LAPORAN WWF: SUPLAI MINYAK SAWIT LESTARI TIDAK LAGI MUSTAHIL DILAKUKAN
Kota Kinabalu, Malaysia – Laporan penilaian (score card) yang dirilis WWF, Selasa (22/10) menunjukkan adanya peningkatan pembelian produk minyak sawit lestari oleh perusahaan di Eropa, Australia dan Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan pasar untuk produk minyak sawit lestari yang dihasilkan dari industri sawit yang berkelanjutan terus meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi ini cukup menggembirakan, walaupun upaya penyelamatan hutan tropis masih tetap harus dilakukan secara bersamaan.
“Saat ini pelaku usaha dapat lebih mudah memperoleh atau membeli minyak sawit lestari untuk mereka gunakan dalam produk-produknya, “ kata Irwan Gunawan perwakilan WWF-Indonesia yang hadir dalam pertemuan Rountable of Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kota Kinabalu Malaysia. “Sebenarnya ada banyak opsi bagi pasar atau pembeli untuk membeli produk kelapa sawit yang memiliki sertifikasi lestari, namun hasil score card WWF menunjukkan bahwa dari semua perusahaan yang dinilai, baru setengah dari suplai minyak sawit lestari yang mereka gunakan masuk kualifikasi lestari. Temuan ini memberikan gambaran bahwa sejumlah retailer dan manufaktur masih belum memenuhi 100 persen komitmennya terhadap penggunaan minyak sawit lestari, bahkan ada yang sama sekali belum mulai menggunakan.”
Palm Oil Buyers Scorecard 2011 merupakan versi terbaru dari laporan serupa yang telah dirilis WWF dua tahun yang lalu. Laporan tersebut berisi penilaian terhadap 130 retailer besar dan produsen barang konsumsi (consumer goods) yang berkomitmen memakai bahan baku minyak sawit yang diproduksi berdasarkan standar internasional (RSPO).
Dari keseluruhan perusahaan yang dinilai, WWF percaya banyak dari mereka yang telah lebih maju, meningkatkan penggunaan minyak sawit lestari serta mengurangi laju deforastasi. Hampir semua perusahaan yang dinilai pada 2009 dan 2011 telah mengambil langkah maju, sehingga penggunaan sawit lestari mulai menjadi hal wajar dan diterima secara luas.
Dirilis pada Roundtable of Sustainable Palm Oil ke-9 di Kota Kinabalu, Malaysia, laporan penilaian terhadap anggota dan non anggota RSPO menunjukkan 87 dari 132 perusahaan (sekitar 66%) yang di survei telah berkomitmen 100 persen menggunakan minyak sawit bersertifikat RSPO pada 2015 atau lebih awal. Komitmen ini menjadi sinyalemen positif yang dapat mendorong perubahan pasar ke arah yang lebih positif.
Dalam Scorecard tersebut, hampir setengah retailer dan lebih dari seperlima produsen barang konsumsi memperoleh nilai rendah terkait dengan tanggung jawab mereka atas dampak yang ditimbulkan industri minyak sawit. Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia menyayangkan rendahnya komitmen retailer, pedagang dan pembeli dalam mengurangi dampak negatif kelapa sawit terhadap lingkungan dan permasalahan sosial. “Para retailer dan produsen barang konsumsi perlu segera meningkatkan komitmen dan insentif secara signifikan terhadap produsen minyak sawit Indonesia yang mempunyai komitmen menjaga lingkungan atau taruhannya adalah semakin peliknya permasalahan sosial serta meningkatnya laju kepunahan kawasan hutan dan satwa yang dilindungi ,” jelasnya.
“Indonesia adalah eksportir terbesar CPO dengan menguasai 43.6% pangsa pasar dunia, sehingga sudah semestinya para produsen Indonesia semakin aktif mendorong dan menjadi pemimpin dalam pencapaian standar pengelolaan kebun kelapa sawit lestari yang diakui dunia. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Presiden SBY dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK),” lanjut Nazir.
Melihat fakta bahwa India dan Cina merupakan konsumen terbesar produk minyak sawit dimana Indonesia menguasai 74% suplai ke India and 34% ke Cina, WWF-Indonesia mendorong para retailer, pedagang dan pembeli di India dan Cina serta produsen Indonesia untuk saling meningkatkan pemahaman dan aktif mendorong jaringan perdagangan produk minyak sawit yang ramah lingkungan.
“Perusahaan-perusahaan yang memperoleh nilai baik dalam kajian kami membuktikan bahwa industri kelapa sawit tersertifikasi dapat mensuplai sebagian bahkan seluruh kebutuhan pasar, jadi tidak ada alasan sama sekali bagi perusahaan lain untuk tidak mengikuti langkah ini,” tambah Irwan Gunawan. “Tapi 2015 sudah di depan mata—semua perusahaan, termasuk yang memperoleh nilai baik, harus bergerak lebih cepat. Hanya dengan cara itu kita dapat menjamin momentum yang dihasilkan RSPO tidak hilang serta dapat menghindari dampak negatif perkebunan kelapa sawit yang tidak lestari terhadap hutan, satwa langka dan masyarakat lokal.
“WWF Palm Oil Buyer’s Scorecard 2011” bisa di unduh di link berikut www.panda.org/palmoilscorecard/2011
Foto terkait dengan report ini bisa di unduh di link berikut
https://photos.panda.org/gpn/external?albumId=4198
Untuk informasi lebih jauh hubungi:
Irwan Gunawan, Manajer Transformasi Pasar, WWF-Indonesia igunawan@wwf.or.id
Gambaran Umum Mengenai Laporan Penilaian (Score Card)
WWF memfokuskan penilaian di Eropa, Australia dan Jepang karena ketiga wilayah ini merepresentasikan mayoritas pemain utama di pasar kelapa sawit lestari. Namun WWF juga mengakui adanya negara yang memegang peranan penting pada pasaran kelapa sawit global, seperti Cina dan India (keduanya menguasai total 27% pasar dunia), Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil mayoritas kelapa sawit dunia, dan Amerika Serikat yang mengimpor relatif sedikit kelapa sawit namun menjadi negara asal perusahaan-perusahaan besar. Tanpa peranan aktif dari negara-negara tersebut, kelapa sawit lestari hanya akan menjadi pasar terbatas dan deforestasi akan terus berlangsung. WWF meminta agar semua perusahaan yang ditelaah—baik yang tercantum dalam laporan penilaian maupun yang tidak—untuk terus menjadi contoh bagi pelaku pasar lainnya. Perusahaan-perusahaan ini harus membuka data penggunaan kelapa sawit mereka, mencanangkan target tahunan dalam pencapaian penggunaan 100% sawit lestari pada 2015 serta memenuhi komitmennya lebih cepat, apabila memungkinkan.
Perusahaan-perusahaan ternama mengambil langkah aktif dalam penggunaan kelapa sawit lestari
Score card tersebut membuktikan bahwa perusahaan dapat berkomitmen kuat pada prinsip RSPO dan kelapa sawit berkelanjutan—sebanyak apa pun volume kelapa sawit yang mereka butuhkan. Bahkan perusahaan yang membutuhkan kelapa sawit dalam volume besar seperti Nestlé dan Unilever—yang memperoleh nilah delapan dari maksimum Sembilan—menunjukkan kinerja yang bertanggung jawab.
Perusahaan besar lain yang juga menggunakan kelapa sawit lestari dalam volume yang substansial seperti IKEA, Royal FrieslandCampina dan United Biscuits juga memperoleh hasil baik antara delapan bahkan lebih.
Perusahaan dengan penggunaan kelapa sawit dalam volume menengah seperti Burton’s, Cadbury, Premier dan Remia serta retailer seperti ASDA, Carrefour, Morrisons, Sainsbury’s dan Tesco juga memperoleh hasil yang baik.
Perusahaan yang lebih kecil seperti Allied Bakeries, Brioche Pasquier Cerqueux, Findus, Ginsters, Göteborgs Kex, Harry's, Henkel, H J Heinz, Karl Fazer, Nutrition et Santé, Oriflame Cosmetics, Santa Maria, dan St Hubert serta retailer Coop Switzerland, Marks & Spencer, Migros, Royal Ahold dan anak perusahaannya ICA, The Co-operative Group UK dan Waitrose memperoleh nilai 8 dari 9. Nilai serupa juga diperoleh produsen yang menggunakan kelapa sawit dalam jumlah relatif sedikit seperti Cloetta, Devineau / Bougies La Française, DSM Nutritional Products, Iglo Group, Iwata Chemical, L’Oréal, Saraya, The Jordans and Ryvita Company, Warburtons, dan Yves Rocher, serta retailer seperti Axfood, the Body Shop dan the Boots Group. Hasil penilaian berdasarkan volume penggunaan kelapa sawit bisa dilihat di link berikut: http://bit.ly/vwyuOF)
Yang mengecewakan adalah 17 dari 43 retailer dan 15 dari 89 produsen masih memperoleh nilai tiga bahkan lebih rendah. Hal ini menunjukkan masih terlalu banyak perusahaan yang memiliki tanggung jawab rendah akan akibat negatif dari kelapa sawit yang mereka gunakan terhadap hutan, keragaman hayati dan masyarakat.
Perubahan yang ada masih terlalu lambat
Pasokan kelapa sawit yang bersertifikasi telah meningkat secara dramatis sejak WWF mengeluarkan laporan penilaiannya pada 2009, dan saat ini berada pada angka 5 juta ton (10 persen dari produksi kelapa sawit dunia). Sayangnya hanya setengah dari total produksi tersebut yang telah terjual. Fakta ini menggambarkan situasi yang terjadi pada 2009, yang mendorong WWF untuk terus meminta perusahaan semakin meningkatkan tanggung jawabnya
Kurangnya transparansi menghambat kemajuan
Satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah kurangnya transparansi mengenai jumlah kelapa sawit yang digunakan oleh perusahaan, dan hal ini—menurut WWF—merupakan disinsentif bagi petani kelapa sawit lestari. Biarpun WWF telah meminta perusahaan untuk membagi data penggunaan kelapa sawit yang mereka gunakan serta berapa banyak diantaranya yang tersertifikasi, mayoritas perusahaan hanya bersedia membagi sebagian atau bahkan tidak membuka datanya sama sekali.“WWF menginginkan transparansi industri kelapa sawit. Tanpa adanya transparansi, petani kelapa sawit tidak akan terdorong untuk melakukan komitmen sertifikasi. Bila kita ingin produsen kelapa sawit meningkatkan tanggung jawabnya, pembeli harus menunjukkan keinginan mereka untuk membeli kelapa sawit lestari,” pungkas Irwan.