JURNALIS BALI SIAP MEMPRAKTIKKAN WISATA BAHARI YANG BERTANGGUNG JAWAB
Oleh: Adella Adiningtyas (Asisten Kampanye Kelautan dan Perikanan dan Media Sosial)
"Indonesia saat ini masuk dalam kategori 10 negara penyumbang sampah di laut, keadaan ini tidak hanya mengurangi keindahan laut namun juga menimbulkan bahaya lain, dimana sampah plastik dianggap sebagai makanan ikan-ikan tertentu," jelas Jensi Sartin, Pengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) wilayah Manggarai Barat saat membuka talkshow berinteraksi dengan mamalia laut dan wisata bahari yang dihadiri oleh sejumlah jurnalis di Nusa Dua, Bali (3 November).
"Sekarang, pertanyaan untuk kita semua, apakah laut Indonesia sudah cukup aman saat ini?"
Tidak, tidak aman sama sekali. Indonesia saat ini sedang berupaya untuk mengurangi sampah plastik di laut. Hal ini tidak mudah karena beberapa faktor; tidak tersedianya fasilitas, akses terbuka dari satu pulau ke pulau lain, kurangnya penegakan hukum bagi mereka yang membuang sampah, dan perubahan cuaca yang turut andil dalam membawa sampah dari daratan ke lautan - dan mencemari bukan hanya wilayah Indonesia tetapi juga wilayah perairan negara lain. Untuk spesies tertentu, sampah plastik, seperti plastik bening yang mengambang di laut, sering disalahartikan sebagai makanan. Ada beberapa kasus burung laut yang mati karena memakan plastik, penyu yang terjerat plastik, atau ikan yang memakan partikel plastik. Lebih jauh lagi, sampah tidak lagi menjadi masalah estetika tetapi juga masalah politik karena dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap sumber daya dan manusia.
"Ada kemungkinan ikan yang kita makan terkontaminasi partikel plastik," lanjut Jensi. "Sekarang bagaimana kita mengurangi tekanan terhadap sumber daya laut ini?"
Program wisata bahari WWF Indonesia berperan dengan mengajak sebanyak mungkin orang untuk berpartisipasi dalam mengurangi tekanan terhadap laut. Sejumlah lokakarya dan pelatihan telah diberikan kepada sejumlah kelompok sasaran; operator pariwisata, masyarakat, pemerintah. "Kami mengajak sebanyak mungkin orang untuk menyadari bahwa apa pun yang mereka lakukan, seperti membuang sampah sekecil apa pun, secara langsung berkontribusi pada alam sekitar," jelas Ayu Ginanjar Syukur, Marine Ecotourism Improvement Program Officer WWF Indonesia. "Kami membutuhkan dukungan agar semua pihak memiliki komitmen yang tinggi untuk mengurangi tekanan terhadap alam. Kali ini WWF mengajak para jurnalis Bali, yang notabene dapat menjadi ujung tombak pertukaran informasi melalui media," ujar Ayu.
Jurnalis yang mengikuti talkshow dan pelatihan ini berasal dari Kantor Berita 68 H Jakarta, Bali Tribune, Metro Bali, Cendana News, Bali Puspa dan perwakilan dari praktisi bisnis di Nusa Dua. Selama satu hari penuh, para jurnalis diajak untuk mengenali laut dan ancaman yang muncul saat ini. Dua orang fasilitator, Pariama Hutasoit dan I Made Jaya Ratha mendampingi para jurnalis selama pengenalan laut dan mamalia laut.
Wisata Bahari
Talkshow dan pelatihan mengenai cara berinteraksi dengan mamalia laut dan wisata bahari yang diselenggarakan oleh WWF Indonesia ini dilakukan dengan dua metode, pertama, menyegarkan kembali wawasan para jurnalis mengenai isu sumber daya dan ekosistem perairan yang sensitif terhadap perlakuan manusia. Kedua, mempraktekkan wawasan tersebut secara langsung. Para jurnalis berkesempatan untuk melakukan snorkeling di Pantai Mengiat Nusa Dua dan melakukan simulasi praktik pengamatan mamalia laut.
"Seringkali banyak yang tidak tahu berapa jarak yang tepat saat mengamati lumba-lumba, atau bagaimana cara mengamati penyu dengan benar," ujar Made Jaya Ratha.
Untuk penyu misalnya, tindakan yang tepat saat melakukan pengamatan adalah tidak mengganggu tempat penyu bertelur, tidak meninggalkan benda-benda yang menghalangi penyu naik ke pantai untuk bertelur, tidak membuat keributan di tempat penyu bertelur, dan menggunakan lampu redup yang digunakan seperlunya. Hal ini dikarenakan penyu sangat sensitif terhadap cahaya dan suara.
"Para jurnalis juga diajak untuk melihat langsung terumbu karang yang sedang tumbuh dan menjalani perawatan setelah mengalami kerusakan berat di masa lalu," jelas Pariama Hutasoit. "Proses ini diharapkan dapat membantu para jurnalis untuk memahami bahwa masa hidup dan pertumbuhan terumbu karang bergantung pada bagaimana perilaku manusia terhadap terumbu karang," ujarnya.
Meningkatnya populasi wisatawan di perairan dapat memicu kerusakan terumbu karang. Menurut panduan WWF Indonesia, penyelam dan perenang snorkel yang tidak berpengalaman dan tidak bertanggung jawab dapat merusak terumbu karang atau organisme di sekitarnya. Selain itu, substrat yang teraduk dan terangkat akan mengotori kolom air dan dapat menutupi serta membunuh koloni karang dan pada akhirnya mempengaruhi ekosistem terumbu karang secara keseluruhan.
Lainnya, gangguan yang berlebihan membuat hewan laut meninggalkan area mencari makan dan berkembang biak. Hewan sangat penting bagi keberlanjutan seluruh ekosistem. Hilangnya mereka dapat mengubah pola jaringan makan antar hewan dalam ekosistem laut dan dapat mempengaruhi kualitas lingkungan secara luas.
Meningkatnya kerentanan karang. Ketika terjadi kontak langsung atau tidak langsung secara terus menerus dengan penyelam dan perenang snorkel, karang akan mengalami stres dan menghasilkan lendir yang berlebihan, yang dapat meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit, virus, dan organisme pesaing lainnya. Dampak lebih lanjut adalah perubahan warna dan kematian karang. Penurunan tingkat keanekaragaman hayati. Eksploitasi berlebihan terhadap spesies ikan tertentu dapat mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.
"Ketika terumbu karang rusak, implikasinya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar, seperti hilangnya sumber daya pariwisata dan perikanan serta rusaknya perlindungan pantai. Pengelolaan sampah hanyalah salah satu aksi nyata kita untuk memperbaiki lingkungan, di sisi lain diperlukan komitmen yang tinggi untuk menjaga kelestarian alam," ujar Pariama.
Djoko Moeljono, jurnalis dari Bali Tribune, mengatakan bahwa praktik langsung di laut memberinya perspektif yang berbeda tentang wisata bahari dan pengamatan spesies. "Ini sangat membantu kami," katanya dengan antusias.
Selain memahami praktik-praktik terbaik tersebut, para praktisi dan individu juga dapat melakukan pengawasan melalui aplikasi #TemanTamanLaut. Aplikasi ini dapat diunduh di PlayStore. Aplikasi ini memungkinkan siapa saja untuk menilai suatu wilayah perairan dan melaporkan aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Siap menjadi wisatawan yang bertanggung jawab? Mari selami keindahan laut Indonesia, kenali keanekaragaman hayatinya dan jadilah #TemanTamanLaut!