MENCARI SEBUAH PETA KESUKSESAN
Oleh Syamsidar
Peta merupakan salah satu media penyampaian informasi yang solid dan simpel. Melalui Peta, ratusan informasi lapangan dapat direpresentasikan dengan sederhana sehingga membantu pemakainya untuk mengetahui kondisi suatu lokasi. Bahkan peta yang akurat, sebagai bagian dari informasi geografis juga merupakan salah satu unsur penting dalam upaya advokasi dan kampanye.
Anggoro Sudibyo adalah asisten SIG (Sistem Informasi Geografis) atau lebih dikenal dengan GIS (Geographic Information System) di WWF Program Riau sejak 18 Agustus 2008. Ratusan peta telah dihasilkannya karena salah satu tugasnya adalah memastikan peta-peta hasil survei di lapangan dan peta lain yang diperlukan tersedia secara tepat dan cepat. Tidak jarang ia harus bekerja di luar jam kerja karena kebutuhan akan peta datang pada saat yang tidak terduga misalnya jika terjadi konflik manusia-gajah atau harimau. Namun semua dilakukannya dengan gembira.
Lelaki lajang berusia 27 tahun ini pertama kali mengenal WWF saat sedang bekerja di Bali tahun 2007 di sebuah konsultan pemetaan. Ketika itu tempatnya bekerja menginisiasi Kegiatan Pelatihan Migrasi Software GIS dimana sebagian pesertanya dari WWF seluruh Indonesia. “Baru kali inilah saya mendengar nama WWF dan berangan-angan dapat bekerja di WWF karena bergelut di bidang lingkungan,” ujar Anggoro.
Ia membayangkan dapat menjelajah hutan dan melihat langsung kehidupan “liar” di alam bebas tentu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.Bekerja sambil belajar dari alam seperti yang dilakukaan pada saat Kuliah Kerja Lapangan ketika masih mengenyam pendidikan sarjana dulu. Harapan tersebut tidak sia-sia karena pada tahun 2008, Anggoro berhasil lulus ujian untuk menjadi asisten GIS di WWF Program Riau mengalahkan puluhan pelamar lainnya.
Alumni Fakultas Geografi-Universitas Gajah Mada ini pada awalnya sedikit canggung bersosialisasi dengan sesama staf yang lain karena perbedaan dialek dan budaya. Anggoro yang dilahirkan di Purwokerto masih kental dengan dialek Jawanya. Tidak heran disela-sela waktunya berkutat dengan menginterpretasi data lapangan ke dalam bentuk sistem informasi geografi, ia sering memutar lagu-lagu jawa untuk menghilangkan rasa rindu pada kampung halamannya.
Salah satu hal yang paling menyenangkan bagi Anggoro adalah melakukan survei lapangan karena ia dapat melihat tempat-tempat yang berbeda. Sejenak ia dapat melupakan rutinitas di depan komputer yang berkutat dengan data-data detil. Dengan senang hati ia mengumpulkan data terkait guna melengkapi data yang belum tersedia. Data-data yang pada umumnya bersifat titik-titik koordinat tersebut nantinya diolah menjadi data spasial. Berinteraksi dengan masyarakat di sekitar lokasi survei juga memberikan kesenangan tersendiri baginya. Sesekali ia mendapatkan pengalaman yang menggetarkan ketika harus mengambil data di lokasi-lokasi konflik atau perambahan atau lokasi dengan pengamanan tertentu.
Kabut asap yang setiap tahun melanda Riau menjadi keprihatinan sendiri bagi Anggoro karena salah satu tugasnya adalah memonitoring titik api yang bermunculan. Data-data ini akan digunakan oleh unit yang lain sebagai bahan kampanye ke media dan advokasi ke pemerintah. Ia berharap bahwa suatu hari nanti permasalahan kabut asap ini dapat benar-benar dituntaskan. “Tidak hanya ekosistem yang harus menanggung akibatnya, kesehatan dan ekonomi masyarakat pun terkena dampaknya,” jelasnya.
Hatinya juga miris melihat perambahan terjadi hampir di seluruh hutan tersisa di Riau. “Saya berharap ada komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menyelesaikan perambahan hutan tersebut dan suatu hari nanti di peta akan tertera banyak warna hijau yang menyimbolkan hutan-hutan terjaga kembali,” lanjutnya.
Anggoro berharap bahwa informasi spasial yang diwujudkannya dalam peta-peta tersebut dapat mensukseskan upaya konservasi yang diusung oleh WWF dan didukung oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.