha yang terletak di antara Danau Aco dan kampung Linggang Melapeh. Hutan ini memiliki 5 sungai kecil yang menjadi penyangga kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Pohon-pohon yang dominan di hutan ini adalah dari famili dipterocarpaceae dimana beberapa jenis penting dari famili ini sudah berkurang jumlahnya dan terancam punah. Selain itu juga tumbuh beberapa jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan tradisional dan juga untuk sayuran.
Kawasan hutan ini juga menjadi tempat tinggal beberapa binatang khas Kalimantan seperti Malu-Malu (nycticebus coucang) dan Macan Dahan (clouded leopard) yang sudah hampir punah. Macan Dahan juga merupakan simbol Kabupaten Kutai Barat.