MARAKNYA PENYELUNDUPAN PENYU DI BALI, WWF DAN UNIVERSITAS UDAYANA INISIASI STUDI FORENSIK DNA (2)
Oleh: Sheyka Nugrahani Fadela (Marine Species Conservation Assistant, WWF-Indonesia)
Baca Sebelumnya: WWF dan Universitas Udayana Inisiasi Studi Genetik, Harapan Baru Bagi Konservasi Penyu (1)
”Ancaman dari pemanfaatan penyu secara ekstraktif sudah lama membayangi upaya konservasi penyu di Indonesia,” ungkap Dwi Suprapti, Koordinator Nasional Spesies Laut WWF-Indonesia, di hadapan lebih dari 100 peserta akademisi, peneliti, praktisi konservasi, dan praktisi kedokteran hewan pada ‘Seminar Nasional: Konservasi Penyu dari Perspektif Genetika Ekologi’.
“Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Wildlife Crime Team WWF-Indonesia, di beberapa daerah di Sulawesi dan Maluku, daging penyu dijual di pasar untuk dikonsumsi masyarakat lokal pada musim-musim tertentu. Sementara itu, di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan, telur penyu masih dijual baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi,” sambungnya, mengungkap Maluku dan Sulawesi sebagai pemanfaat daging penyu peringkat kedua dan ketiga di Indonesia – setelah Pulau Bali.
Daerah pesisir dari ujung Aceh sampai ujung Papua berpotensi sebagai pantai peneluran dan ruaya pakan bagi penyu di Indonesia. Hal ini memungkinkan siapapun untuk dapat berpartisipasi sebagai pengawas (watchdog) dan pelapor terhadap segala upaya pemanfaatan langsung penyu dan derivatnya.
Dengan turut berpartisipasi dalam upaya konservasi penyu di Indonesia, secara tidak langsung, para pengawas dan pelapor tersebut juga menyelamatkan populasi penyu yang mencari makan atau bermigrasi sampai ke Filipina, Malaysia, Australia, dan bahkan Hawaii, Amerika Serikat.
Kombes. Pol. Ir. Sukandar, M.M dari Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair) POLDA Bali, sempat mengungkapkan bahwa kurangnya jumlah sumber daya manusia untuk menyelidiki lebih jauh tentang kasus pemanfaatan langsung penyu kerap menjadi kendala dalam penegakan hukum atas perlindungan penyu, seperti yang tertuang di dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999.
Meski demikian, kini, di Bali, inisiatif program LIBAS (Bali Bebas) Perdagangan Penyu Ilegal di kembali menumbuhkan harapan banyak pihak untuk melanjutkan upaya konservasi penyu di Indonesia. Upaya ini didukung melalui studi genetik dan laporan-laporan yang dengan mudah dapat disampaikan melalui kanal media sosial WWF-Indonesia, Badan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, dan Ditpolair Bali sendiri.
Dr. Arnold Sitompul, Direktur Konservasi WWF-Indonesia mengungkapkan harapan besarnya di akhir seminar ini. ""Alih-alih menjadi pemanfaat penyu, kita semua di sini percaya bahwa Bali justru dapat menjadi sentra konservasi penyu,"" ungkapnya optimis.