KONSUMSI MAKANAN LOKAL: AKSI NYATA KURANGI JEJAK KARBON DAN MEMBANGUN SOLIDARITAS
Oleh: Natalia T. Agnika dan Ciptanti Putri
Seluruh aktivitas manusia ditengarai menghasilkan jejak karbon, sekumpulan emisi zat buang yang memicu pemanasan global. Mulai dari mengolah makanan, menggunakan kendaraan dan alat transportasi, memakai peralatan listrik, hingga aktivitas pertanian, semuanya menjadi penyumbang jejak karbon. Aktivitas-aktivitas tersebut memang tidak mungkin dihentikan sama sekali. Namun, perubahan perilaku yang berkiblat pada gaya hidup hijau (green lifestyle) dipercaya mampu meminimalisir dampak buruknya terhadap lingkungan.
Sekarang, mari kita tengok makanan yang kita santap selama ini. Berapa banyak yang bahannya diimpor? Berapa besar jejak karbonnya? Sadarkah kita bahwa konsumsi kita terhadap produk makanan impor sering kali hanya karena bagian dari gaya hidup? Tahukah kita ada beragam bahan pangan lokal di sekitar kita yang tidak hanya lezat dan bernutrisi, namun juga rendah jejak karbon dan menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal yang membudidayakannya?
Makanan lokal jelas rendah jejak karbon karena jalur distribusinya lebih pendek. Terlebih sejumlah produk lokal tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia lainnya karena dibudidaya secara tradisional dan organik. Salah satu contohnya, Beras Adan Krayan, sebuah varietas padi unggul lokal yang dikembangkan di Krayan, Kalimantan Utara. Beras ini dikenal dengan biji-bijian kecil dan tekstur halus serta rasa yang enak. Yayasan Slow Food telah mencatat Beras Adan Krayan varietas hitam sebagai salah satu kekayaan sumber pangan hasil budidaya lokal yang perlu dilestarikan, “Ark of Taste”.
Memilih untuk mengkonsumsi bahan pangan lokal juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang membudidayakannya. Lewat inisiatif “Green and Fair”, WWF-Indonesia bermitra dengan komunitas-komunitas lokal dalam hal promosi dan pendistribusian produk sehingga mereka mendapat tak hanya manfaat ekonomi yang adil (memotong jalur distribusi yang merugikan), namun juga beragam pengetahuan dan pendampingan mengenai cara pembudidayaan yang baik dan ramah lingkungan.
Informasi mengenai beraneka jenis bahan pangan dan makanan lokal bisa diketahui masyarakat lewat sebuah kegiatan”Festival Panen Raya Nusantara” yang akan diselenggarakan pada 6-7 Juni 2015 mendatang. Beragam produk makanan dan hasil budaya lokal dari seluruh penjuru Nusantara akan ikut ambil bagian dalam festival yang mengangkat tema “Menuju Ekonomi Komunitas Adil Lestari” tersebut. Beberapa di antaranya merupakan produk dampingan WWF-Indonesia dalam program “Green and Fair”, di antaranya garam gunung dan Beras Adan dari dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara, madu Wamena, Papua, dan madu hutan Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur, serta produk olahan ikan dari Kalimantan Tengah.
Memilih produk bahan pangan yang kita konsumsi sehari-hari erat hubungannya dengan isu peningkatan jejak karbon. Maka, kini saatnya kita tidak lagi memandang produk makanan lokal dengan sebelah mata. Selain membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku budidaya bahan pangan lokal secara umum, memilih produk lokal setara dengan aksi nyata meredam laju pemanasan global.
Contoh-contoh lain dari gaya hidup hijau yang dapat Anda terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai aksi nyata kita untuk menyelamatkan bumi dapat dipelajari dengan mudah dan menyenangkan lewat seri stiker “Green Lifestyle WWF”. Unggah segera di Blackberry Messenger Shop.
Catatan editor:
Ada dua macam jejak karbon: jejak karbon primer dan jejak karbon sekunder. Yang selama ini akrab di telinga adalah jejak karbon primer sebagai tolok ukur emisi langsung CO2, misalnya pembakaran bahan bakar fosil untuk konsumsi energi transportasi dan domestik. Sedangkan jejak karbon sekunder merupakan tolok ukur emisi yang tidak langsung, mulai dari proses pembuatan produk, distribusi, hingga ke penguraiannya.
Produk pertanian juga menghasilkan jejak karbon. Jejak karbonnya tidak hanya CO2 tapi juga N2O (dapat berasal dari kegiatan pemupukan) dan CH4 (dapat berasal dari persawahan dan pelapukan kayu). Bisa dibayangkan betapa tingginya jejak karbon yang dimiliki produk makanan impor menimbang proses yang dilaluinya; mulai dari pengolahan lahan dengan pupuk kimia dan pestisida, proses penyimpanan yang membutuhkan lemari pendingin, pengemasan, serta distribusi pengangkutan produk dari negara asal ke negara lain.