LUTFIE, DARI PENABUH DRUM KE PENGAWAS PETANI MADU TESSO NILO
Oleh: Syamsidar
Lutfie! Begitu lah lelaki berusia 32 tahun ini biasa dipanggil. Saat ini ia mengabdikan diri di WWF-Indonesia Program Riau sebagai Community Organizer. Sebagai seorang menggawangi community development di wilayah kerja WWF tersebut, ia banyak menghabiskan waktunya di lapangan serta memberikan pendampingan kepada masyarakat.
Beragam karya sosial kemasyarakatan lahir dari kerja keras dan keuletannya. Salah satunya adalah organisasi petani madu Tesso Nilo. Melalui wadah ini, ia membina kapasitas petani madu di sekitar TN. Tesso Nilo dalam mengolah madu sialang dan mengembangkan pasarnya.
Ketika pertama kali bergabung dengan WWF sejak Maret 2009, Lutfie mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar Tesso Nilo karena perbedaan bahasa. Lutfie yang besar di Jogja ini harus berusaha ekstra keras untuk beradaptasi, memahami dialek kental melayu masyarakat sekitar Tesso Nilo. Namun perlahan, kendala komunikasi itu berhasil diatasinya.
Salah satu tugas Lutfie adalah membina Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo. Asosiasi ini berdiri sejak 17 Januari 2010 ,merupakan organisasi yang menaungi para petani di sekitar Tesso Nilo untuk menerapkan pemanenan madu hutan secara lestari dan higenis. Hingga kini, asosiasi ini telah beranggotakan empat kelompok petani madu Tesso Nilo yang berasal dari tiga desa di sekitar hutan Tesso Nilo. Asosiasi memastikan bahwa madu yang dihasilkan oleh petani madu Tesso Nilo diproses secara higenis dan lestari dengan menerapkan prinsip-prinsip Internal Control System (ICS) atau pengawasan internal sesuai standarisasi dari Aliansi Organik Indonesia dalam rangka mendapatkan madu Tesso Nilo yang bersertifikasi.
Lutfie merupakan inspektor (pengawas) dalam struktur ICS Asosiasi Petani Madu Tesso Nilo tersebut. Ia bertugas untuk memastikan anggota asosiasi menerapkan seluruh aturan ICS, mulai dari survei pohon sialang, panen, pengolahan (penirisan) ,sampai penyimpanan. Semangat para petani madu Tesso Nilo sekarang semakin tinggi karena mereka telah merasakan peningkatan nilai jual dari madu mereka yang dipanen dengan menerapkan sistem ICS. Harga madu lokal berkisar Rp. 15.000-20.000/ kg . Namun dengan penerapan ICS, petani mampu menjual madu tersebut Rp.33.000/kg kepada asosiasi. Pemikiran petani madu terutama anggota asosiasi pun semakin terbuka bahwa mereka memang harus meningkatkan kualitas agar madu mereka dapat bersaing di pasar internasional. Sepanjang tahun 2010, mimpi tersebut menjadi kenyataan karena ekspor madu Tesso Nilo menembus pasar Malaysia.
Pengalaman yang tak terlupakan selama melakukan kegiatan pendampingan petani madu adalah ketika melakukan survei sebaran pohon sialang (pohon madu). Saat itu, seekor elang datang menyambar sarang madu. Ratusan lebah pun terbang rendah. Lutfie yang berada di bawah pohon tersebut harus lari mencari tempat berlindung untuk menyelematkan diri. Untungnya, tidak satu pun lebah berhasil mendarat di tubuhnya. Namun ada hal yang sangat mengiris hatinya, ketika melihat pohon Sialang (pohon madu) meranggas di tengah-tengah hamparan bukaan hutan yang habis ditebang atau akasia yang kering.
“Pohon-pohon itu tidak akan bertahan lama. Mereka akan perlahan mati dan berarti satu potensi ekonomi masyarakat pun akan hilang, “ ujarnya.
Sebelum bergabung dengan WWF, Lutfie merupakan pemain drum pada salah satu band kampus di Jogja yang sering diajak bekerjasama oleh LSM untuk membuat materi kampanye kemanusiaan lewat musik. Kedekatannya dengan isu-isu kemasyarakatan inilah yang sedikit banyak menginspirasinya untuk terjun ke community developmentdan akhirnya bergabung dengan WWF. “Kecintaan saya pada alam semakin bertambah. Keluar masuk hutan untuk survei pohon Sialang dan mengawasi petani memanen madunya membuat saya memahami Tuhan telah menganugerahkan kita yang alam yang kaya, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya dengan arif,” imbuhnya.
Dia berharap pemerintah dapat merealisasikan komitmennya dalam melindungi ekosistem yang berarti juga melindungi mata pencaharian masyarakat lokal yang masih banyak tergantung pada hutan. Masyarakat, khususnya yang hidup di sekitar Tesso Nilo pun harus semakin memahami pentingnya hutan sebagai sumber kehidupan sehingga dapat berperan aktif menjaga kelestariannya. Hutan lestari, Pohon Sialang tetap tegak berdiri, dan Masyarakat pun dapat hidup lebih baik.