MENELUSURI PERAIRAN PEDALAMAN DI RIMBANG BALING DAN DANAU SENTARUM
Oleh : Dita Larasati (Capture Fisheries Assistant)
Cuaca yang sejuk dan keindahan barisan bukit menemani perjalanan kami menyebrangi sungai untuk menuju stasiun riset yang juga diperuntukkan sebagai rumah singgah di Bukit Rimbang Baling. Kedatangan kami, tim WWF-Indonesia bersama dengan Sub-direktorat Perairan Umum Pedalaman-Kementrian Kelautan dan Perikanan (Subdit PUD – KKP), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BPP3U) Palembang pada tanggal 17 – 20 November 2016, bertujuan untuk melihat apakah draft indikator Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) perairan pedalaman yang telah disusun relevan untuk diterapkan di lapangan. Lokasi yang dipilih untuk uji coba penilaian ini yaitu Rimbang Baling, Riau dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Untuk lokasi di Rimbang baling kami melakukan penilaian perairan dari tiga desa di Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, yaitu Desa Muaro Bio, Desa Tanjung Belit, dan Desa Gemma. Sebelum melakukan penilaian kami sudah mendapatkan informasi mengenai kondisi lapangan, target lokasi dan stakeholder dari hasil diskusi di Universitas Riau bersama stakeholder setempat. Bagi kami kegiatan ini menjadi unik karena biasanya kami melakukan penelitian di wilayah laut. Dengan bantuan para ahli yang terlibat kami mencoba untuk melakukan penelitian di wilayah perairan pedalaman, yaitu perairan sungai, danau, dan rawa. Adapun yang menjadi indikator penilaian EAFM PUD ini terdiri dari Sumber daya Ikan, Habitat dan Ekosistem, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan.
Kami melakukan kunjungan pertama ke Desa Muara Bio menggunakan alat transportasi perahu. Percikan air sungai yang membasahi tubuh menjadi keseruan tersendiri bagi kami. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan beberapa warga desa. Warga desa juga menggunakan perahu sebagai alat transportasi mereka untuk kegiatan sehari-hari yaitu, menangkap ikan, membawa bahan keperluan rumah tangga dan lainnya. Terlihat tali melintang di atas sungai sebagai tanda batas lubuk larangan. Menurut Bapak Mawarji, Kepala Desa Muara Bio, di setiap Desa sepanjang Sungai Subayang memiliki dua lubuk larangan atau batas agar warga tidak menangkap ikan hingga bulan Juli atau hingga waktu yang disepakati dari hasil musyawarah desa dan ninik mamak yaitu orang yang dituakan, pemangku adat yang disegani. Sebenarnya tradisi ini memberikan keuntungan bagi warga desa karena dapat menjamin kelestarian sumber daya ikan. Namun sayangnya belum ada aturan yang tertulis mengenai ukuran tangkap ikan dan pembatasan jenis penggunaan alat tangkap yang diperbolehkan saat dibukanya lubuk larangan ini.
Hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Tanjung Belit untuk berdiskusi dengan para nelayan. Sebagian besar warga Bukit Rimbang Baling bermata pencaharian sebagai petani karet dan sesekali menjadi nelayan. Biasanya nelayan menggunakan alat tangkap pancing dan jaring untuk menangkap ikan. Jenis ikan yang banyak ditangkap, yaitu ikan kapiek (Puntius schwanepeldi), belida (Chitala lopis), baung (Mystus nemurus), dan tapah (Wallago leeri). Beragamnya jenis ikan di daerah ini dipengaruhi ketiadaan pengusaha skala industri di lokasi tersebut.
“Di cerukan sungai di desa Muara Bio masih ada ikan tapah sebesar manusia”, ucap seorang nelayan di Desa Tanjung Belit saat diwawancara.
Di hari ketiga kami mengunjungi Desa Gemma. Jika dibandingkan dengan desa lainnya, Desa Gemma dapat dikatakan sebagai desa yang paling lengkap untuk mencari kebutuhan rumah tangga, di sana juga terdapat sekolah dan pasar. Rata-rata nelayan dari desa lain menjual hasil tangkapannya pada pengepul ikan yang ada di Desa Gemma.
Hasil pilot testing pertama ini menunjukkan perlunya penyesuaian pada indikator saving ratio (domain ekonomi). Hal ini dikarenakan nelayan tidak menjadikan aktifitas perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun secara umum, indikator penilaian EAFM PUD bisa diterapkan untuk perairan sungai.
Setelah aktivitas di Rimbang Baling selesai dilaksanakan, rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan pelatihan konsultan untuk penilaian EAFM PUD di Danau Sentarum pada 16 Desember 2016 di Pontianak. Materi pelatihan disampaikan oleh tim ahli dari IPB, yaitu Bapak Mukhlis Kamal dan Taryono Kodiran kepada dosen Politeknik Negeri Pontianak, yaitu Bapak Jumaidi. Nantinya Bapak Jumaidi yang akan melaksanakan penilaian bersama timnya di Danau Sentarum. Hasil uji coba penilaian EAFM PUD di Danau Sentarum tersebut akan digunakan tim untuk penyempurnaan draft indikator EAFM PUD. Setelah serangkaian kegiatan tersebut selesai dilaksanakan oleh tim Politeknik Negeri Pontianak pada akhir Januari, kegiatan akan dilanjutkan dengan workshop pembahasan di tingkat nasional untuk finalisasi matriks penilaian EAFM PUD. Selain itu, direncanakan juga pelatihan dan pendidikan bagi nelayan dan stakeholder untuk memastikan pengelolaan perikanan ini dapat dipahami dan dilaksanakan secara optimal.