MENGINTAI SANG RAKSASA MELALUI SATELIT
Bagaimana migrasi spesies di lautan, apa tujuannya bermigrasi, serta ke mana mereka pergi dan kembali?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih banyak menyisakan jawaban yang penuh teka-teki bagi sebagian besar peneliti dan akademisi. Minimnya informasi dari penelitian serta teknologi pengamatan yang masih mahal menjadi kendala bagi para peneliti untuk membuka tabir misteri tersebut. Namun semuanya harus dimulai bagaimana pun juga, setidaknya bagi WWF-Indonesia, mempelajari spesies laut salah satunya di mulai di Teluk Cenderawasih, di Kwatisore, ibukota distrik Kabupaten Nabire, dengan mengamati spesies ikan terbesar di dunia yang tersisa dengan nama latin Rhincodon typus atau dikenal dengan nama lokal Gurano Bintang.
Teknologi pemantauan tersebut adalah sebuah alat seukuran botol susu bayi yang ditancapkan di bagian sirip dorsal (sirip atas) yang mengandung lemak dan terdiri dari tulang rawan sehingga tidak menyakiti si Gurano. Hubungan satelit langsung dari penanda tersebut berguna untuk mengetahui lokasi migrasi serta kedalaman jelajah sang raksasa lautan. Informasi lokasi yang muncul nantinya sangat berguna untuk mengetahui lokasi perkembangbiakannya, ruaya pakannya, yang akhirnya informasi tersebut akan menjadi dasar aktivitas perlindungan di wilayah masing-masing serta untuk mitigasi jalur migrasi dari ancaman aktivitas pukat dan jaring dari sektor perikanan.
Tahun 2011, selama dua kali pemasangan, yaitu pada bulan Mei dan bulan November, WWF-Indonesia dibantu oleh Dr. Brent Stewart, Ph.D., J.D., seorang peneliti kelautan senior dari institut penelitian Hubbs-SeaWorld, di Amerika Serikat, sudah memasang sebanyak total 6 satelit, 2 unit dimiliki oleh WWF-Indonesia, sedangkan sisanya merupakan milik Conservation International dan donor individu.
Ikan yang secara umum dikenal dengan nama Hiu Paus ini menjadi salah satu ikon di kawasan perairanTeluk Cenderawasih, Papua, karena seringkali muncul dalam jumlah banyak dengan durasi yang cukup lama. Sifatnya yang cenderung jinak, sangat menarik perhatian banyak turis dan peneliti, terutama turis mancanegara. Untuk itu WWF-Indonesia dengan pihak Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BTNTC) menginisiasi penyusunan protokol pengamatan bagi masyarakat, turis, dan peneliti agar kelestarian spesies yang masuk dalam daftar merah (dilindungi) hukum IUCN (Konvensi Internasioal Perlindungan Alam / http://www.iucnredlist.org/) dapat terus terjaga.
Saat ini para pemangku kepentingan dan para peneliti sedang mengumpulkan data, yang salah satunya didapatkan dari hasil pemantauan satelit tersebut, sebagai dasar untuk membentuk undang-undang perlindungan Hiu Paus di tingkat nasional.
Ditulis oleh: Aulia Rahman (Arahman@wwf.or.id / Twitter @8AD)
Kontak: Marine Conservationist, Creusa Hitipeuw (Chitipeuw@wwf.or.id / twitter @neneruga)