MALUKU PERLU BELAJAR PENANGANAN MAMALIA LAUT TERDAMPAR
Oleh: Kanyadibya Cendana Prasetyo (Communication Officer WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape) & Sheyka N. Fadela (Marine Species Assistant WWF-Indonesia)
Topik kejadian mamalia laut terdampar rasanya bukan hal yang asing lagi bagi publik awam, terutama warganet. Beberapa tahun terakhir, berita mengenai kejadian mamalia laut terdampar semakin mendapat perhatian publik. Beberapa berita bahkan menyita perhatian masyarakat dan media massa, seperti kejadian terdamparnya paus balin (baleen whale) yang awalnya dikira cumi-cumi raksasa di Pantai Dusun Hulung, Seram Bagian Barat, Maluku, pada Mei 2017. Kejadian terdampar itu sendiri bukan hal yang baru bagi sebagian warga Maluku. Menurut data yang dikumpulkan oleh WWF-Indonesia, Whale Stranding Indonesia, dan Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, sebanyak 13 kejadian mamalia laut terdampar di wilayah Maluku telah dicatat sejak tahun 2003. Semua individu satwa yang terlibat dalam kejadian tersebut ditemukan dalam keadaan mati.
Sebagian besar (90%) wilayah Maluku merupakan lautan, sehingga tidak mengherankan jika provinsi ini dikenal sebagai salah satu provinsi yang menjadi jalur migrasi mamalia laut di Indonesia yang melintasi Laut Banda dan menuju Raja Ampat. Informasi tentang kejadian mamalia laut terdampar di Maluku seringkali diperoleh dari jejaring kejadian terdampar skala nasional yang telah dibentuk sejak tahun 2013. Jejaring untuk wilayah Maluku sendiri belum dibentuk, sehingga pihak yang terlibat dalam penanganan kejadian terdampar di Maluku sebatas LPSPL Sorong dan rekanannya. Hal ini tentunya tidak menjamin dilakukannya investigasi lebih lanjut untuk menentukan penyebab kejadian terdampar dan kematian mamalia laut terkait.
Idealnya, investigasi terhadap kejadian mamalia laut terdampar dilakukan oleh tim penanganan yang juga melibatkan peneliti dan dokter hewan sehingga penyebab mamalia laut terdampar dapat dipastikan. “Faktor penyebab kejadian terdampar, antara lain sakit, usia tua, dimangsa predator, cuaca buruk, disorientasi, ditangkap langsung, terjerat jaring nelayan, kualitas air laut buruk, dan tabrakan dengan kapal,” ujar Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator WWF-Indonesia.
Jejaring kejadian terdampar bukan hanya berfungsi sebagai medium untuk melakukan investigasi lebih lanjut. Melalui jejaring ini diharapkan informasi tentang penyelamatan mamalia laut yang terdampar dalam keadaan hidup dan pemusnahan bangkai mamalia laut yang terdampar dalam keadaan mati yang sesuai prosedur dapat dibagikan ke berbagai pihak. Untuk mendukung pembentukan jejaring di Maluku, WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) akan menyelenggarakan kegiatan “Lokakarya Inisiasi Penanggap Pertama untuk Penanganan Mamalia Laut Terdampar” di Maluku Resort and Spa pada 7-9 Mei 2018. Kegiatan ini mengundang masyarakat yang menjadi perwakilan dari Kota Ambon, Tual, dan berbagai kabupaten di Maluku, seperti Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Buru, dan Buru Selatan.
Lokakarya yang akan dilakukan di Ambon diharapkan dapat menjadi ajang diskusi dan bertukar informasi yang baik antar perwakilan masyarakat di Maluku. Bagaimanapun juga, penanganan kejadian terdampar di Indonesia harus menjadi fokus bersama. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Dwi, “Kejadian terdampar bukan hanya tentang kesejahteraan dan keselamatan hewan terkait, tetapi juga indikasi pengelolaan laut yang belum baik dan indikasi adanya kegiatan manusia yang belum berkelanjutan.”