MENYAYAT PERUT PENYU DEMI TELURNYA
Oleh : Dwi Suprapti (Marine Species Conservation Coordinator, WWF-Indonesia)
Penyu merupakan salah satu reptil laut purba yang masih bertahan hingga saat ini. Berdasarkan analisis fosil-fosil yang ditemukan para ahli antropologi, diketahui bahwa penyu telah menempati Bumi sejak Zaman Triassic atau lebih dari 200 juta tahun yang lalu dan telah melalui proses evolusi untuk dapat bertahan dari kondisi alam masa lampau hingga akhirnya tetap ada hingga saat ini.
Penyu memiliki siklus hidup yang panjang dan tingkat kehidupan yang rendah. Hewan ini baru mencapai umur dewasa sekitar 30 – 50 tahun. Dari hasil pengamatan para ahli bahwa dari 1000 butir telur yang menetas menjadi tukik (bayi penyu) diperkirakan hanya 1 ekor yang mampu hidup sampai dewasa dan kembali bertelur. Hal ini mengakibatkan peremajaan penyu sangat lambat.
Meskipun tak banyak yang dapat tumbuh hingga dewasa, namun perjuangan kehidupan penyu tak berhenti. Penyu betina dewasa akan menelurkan ratusan telurnya agar generasinya dapat terus berlanjut. Namun sayang jika induk penyu yang telah berjuang hidup lebih dari 30 tahun untuk menjadi dewasa ini ketika akan bertelur harus mati terbunuh di pantai peneluran karena ulah manusia yang tak sabar ingin mengambil telur dari tubuhnya.
Kasus ini di antaranya ditemukan di Paloh, yang merupakan pantai peneluran penyu terpanjang di Indonesia dan sangat disukai oleh Penyu Hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur. Pantai yang terletak di ekor borneo ini telah lama menjadi lokasi target bagi pemburu telur penyu. Bahkan berdasarkan data publikasi WWF-Indonesia Tahun 2012 menunjukkan bahwa hampir 100% telur penyu diburu sepanjang tahun pada periode sebelum tahun 2010. Namun, seiring dengan upaya pendampingan WWF-Indonesia kepada masyarakat serta kegiatan pemantauan rutin sepanjang hari yang dilakukan hampir 8 tahun telah membuahkan hasil. Setidaknya, lebih dari 70% sarang penyu berhasil diselamatkan dan menetas menjadi tukik.
Namun, tampaknya upaya pemantauan rutin yang dilakukan WWF-Indonesia bersama Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) ini membuat pemburu telur penyu menjadi tak leluasa bergerak. Untuk mempersingkat waktu pengambilan telur, dimana biasanya mereka harus menunggu proses ritual penyu bertelur mencapai 3 jam, jalan singkat ditempuh dengan menyayat bagian tepi perut penyu untuk kemudian mengeluarkan saluran telur dan mengambil telurnya secara paksa.
Peristiwa ini diketahui baru-baru ini. Setidaknya dalam waktu 1 minggu 2 ekor penyu Hijau dijumpai terdampar mati di Pantai Peneluran Paloh dalam keadaan membusuk dengan kondisi perut terbelah. Kejadian pertama dijumpai tanggal 14 September 2017 sekira pukul 11 siang. Saat tim observer WWF-Indonesia menerbangkan drone untuk melakukan observasi kerusakan vegetasi pantai akibat pembukaan lahan hutan pantai yang marak terjadi di Paloh, terlihat seekor penyu Hijau terdampar mati dan terlihat saluran menyerupai usus menjulur panjang di luar tubuhnya.
Mendengar laporan tersebut WWF-Indonesia menurunkan Dokter Hewan dan tim untuk melakukan forensik pada tanggal 16 September 2017. Hasil observasi mengkonfirmasi bahwa benar adanya 1 ekor penyu Hijau (Chelonia mydas) yang dijumpai mati terdampar dalam keadaan telah mengalami pembusukan tingkat lanjut (kode 4) atau diperkirakan telah mati lebih dari 5 hari yang dijumpai di pantai utara Paloh mengarah ke Desa Temajuk. Penyu ini berjenis kelamin betina dan merupakan penyu dewasa (diperkirakan lebih dari 30 tahun) dengan ukuran panjang lengkung karapas (PLK/ CCL) 96 cm. Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopis terlihat adanya tanda-tanda luka sayatan dengan benda tajam pada bagian tepi kiri bawah tubuh penyu (vulnus penetrosum at inframarginal scute sinister). Sayatan ini diduga adalah bagian dari upaya mengeluarkan paksa saluran telur penyu (oviduct) untuk kemudian diambil telurnya.
Kejadian kedua adalah jumat tanggal 22 September 2017 pada pagi hari saat tim pemantau WWF-Indonesia hendak melakukan pendataan rutin jejak penyu yang bertelur, dijumpai kembali seekor penyu Hijau Betina berukuran Panjang dan lebar lengkung karapas masing-masing 73 dan 64 cm dalam keadaan mati dengan kondisi telah mengalami pembusukan lebih lanjut (kode 4) dan terdapat bekas tali pancing yang melilit di tubuhnya. Saat dilakukan pengamatan penyu ini juga mengalami luka sayatan pada bagian tepi kanan bawah tubuh penyu (Vulnus penetrosum at inframarginal scute dexter). Hal ini diduga adalah bagian dari upaya paksa untuk mencari dan mengambil telur dari tubuh penyu. Meskipun ukuran penyu menunjukkan belum dewasa dan belum masanya bertelur.
Sehingga hal ini diduga bahwa penyu tersebut adalah penyu yang hampir dewasa dan sedang bermigrasi di perairan Paloh namun tersangkut tali pancing secara tidak sengaja oleh pemancing ikan yang ada disekitar pantai Paloh, kemudian penyu disayat tubuhnya untuk mencari telurnya. Sayangnya penyu ini belum dewasa sehingga tak ditemukan keberadaan telurnya sehingga kondisi penyu saat ditemukan masih dalam keadaan utuh tidak seperti kejadian sebelumnya dimana oviduct telah dikeluarkan dari tubuhnya.
Dengan demikian kedua kasus diatas adalah bentuk kekerasan fisik terhadap penyu secara berencana dengan cara melukai dan menyayat bagian bagian tepi bawah tubuh penyu (Inframarginal scutes) sebagai upaya pengambilan paksa telur penyu dari dalam tubuhnya. Tentunya hal ini sangat tragis dan merupakan bagian daripada kejahatan kriminal satwa dilindungi dan harus dicegah kejadian serupa agar penyu-penyu yang sejatinya telah bertahan hidup hingga dewasa melawan kerasnya kehidupan dan tantangan di lautan namun harus mati dalam sekejap akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab hanya demi mendapatkan telurnya secara singkat.
Tentunya hal ini harus mendapat perhatian serius dari manajamen otoritas dan aparat penegak hukum untuk bersama-sama dalam melakukan pengawasan dan pengelolaan konservasi penyu di Indonesia khususnya di Paloh, dimana lokasi Paloh yang strategis dan bertetangga langsung dengan negara Malaysia yang memiliki harga jual telur penyu cukup tinggi dibandingkan perdagangan lokal menyebabkan peminat perburuan telur penyu masih terus berlangsung hingga saat ini mengingat nilai ekonomisnya yang cukup tinggi.