MENGINTIP KEMERDEKAAN DARI JENDELA PENDIDIKAN DI TANAH PAPUA
Oleh: Blandina Isabella Patty (ESD Officer WWF-Indonesia Program Papua)
“Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…“
Kutipan dari naskah Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia ini adalah patokan bahwa negara yang kita cintai ini telah merdeka dari masa penjajahan. Dan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar telah berdiri selama 71 tahun dengan 34 provinsi tersebar dari barat sampai ke timur negeri ini .
Setiap tanggal 17 bulan ke-8, Sang Saka Merah Putih berkibar di setiap sudut dan pelosok negeri ini, dari Aceh sampai Papua. Anak-anak di seluruh kota dan daerah di negeri ini selalu memaknainya dengan upacara bendera dan aneka perlombaan. Bahkan yang usia dewasa pun terkadang memaknainya dengan hal yang sama, mungkin karena rutinitas 17 Agustus selama 12 tahun di bangku sekolah dasar hingga menengah atas.
Kemerdekaan yang sejati bukanlah sekadar merdeka dari tangan penjajah, tetapi seharusnya bebas dari eksploitasi, kebodohan, dan ketidakadilan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, tradisi, dan keanekaragaman hayati yang tersimpan di alamnya. Papua adalah provinsi paling timur Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah ruah dan sebagian besar dari potensi tersebut merupakan endemik Papua. Namun, kekayaan yang tersimpan di Papua tidak sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memiliki peranan khusus dalam menjaga dan mengelola kekayaan alam yang ada. Pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan bangsa rupanya belum seutuhnya menyentuh dan berjalan sempurna di Papua. Hal tersebut terlihat jelas pada saat perjalanan tim EKSPEDISI SAIRERI WWF-Indonesia mengarungi Perairan Saireri bersama KM. Gurano Bintang pada Juni silam.
Selama 17 hari berlayar mengarungi Teluk Saireri, kami melakukan survei MDGs (Millenium Development Goals). Saya dan beberapa tim mendapat tugas survei bidang pendidikan sehingga kami berkesempatan menyambangi sekolah di tiap kampung. Ada 6 kampung di Kabupaten Kepulauan Yapen dan 3 kampung di Kabupaten Biak Numfor yang kami datangi. Sekitar 8 sekolah kami singgahi untuk bertemu dan wawancara dengan kepala sekolah atau guru di masing-masing sekolah.
Mengapa hanya 8 sekolah padahal ada 9 kampung yang kami datangi? Hal ini dikarenakan ada satu kampung yang tidak memiliki fasilitas pendidikan seperti bangunan sekolah yang layak, yaitu di Kampung Sawendui, di utara Pulau Yapen. Akibatnya, anak-anak usia sekolah yang ada di kampung ini harus bersekolah ke kampung sebelahnya. Dan itu bukanlah hal yang mudah. Untuk sampai di kampung sebelah, anak-anak di Sawendui harus menggunakan perahu motor atau dayung pagi-pagi sekali agar dapat menerima pelajaran di sekolah. Terkadang usaha mereka mengejar waktu dengan harapan dapat belajar di sekolah pun harus pupus ketika setibanya di sekolah tidak ada tenaga guru yang mengajar atau ada guru yang mengajar tetapi hanya ada satu atau dua guru saja.
Keterbatasan tenaga guru merupakan situasi dan kondisi yang memprihatinkan dan kerap kali terjadi di daerah-daerah kecil di Tanah Papua. Menurut Kabid SD Kabupaten Kepulauan Yapen, Marinus Manufandu, S.Pd kebanyakan tenaga pengajar tidak berada di tempat karena kurangnya niat dan motivasi diri untuk berada di tempat tugas. Selain itu, lemahnya pengawasan yang harusnya dilakukan Dinas Pendidikan per triwulan juga mempengaruhi hal tersebut. “Harusnya supervisi (evaluasi dan monitoring) dilakukan setiap tiga bulan sekali. Tetapi pada kenyataanya, petugas atau pengawas tidak sampai ke kampung- kampung. Semua hanya bertumpuk di kota. Bagaimana mau tau keadaan di sekolah, di kampung?” tutur Marinus kepada kami.
Kami menyaksikan sendiri keadaan sekolah dan PBM (Proses Belajar Mengajar) yang sangat tidak maksimal dan tidak efektif. Hanya ada 1 atau 3 guru termasuk tenaga honorer yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6 SD. Terkadang malah satu sekolah hanya ada 1 guru yang aktif. Antusiasme dan semangat belajar dari anak-anak sering kali terhambat karena terbatasnya tenaga pengajar. Sebagai solusi sementara, terkadang satu ruangan belajar harus menampung 2 kelas dan pembagian kelasnya hanya disekat dengan papan.
Selain terbatasnya tenaga guru, hal yang kami jumpai pada saat Ekpedisi Saireri adalah bangunan sekolah dan fasilitas sekolah yang tidak memadai. Sebagai contoh, SD YPK Ambai 1, Yapen dalam satu sekolah hanya ada 5 ruang kelas yang dipakai untuk PBM, sedangkan satu ruang kelas lainnya dijadikan sebagai ruang guru, ruang kepala sekolah dan sekaligus sebagai perpustakaan. Dan yang lebih memprihatinkan, di sekolah tersebut tidak tersedia toilet/wc umum untuk siswa dan guru. Setiap kali siswa atau guru ingin ke kamar kecil, mereka harus pulang ke rumah pada saat jam belajar berlangsung.
Dengan segala keterbatasan itu, tak heran banyak siswa mengalami keterlambatan dalam membaca dan menulis. Biasanya, siswa baru dapat mulai membaca dan menulis dengan lancar ketika kelas 4 sampai 6. Kemampuan siswa untuk mengembangkan diri dan memahami realitas untuk menghadapi lingkungan luar pun terhambat. Anak-anak yang kami jumpai saat itu cenderung tidak memiliki kepercayaan diri yang mantap.
Kondisi tersebut banyak ditemui di daerah-daerah kecil dan sulit dijangkau sedangkan di kota kabupaten atau di ibukota provinsi, perkembangan pendidikan jauh lebih baik. Namun, harapannya, situasi seperti ini dapat segera berubah. Anak-anak Indonesia, baik di kota besar maupun kampung terpencil harus mendapatkan hak dan fasilitas pendidikan yang sama rata. Menurut saya, pendidikan merupakan alat yang efektif untuk menjadikan Indonesia merdeka yang seutuhnya.
Harapan saya dan tim ekspedisi, melalui kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang kami lakukan di wilayah Saireri Papua dapat membangkitkan semangat konservasi bagi anak- anak di wilayah tersebut agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang memiliki tanggung jawab akan kelestarian lingkungan di sekitar mereka. Semoga mereka dapat menjadi generasi penerus Bangsa Indonesia yang memiliki nilai juang sebagai pejuang konservasi dari Timur Indonesia yang menyelamatkan lingkungan.
Dirgahayu ke-71 Republik Indonesia!