HADING DAN HOBA MULUNG: SAAT LAUT DIBIARKAN BERNAFAS DI BARANUSA, ALOR
Di ujung barat Pulau Pantar, suara ombak berpadu dengan lantunan doa para tetua adat. Di bawah terik matahari, sekelompok nelayan menancapkan sebatang tiang kayu di tepi pantai. Tiang itu bukan sekadar tanda, melainkan simbol sakral: laut sedang ditutup untuk beristirahat.
Ritual ini dikenal sebagai Hading Mulung, sebuah kearifan lokal masyarakat Baranusa untuk memberi waktu bagi laut memulihkan diri. Selama satu hingga dua tahun, tidak ada seorang pun yang boleh menangkap ikan atau mengganggu ekosistem di area yang telah ditetapkan. Saat waktunya tiba, upacara Hoba Mulung digelar untuk membuka laut kembali, disertai syukur dan doa bersama.
Tradisi Hading Mulung dipercaya telah diwariskan sejak masa Kerajaan Baranusa di abad ke-16. Menurut legenda, kerajaan tua itu tenggelam akibat bencana besar, dan arwah leluhurnya kini dipercaya menjaga laut dan segala isinya.
Foto oleh Yulyo Yudha Natalis
“Buaya di laut itu moyang kami. Mereka penjaga laut dan manusia. Saat mantra Hading Mulung diucapkan, buaya dipercaya muncul sebagai tanda restu leluhur,” tutur Pebin Pela, tetua adat Suku Sandiata.
Selama ritual, masyarakat membawa persembahan berupa dua kambing, tiga ayam, sirih pinang, beras, dan tembakau. Mantra sakral dipanjatkan memanggil arwah penjaga laut dari empat penjuru mata angin, timur, barat, utara, dan selatan untuk menjaga kawasan yang ditutup. Tiang kayu yang ditancapkan di pesisir menjadi simbol larangan sekaligus pengingat bahwa laut sedang “bernafas.”
Bagi masyarakat Baranusa, laut bukan hanya sumber penghidupan, melainkan bagian dari jiwa. Hading Mulung bukan sekadar ritual keagamaan atau tradisi, tetapi sistem pengelolaan sumber daya alam yang terbukti menjaga keseimbangan ekosistem laut.
“Sebelum Hading Mulung, kalau kami menyelam, batu-batu kosong, ikan tidak ada. Sekarang dalam satu jam selam bisa dapat jutaan rupiah, laut hidup lagi,” kata Latifola, nelayan dari Desa Baranusa.
Di sela-sela larangan menangkap ikan, masyarakat beralih ke kebun, menanam pisang, kelapa, dan jambu mete. Saat laut dibuka kembali, hasil tangkapan meningkat, karang tumbuh subur, dan ikan berlimpah. Kesejahteraan pun meningkat tanpa harus mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Hading Mulung bukan hanya tradisi adat, tetapi juga memiliki dasar spiritual yang kuat. Dalam masyarakat Baranusa yang mayoritas Muslim, ajaran agama dan adat saling menguatkan.
“Adat bersendikan agama, agama bersendikan syariat, dan syariat bersendikan Al-Qur’an. Menjaga laut itu ibadah, karena alam adalah ciptaan Allah untuk manusia,” jelas Samsudin Ndaara, Sekretaris Lembaga Adat Baranusa.
Prinsip itu dikenal dengan sebutan Papo Menong — cinta kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada alam. Masyarakat percaya bahwa mencintai alam berarti mencintai Sang Pencipta. Ketika seseorang merusak laut, maka ia juga merusak dirinya sendiri.
Seiring waktu, adat Baranusa kini mendapatkan pengakuan resmi melalui Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2017 tentang pengukuhan lembaga adat. Dukungan juga datang dari berbagai pihak, termasuk WWF-Indonesia, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi, tujuannya untuk mendokumentasikan dan memperkuat praktik konservasi berbasis adat ini.
“Dari kerajaan, ke pemerintahan desa, hingga lembaga adat, tujuan kami tetap sama: menyelamatkan alam,” tambah Samsudin.
Di setiap upacara Hoba Mulung, pantai Baranusa berubah menjadi perayaan kehidupan. Anak-anak bermain di pasir, ibu-ibu menyiapkan makanan, para nelayan bersiap kembali ke laut dengan wajah penuh harap.
Namun bagi masyarakat di sini, hasil tangkapan bukanlah ukuran utama. Yang paling penting adalah laut yang pulih, karang yang tumbuh, dan ikan yang kembali.
“Siapa menjaga laut, maka laut akan menjaga kita.” Pesan itu terus diucapkan dari generasi ke generasi, dari para tetua kepada anak-anak yang berlari di bawah langit Baranusa.
Pemantauan ekologi partisipatif tahun 2025 di LMMA Baranusa menunjukkan praktik adat Mulung memberikan dampak positif terhadap ekosistem laut. Di kawasan Hading Mulung, terlihat pemulihan substrat bentik melalui peningkatan karang keras dan lunak serta penurunan patahan karang, sementara kelimpahan ikan tercatat lebih tinggi dibandingkan lokasi kontrol. Komunitas ikan didominasi famili herbivora kunci, khususnya Acanthuridae, yang mengindikasikan fungsi ekosistem tetap terjaga.
Latifola, salah satu Nelayan Desa Baranusa menyampaikan keuntungan yang dirasakan dengan adanya tradisi Mulung “Sebelum adanya Hading Mulung, pendapatan per hari paling hanya sekitar 200–300 ribu rupiah karena nelayan pergi melaut hanya satu malam dan langsung kembali. Namun setelah Hading Mulung diterapkan, pendapatan meningkat signifikan. Dalam satu malam melaut, mereka kini bisa memperoleh 800–900 ribu rupiah, bahkan ada yang mencapai satu juta rupiah bahkan lebih.”
Hading Mulung bukan hanya tentang menutup laut. Ia adalah tentang membuka hati, untuk menghormati alam, menjaga warisan leluhur, dan memastikan bahwa kehidupan terus mengalir dari laut yang tetap bernafas.
Foto oleh Dede Walter Puka
Tentang Program
Cerita ini merupakan bagian dari upaya WWF-Indonesia bersama pemerintah daerah dan masyarakat adat di Kabupaten Alor dalam memperkuat konservasi berbasis kearifan lokal. Melalui pendokumentasian praktik Hading dan Hoba Mulung, WWF mendukung pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan dan berkeadilan, sekaligus menjaga warisan budaya bangsa.