MENYELAMATKAN ALAM UNTUK MENYELAMATKAN AIR
Oleh: Natalia Trita Agnika
Siapa yang bisa hidup tanpa air? Tak ada satu pun makhluk hidup di dunia ini yang bisa hidup tanpa air. Begitu pentingnya arti air bagi kehidupan telah menjadi fokus utama dalam momen Hari Air Sedunia yang diperingati setiap 22 Maret.
Air yang pada zaman dahulu kala merupakan sumber daya yang sangat melimpah dan dalam kualitas bagus, kini terancam ketersediaannya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ramai berita tentang ancaman kekeringan yang melanda Afrika Selatan. Dalam berita yang beredar disebutkan bahwa ibu kota Afrika Selatan, Cape Town, terancam menjadi kota besar pertama di dunia yang akan kehabisan air bersih. Kota ini disebut hanya akan memiliki waktu 90 hari sebelum cadangan airnya benar-benar habis. Sungguh berita yang membuka mata dan tentunya kesadaran kita tentang ketersediaan air. Bila itu sudah terjadi nyata di belahan dunia lain, hal yang sama juga dapat terjadi di tempat kita. Tinggal menunggu waktu bila kita tak berbuat apa-apa.
Sudah saatnya kita membuka mata terhadap fakta memprihatinkan yang ada. Dalam “United Nations World Water Development Report 2018: Nature-based solutions for water” disebutkan bahwa saat ini, 1,9 miliar orang hidup di daerah yang mengalami kelangkaan sumber air. Pada tahun 2050, jumlah tersebut dapat meningkat hingga sekitar 3 miliar orang karena populasi penduduk dunia akan bertambah 2 miliar orang dan permintaan air secara global dapat mencapai 30% lebih tinggi dari hari ini.
Fakta-fakta tersebut seharusnya memicu untuk memperbaiki pola konsumsi air kita sehari-hari. Saatnya kita memperlakukan air sebagai harta yang berharga yang harus dijaga. Ada berbagai hal sederhana yang bisa dilakukan sehari-hari demi menghemat air, misalnya mematikan kran saat menggosok gigi, memilih mandi menggunakan shower dibanding gayung, atau memastikan telah menutup kran air dengan rapat. Tidak membuang sampah ke saluran air dan sungai juga merupakan salah satu cara menjaga sumber air.
Namun ada hal penting yang juga harus kita lakukan, yaitu memperbaiki akar permasalahannya. Sebagai sumber kehidupan, ketersediaan air tergantung pada sehat atau tidaknya kondisi alam. Saat ini, setidaknya 65% dari lahan hutan dalam kondisi terdegradasi (sumber: United Nations World Water Development Report 2018). Padahal, keberadaan pohon di kawasan sumber mata air sangat penting karena berfungsi sebagai penyerap air dan penyangga tanah. Dengan demikian, perlindungan sumber daya air dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Selain itu, sejak tahun 1900, lahan basah alami berkurang sebesar 64-71% akibat aktivitas manusia. Keberadaan lahan basah itu seperti sistem pembuluh darah yang menghubungkan seluruh bentang alam. Keberadaannya sangat penting. Tanpa lahan basah, dunia akan sangat kekurangan air. Lahan basah mencukupi kebutuhan air bersih. Lahan basah juga dapat diibaratkan sebagai spons raksasa yang dapat menyerap dan menyimpan air dari hujan yang sangat lebat, kemudian melepaskannya secara perlahan-lahan ke lingkungan sekitarnya.
Karena itulah, tahun ini, dalam momen Hari Air Sedunia, melalui tema “Nature for Water”, kita diingatkan dan diedukasi bahwa alam adalah jawabannya. Bila kita ingin terhindar dari krisis air, kita harus segera menyelamatkan alam. Beberapa solusi berbasis alam untuk membantu mengelola ketersediaan dan kualitas air dilakukan dengan cara memulihkan hutan, padang rumput dan lahan basah alami, menghubungkan kembali sungai ke dataran banjir (dataran luas yang berada di kiri kanan sungai yang terbentuk oleh sedimen akibat limpasan air sungai tersebut), serta menciptakan vegetasi penyangga di sepanjang aliran air. Selain mengembalikan keseimbangan siklus air, solusi berbasis alam tersebut juga dapat berdampak positif bagi kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan.
Dalam kaitannya menjaga ketersediaan air, tahun ini WWF-Indonesia memulai program restorasi hutan di sekitar bendungan Koto Panjang, Riau, untuk memperbaiki daerah resapan air yang rusak. Dalam melakukan rehabilitasi ini, WWF akan melibatkan masyarakat lokal untuk kegiatan penanaman pohon serta berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Bersama dengan program Freshwater, restorasi lahan di Koto Panjang juga disertai dengan mitigasi sedimentasi yang akan memperbaiki debit air dan meningkatkan kualitas air di daerah aliran sungai.
Sebagai penduduk urban, jangan bayangkan bahwa solusi berbasis alam ini hanya urusan mereka yang dekat dengan hutan atau hulu sungai yang ada jauh di pedalaman. Kita pun dapat turut memulihkan kembali hutan. Cari tahu caranya di wwf.id/mybabytree.
Menyelamatkan alam untuk menyelamatkan air bukan merupakan solusi yang dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Kolaborasi dari pemerintah, institusi keuangan, lembaga donor, pelaku usaha, dan seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan. Mari, kini saatnya beraksi dalam kolaborasi.
SELAMAT HARI AIR SEDUNIA!