“MARI KITA KELOLA,” AJAKAN UNTUK GALAKKAN UPAYA KONSERVASI DUYUNG DAN LAMUN DI ALOR
Oleh: Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
Matahari Alor terik sekali siang itu (28/11) ketika Pak One mendorong perahu (katinting) warna-warninya menuju laut. Arifin Putra dan kru WWF-Indonesia mengikutinya dari belakang, bersiap menaiki perahu untuk mengunjugi Mawar, duyung (Dugong dugon) yang mendiami habitat padang lamun di perairan Pantai Mali, Kabupaten Alor.
Dari Pantai Mali, kami bisa melihat pesawat lepas landas karena letaknya yang hanya dibatasi pagar bandara. Di sisi lain, tampak lidah pasir putih Pulau Sika mentereng terkena sinar matahari. Di zona inti Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Perairan Sekitarnya ini, Pak One bersama Forum Nelayan Kabola yang dikepalainya, telah mengubah pulau angker Sika menjadi pulau konservasi, dengan rapat hutan mangrove dan beberapa bungalow yang berdiri. Pantai Mali semakin ramai dikunjungi, apalagi dengan adanya Mawar, mamalia laut langka yang menggemburkan padang lamun Mali setiap hari.
Berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN), duyung tergolong bersifat rentan (“Vulnerable”) terhadap kepunahan. Sayangnya, tekanan pariwisata bagi biota dilindungi ini semakin tinggi. Sementara, pemahaman masyarakat dan dasar hukum mengenai perlindungan duyung masih belum kuat. Karena itulah, Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP), mengutus dutanya, Arifin Putra, untuk mengangkat isu pengelolaan duyung ke permukaan, salah satunya melalui video.
Sesuai dengan kode etik (code of conduct) berinteraksi dengan duyung yang sedang disusun oleh WWF-Indonesia, pengambilan gambar dilakukan hanya dengan dua katinting kecil – jumlah perahu terbanyak yang dianjurkan.
“Mawar.... Mawar, ada tamu.” Dipanggil demikian oleh Sang Pawang, tidak lama kemudian Mawar bergerak naik, berenang mengelilingi perahu sambil sesekali kembali ke dalam air untuk memakan lamun dengan gerakan tubuhnya yang khas.
Tidak ada yang turun dari katinting, tidak ada yang berenang bersama Mawar, apalagi menyentuhnya. Kru film mengambil gambar Mawar dari atas perahu, menggunakan dome-nya, meraba-raba di mana Mawar berada. Keseluruan atraksi Mawar dinikmati dari atas katinting. Hal ini merupakan bagian dari code of conduct yang akan terus didorongkan kepada wisatawan yang datang. Agar duyung tidak terganggu, wisatawan juga tidak boleh memotret menggunakan flash, bersuara berisik, dan mengeluarkan anggota tubuhnya dari perahu.
“Meski duyung di Alor tampak bersahabat, ia tetaplah satwa liar,” kata Arifin. “Code of conduct ini dibutuhkan tak hanya untuk keamanan duyung, tetapi juga keamanan kita dalam berwisata,” lanjutnya. Edukasi pengunjung tak bosan disuarakan oleh Pak One pada hari demi hari ia membawa tamu yang ingin melihat Mawar di hamparan padang lamun Mali ini.
Untungnya, Pak One bukan berjuang sendirian. Arifin juga menyimak cerita perjuangan nelayan dari Pak Yusuf, salah satu anggota kelompok Mail Maha. Dia bukan sekedar pemilik Leli Cafe & Guest House tempat kami melepas lelah di tengah syuting dengan bergelas-gelas es teh tanpa sedotan plastik. Pak Yusuf dan Kelompok Nelayan Mail Maha turut menjaga perairan Mali dengan berkomitmen menjaga laut dan mengatur pelaporan nelayan andon yang datang ke wilayah perairan Mali.
WWF tidak akan membiarkan masyarakat penggerak ini berjuang sendiri tanpa pendampingan. Rasanya seperti masih bisa kami dengar suara Mama Martha merapal sambungan lirik lagu yang bertahun lalu diwariskan salah satu staf WWF di Alor itu. Mengajak semua untuk ikut mengelola ekosistem pesisir penyangga kehidupan manusia di SAP Selat Pantar dan Perairan Sekitarnya.
“Ayo ayo semua, mari kita kelola
Atur alat tangkap dan teknik penangkapan
Aturlah kuota dan jumlah nelayan
Ayo, ayo, mari kita kelola”