KOLABORASI MUMPUNI DEMI TANAH SURGAWI
Lantai kayu tersusun dengan rapi. Kayu kokoh ini menopang jembatan yang menjadi penghubung antarkampung di Distrik Sawa Erma, salah satu wilayah Kabupaten Asmat, Papua dengan lingkungan rawa berair payau. Warga menyebutnya dengan nama jembatan Erma. Butuh waktu setahun untuk menuntaskan pembangunan jalan penghubung ini. Pekerjanya berasal dari warga setempat. Mereka bahu-membahu demi kemajuan kampung.
Jembatan Erma mengantarkan warga kampung Sono dan Erma untuk mencapai ibu kota distrik. Sebelum melintasi jalan kayu itu, warga harus terlebih dahulu menaiki tangga kayu yang cukup tinggi. Jarak antara pijakan yang satu dan lainnya cukup renggang. Buat pendatang yang tak terbiasa tentu bisa menyisakan masalah.
Bukan hanya jembatan, warga Kampung Sono telah menunjukkan kekompakan. Mereka sukarela menyingsingkan lengan baju demi masa depan. Wilayah Sono bertetangga dengan Erma. Distrik Sawa Erma sendiri memiliki 10 kampung. Selain dua kampung itu, masih ada Agani, Bu, Er, Mumugu, Mumugu Dua, Pupis, Sauti, dan Sawa.
Kepala kampung Sono, Herman Ear tak alergi menerima perubahan. Sekalipun hanya menamatkan Pendidikan hingga tingkat sekolah dasar (SD), Herman terus menempa dirinya dengan pendidikan informal. Terlebih lagi, pria paruh baya ini didapuk sebagai pemimpin sejak 1999.
Herman kerap membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi pendatang yang mengunjungi kampungnya. Sebelum mencapai tempat mukimnya, tetamu jauh harus berjalan kaku melintasi lantai kayu yang menanjak. Ada sebuah penanda area kampung yang terbuat dari kayu, dengan seng di atasnya untuk melindungi tulisan:
‘PEMERINTAH KABUPATEN ASMAT
DISTRIK = SAWA-ERMA KAMPUNG SONO/JERE’
Rumah Herman sedikit jauh dari tempat penambatan speed. Herman begitu senang dikunjungi tetamu. Istrinya turut gembira mendapatkan kunjungan. Penampilan Herman begitu gagah. Dia bangga mengenakan sejumlah asesoris. Kalung bertaring anjing melingkar di lehernya. Herman juga membawa penanda statusnya berupa noken, yang ikut menggantung di depan dada.
Herman adalah seorang yang karismatik. Walaupun tinggi badannya tidak menjulang– mungkin sekitar 168 cm, badannya masih tegap. Tatapannya juga tajam nan tegas, terlihat dari tulang wajahnya yang lebar. Tulang rahangnya juga tidak semaju orang papua pesisir pada umumnya.
Istri Herman sedang meninggalkan pekerjaan domestiknya saat menyapa tetamu yang mengunjunginya. Ia adalah pribadi yang cukup ramah layaknya ibu kepala kampung, walau bicaranya kurang terstruktur. Walaupun begitu, tatapannya cerah, menunjukkan pengertiannya atas hal yang kami bicarakan.
Mendapatkan kunjungan tetamu yang datang sejauh 3.400 kilometer, Herman lantas meminta seorang tetangga mengambilkan bangku panjang untuk kami duduk di teras rumahnya. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda tersebut mengambil dan mengangkatnya dengan sigap dari Jee. Padahal, lokasi Jee cukup jauh dari rumah Herman. Teras rumahnya tergolong luas di tempat tersebut. Besarnya paling tidak tiga kali lebih besar dari teras Hendrikus Wowokti atau Hengky, kepala kampung Erma.
Herman membicarakan soal pemetaan wilayah yang digelar dalam program Voice just for Climate Action (VCA). Dengan sadar, dia mengatakan bahwa tidak ada respon negatif dari masyarakatnya. Upaya kolaborasi ini terpintal dengan baik berkat dukungan sejumlah pihak.
Dukungan dari gereja, lembaga masyarakat adat, dan tokoh-tokoh kampung turut menyukseskan upaya pemetaan wilayah yang dikolaborasikan oleh WWF-Indonesia dan VCA. Usaha yang dilakukan gereja berupa sosialisasi melalui dewannya. Sang pastor pun mendorong masyarakatnya untuk mengikuti program ini, hingga Herman terpengaruh dan beranggapan bahwa hidup menggereja bukan semata soal kebaktian dan pelayanan, melainkan juga bekerja. Beliau mempelajari bahwa gereja juga mendorong manusia untuk menyatukan diri dengan alam.
Pondasi terpenting dalam memelihara alam, menurut gereja adalah menyadari bahwa iman adalah roh yang bekerja. Alam memiliki roh, begitu pula manusia. Namun, manusia telah merusak, bahkan membinasakan alam.
Herman lantas melanjutkan, “Manusia dengan alam, itu salah satu roh yang bisa kita satukan, itu menjadi kita saudara bersatu. Makanya saya hanya mempelajari dan masuk ke dalam itu, lebih bagus saya harus pertimbangkan. Pertimbangkan bahwa alam itu adalah satu, teman kita dari Maha Kuasa. Hanya agar kampung lain-lain, hanya katanya merusak, tetapi berusahalah kita, kita tidak dirusak, alam kita, maka harus buat perbatasan,”
Sebagai seseorang yang telah menjabat sebagai kepala kampung selama 23 tahun, Herman berproses dalam pemetaan partisipatif. Menurutnya, wacana WWF disosialisasikan pada 1990an. Pada 2000, barulah pemetaan partisipatif dilakukan.
Herman merasa permasalahan utama sebelum adanya pemetaan adalah perkelahian antar dusun karena ketidakjelasan batas. Dalam mengupayakan pemetaan, cara yang ditempuh juga serupa, yakni menanamkan kelapa, sukun, bambu, dan jambu untuk membuat batasan. Hanya saja, Herman menambahkan bahwa setiap tanaman pembatas tumbang, ia mengerahkan warganya untuk menanam ulang, sehingga garis pemetaan tetap jelas. Secara spesifik, penanaman ini berlokasi di pinggir bevat (tempat istirahat ketika mengolah sagu/cari makan).
Herman mengutarakan harapan. Dia meminta WWF-Indonesia dapat terus menjalankan programnya, mengetahui bahwa generasi muda memiliki bibit buta akan uang. Padahal, dahulu mereka hanya terpaku dengan alam yang telah menyediakan makan dan minum, mengantar mereka kembali pada keluarga.
Menurutnya, uang tidak berkeluarga, tidak pula ia memiliki saudara. Parahnya, ia habiskan pohon-pohon. Setelah semua jadi uang, tidak juga dibagi dengan saudara maupun bapaknya sendiri. Begitu penuturan Herman saat mencurahkan kekhawatirannya akan hari esok. Itulah alasan ia bersikeras mempertahankan perlindungan hutan mereka. Boleh jadi pemetaan wilayah berkontribusi meredam kekhawatirannya di masa yang akan datang.
Herman juga menunjukkan pengalamannya pergi dari tanah Asmat. Dedikasi Herman begitu memukau lantaran dirinya pernah meminta anggaran ke pastor hanya untuk menghadiri pelatihan keuangan sawit di Kalimantan. Hal ini dilakukannya untuk mengantisipasi invasi sawit di daerahnya.
Zaani Inaury, pemimpin program VCA dari WWF-Indonesia menjelaskan latar belakang pemilihan Asmat sebagai salah satu lokasi percontohan upaya antisipasi terhadap perubahan iklim. “Dengan kondisi geografis dan juga perkembangan investasi yang luar biasa, menyebabkan deforestasi gila-gilaan terjadi di sana dan juga artinya perjalanan WWF-Indonesia sendiri di Papua Selatan itu cukup lama, dan itu menjadi salah satu pemilihan untuk Asmat. Lalu, kasus seperti busung lapar/kelaparan di tahun itu menjadi referensi tersendiri untuk pemilihan lokasi,” Zaani memaparkan.
“Jadi, di Asmat itu sebenarnya karena mereka sistem masyarakat adatnya perumpun, tapi sebenarnya dalam satu rumpun itu bisa 10-12 kampung. Nah, untuk di Asmat sendiri, sampai hari ini jika dijumlahkan ada 20 kampung dampingan dalam program VCA. Jadi, ada dua rumpun, tiap rumpun ada 20 kampung gitu.”
Menurut Zaani, WWF-Indonesia tidak bekerja sendiri. Mereka menggandeng organisasi masyarakat sipil (CSO) setempat. “Namanya YASA, Yayasan Alfonso Suada Asmat. Sebenarnya dia adalah CSO binaan keuskupan gereja. Nah, dalam hal ini, pendekatan yang WWF-Indonesia dan mitra gunakan adalah pendekatan gereja.”
Zaani lalu menambahkan, “jadi, bagaimana masyarakat bisa menyetujui dan mau untuk wilayah yang dipetakan dalam rangka perundungan itu melalui gereja, karena di Asmat gereja punya peran yang cukup besar. Artinya, selain pemerintah, masyarakat banyak sekali sangat menghargai dan menghormati keuskupan Gereja. Gereja digunakan untuk melancarkan proses salah satu kegiatan terhadap VCA, yaitu pemetaan (wilayah) ini.
Selain peran CSO dan gereja, VCA juga telah mendorong partisipasi aktif dari pemerintah daarah, terutama Pemkab Asmat. “Jadi, setelah setahun perjalanan di Asmat, salah satu kegiatan utama juga yang YASA lakukan terkait program VCA adalah series dialog yang dibangun dalam setahun yang melibatkan stakeholders penting yang terkait dengan pembangunan di Asmat, salah satunya adalah Pemda Asmat. Sampai saat ini, kerjasama yang dibangun oleh YASA dan Pemda itu cukup baik, sehingga cukup membantu kelancaran program VCA, mulai dari Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata sendiri, lalu biro hukum. Misalnya, pemetaan, YASA bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, kerjasama dengan Biro Hukum, dan beberapa instansi lain, seperti Lembaga Masyarakat Adat. Itu di luar Pemda ya,” Zaani menerangkan panjang lebar.
Selain pemetaan wilayah adat, VCA juga mendorong pengakuan atas hak kekayaan intelektual (HAKI) yang dimiliki oleh masyarakat. “Sudah ada 4 HAKI komunal, artinya milik masyarakat, yaitu terkait dengan ukiran mereka, ukiran perahu, dan terkait dengan beberapa benda-benda budaya, seperti baju roh. Namun, ada juga lagu. Jadi, lagu yang individu. HAKInya sudah didapatkan. Tahun ini, rencananya da dua lagi, yaitu rumah adat Jee dan Jeu, dan juga Festival Budaya Asmat. Rencananya, tahun ini akan di-HAKI kan,” terang Zaani.
Bicara tantangan dalam program kolaborasi mumpuni ini, Zaani menjelaskan lebih jauh. “Mungkin Asmat itu terkendala karena akses. Jadi, teman-teman mitra terkendala secara akses. Artinya, cuaca yang unpredictable. Walau sudah ada rencana, bisa saja tiba-tiba ada gelombang, sehingga harus menunggu cukup lama untuk menggapai kampung-kampungnya. Terutama pengambilan film kemarin, itu kan harus pakai akses laut, seperti speedboat. Kalau lautnya lagi tidak berkompromi, maka lebih ke sana sih sebenarnya.”
Di tengah tantangan alam, kolaborasi semakin mumpuni lantaran masyarakat membuka diri terhadap perubahan demi masa depan mereka. Dengan dukungan sejumlah pihak, terutama gereja, warga kampung menata diri mereka untuk menghadapi iklim yang kian rentan. “Kalau dari masyarakat, kita tidak terlalu mengalami kendala karena gereja cukup berperan, dan mereka sangat menghormati. Jadi, apapun yang disampaikan, apalagi kalau melibatkan gereja, itu tidak ada kendala sebenarnya,” Zaani menutup kisah kolaborasi mumpuni dengan penekanan peran gereja dan CSO di tanah surgawi.