MELIHAT LEBIH DEKAT GULIR PARIWISATA DI KAMPUNG NELAYAN TUA, RINTJA
Oleh: I Made Bayu Gunantara (Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional (STPBI), Responsible Marine Tourism Intern, WWF-Indonesia)
Tahun 1966, Andries Hoogerwerf, seorang naturalis dan konservasionis berkebangsaan Belanda mencatat bahwa spesimen spesies yang paling menarik dari Komodo dan Pulau Rintja (Rinca) adalah burung elang alap kelabu (Accipiter novaehollandiae), burung kepuldang sungu besar (Coracina novaehollandiae) dan burung cucak timor (Filemon buceroides).
Temuan Hoogerwerf ini tak hanya memberikan arti penting ‘hubungan’ antara Rintja dengan pulau pulau lain di Flores, tapi sekaligus menginspirasi banyak pihak untuk melihat lebih jauh kekayaan flora dan fauna di Kepulauan Flores.
Rintja merupakan pulau yang bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan laut dari Labuan Bajo. Dari jauh, Pulau Rintja terlihat seperti sebuah titik hijau dikelilingi laut biru. Titik tertinggi pulau Rintja dihitung dari Gunung Ora (670 mdpl). Mereka yang berkunjung di Pulau Rinca pada umumnya berkeinginan melihat spesies komodo di lokasi yang dinamai Loh Buaya.
Sebagai bagian dari kawasan Taman Nasional Komodo, Loh Buaya juga mendapatkan perhatian ekstra dari staf Taman Nasional komodo. Beberapa hal diatur ketat, mulai dari kunjungan tamu, pengawalan tamu, hingga tata cara berinteraksi saat mengamati komodo. Aspek konservasi dikombinasikan dengan aspek keselamatan.
Setelah pengamatan komodo, mayoritas wisatawan melakukan trekking menyusuri tebing tua dengan lansekap kering,berbatu batu, dan melewati semak berwarna hijau kuning kecoklatan. Untuk melengkapi tur, kegiatan pasca trekking biasanya dilanjutkan dengan mengunjungi jalan setapak di Kampung Rintja, melihat Batu Balok dan Gua Kalong serta menikmati sunset merah oranye yang pendarnya memenuhi langit.
Kampung Rintja, tempat saya tinggal sepuluh hari, adalah sebuah kampung tua yang dipercayai berusia 200 tahun. “Nenek moyang kami memulai perjalanan dari Pulau Solor, Flores Timur dan memutuskan hidup di sini,” Ujar Ibrahim Hanso, sekretaris Desa Rintja.
Sebanyak 90 persen dari 300 jiwa bekerja sebagai nelayan dan sepenuhnya menggantungkan hidup dari sumber daya laut dan tentu saja dari cuaca. “Kalau cuaca buruk, maka para nelayan hanya beristirahat di rumah tanpa aktivitas lain. Keterampilan mereka hanya melaut dan menangkap ikan,” jelas Abu Bakar, warga Kampung Rintja.
Cuaca normal biasanya ditandai dengan kegiatan rutin; perahu didorong ke laut, pancing dan jaring disiapkan, ikan yang telah dibersihkan dan digarami dikeluarkan lagi untuk mendapatkan matahari cukup. Beban orangtua untuk mencari nafkah biasanya mendorong anak anak mereka ikut melaut. Saya bertemu Aldi (13 tahun), salah satu anak usia sekolah yang terbiasa melaut menemani bapak atau pamannya.
“Saya jadi sering terlambat masuk sekolah, dan biasanya dihukum oleh guru karena tak ikut pelajaran,” jelas Aldi. Tentu Aldi tak sendirian. Puluhan anak ikut menanggung beban orangtuanya untuk memperoleh pendapatan lebih. Mereka meninggalkan pelajaran sekolah dan pergi melaut dengan cita-cita di kepala; jadi guru, polisi, dokter, polisi hutan, dan tentara.
Edi dan Asgar, dua pemuda yang beruntung bisa menyelesaikan pendidikan menengah dan atas. Terinspirasi perkembangan kepariwisataan, Asgar meneruskan pendidikannya di Akademi Pariwisata Mataram dan Edi memilih Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.
“Kami berharap pulau kami berkembang dan warga sini mendapatkan keuntungan dari kepariwisataan,” kata Asgar. Mereka berdua memutuskan untuk kembali ke Loh Buaya (Pulau Rintja) dan Loh Liang (Pulau Komodo) untuk mempraktekkan ilmu yang diperolehnya di kampus.
“Kampung kami sangat bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata. Kami memiliki banyak hal menarik di sini,” kata Asgar. Ia merujuk pada potensi Gua Kalong, Batu Balok, keragaman budaya, serta kuliner yang khas.
Menurutnya, bila kepariwisataan dikembangkan, pemahaman dan keterampilan warga Kampung Rintja ditingkatkan, maka Kampung Rintja bisa tumbuh sebagai daerah wisata yang pada akhirnya bisa menjadi sumber pendapatan alternatif warga Kampung Rintja.
Keragaman hayati laut menjadikan perairan sekitar Rintja populer seperti hari ini. Di mana generasi muda Pulau Rintja—seperti Edi dan Asgar-- berlomba lomba mengambil bagian dari perkembangan kepariwisataan. Saya beruntung mendapat kesempatan menjadi relawan yang berbaur dengan warga Kampung Rintja, mengunjungi Loh Buaya, melihat proses kepariwisataan digulirkan, dan ikut melihat matahari terbit dan terbenam sepuasnya.
Seri tulisan ini adalah bagian dari catatan I Made Bayu Gunantara selama dua bulan mendukung program WWF-Indonesia dan Taman Nasional Komodo sebagai tenaga pendamping masyarakat di bidang pariwisata. Kegiatan pendampingan terbagi ke dalam tiga fokus utama, yaitu bidang kelautan, perikanan, dan pariwisata. Program ini bertujuan untuk membuka pintu dan menjembatani kebutuhan pada tingkat masyarakat di Taman Nasional Komodo.