GUBERNUR KALTENG CANANGKAN "GREEN AND CLEAN PROVINCE”
Oleh: Tira Maya Maisesa
Palangkaraya, Kalteng (14/01) – Seiring dengan ditetapkannya provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu lokasi proyek percontohan REDD+ bersama delapan provinsi lainnya, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, SH juga mencanangkan Green and Clean Province. Hal itu disampaikannya di Palangkaraya, pada hari Kamis (13/01).
Berbicara pada semiloka ""Optimalisasi Peran Masyarakat Sipil dan Pemerintah Kalimantan Tengah Menuju Provinsi Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan melalui Insiatif Heart of Borneo,"" Teras mengharapkan komitmen dan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep ini dimana semua kebijakan dari atas hingga bawah baik itu provinsi, kabupaten, kota, hingga desa harus mempertimbangkan dampak bagi masyarakat dan lingkungan. ""
Seminar yang diadakan pada 13-14 Januari 2011 di Aula Jayang Tingang, Palangka Raya tersebut diselenggarakan oleh Pemprov Kalteng, WWF-Indonesia dan mitra LSM setempat.
“Sudah begitu lama sumber daya alam di Kalimantan Tengah ini dieksploitasi, faktanya rakyat Kalteng tidak merasakan apapun juga. Selama ini adakah kemanfaatan bagi masyarakat Kalteng?. Sekarang melalui provinsi hijau ini kita canangkan rumus sederhananya yaitu TEBANG langsung TANAM, GALI lalu TUTUP. Melalui komitmen ini bukan berarti investor tidak bisa masuk, tetapi harus patuh terhadap syarat dan aturan yang berlaku,”jelas Teras.
Turut berbicara pada acara itu, Penasehat Konsultan Senior Bank Dunia bidang Perubahan Iklim, Dr Mubariq Ahmad. Menurutnya, perubahan iklim itu adalah persoalan ekonomi oleh karena itu Kalimantan Tengah perlu mengadopsi konsep green economy serta perlu memonitor dan mampu mengukur deflasi penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.
“Tiga puluh tahun pengusahaan hutan ada di Kalteng namun tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap masyarakat. Tidak ada sejarah di republik kita bilamana masyarakat punya hak legal formal usaha terhadap pengelolaan hutan”, katanya.
Mubariq menambahkan bahwa jika mau serius, perlu ada kebijakan pro green dan pro miskin yang bisa memayungi hak-hak masyarakat. Perlindungan hutan akan bisa dilakukan jika kebijakan ekonomi dilakukan secara benar. Secara strategi perlu ada pengukuran dan evaluasi yang benar dengan melihat kontek studi bagamana memahami nilai Sumber Daya Alam (SDA). “Tahukah kita berapa lama lagi batu bara di kalteng masih bisa ditambang? Berapa jumlah hutan yang masih bisa dipanen dalam kurun waktu tertentu? Itu harus terukur”, imbuhnya.
Menurutnya, keberlanjutan ekonomi sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem atau alam. Tata ruang tidak bisa hanya lima atau sepuluh tahun jika ingin menerapkan REDD. Jika Kalteng ini menjadi proyek perintis, maka harus disiapkan kebijakan-kebijakan seperti sektor pertanian, misal sawit perlu ada industri hilir agar masyarakat memiliki peluang ekonomi dan bagaimana kita mampu menyodorkan solusi pangan seperti ketersediaan sagu, beras dll.
“Dua hal yang bisa menjadi dasar pembangunan berkelanjutan yaitu low carbon economy dan biodiversity- based industry . Dalam konteks Kalteng jawabannya adalah hutan. Ini adalah daya saing kita di masa yang akan datang”, tambahnya.
REDD adalah mekanisme yang memberi peluang, untuk menghasilkan uang dari hutan dengan cara yang berbeda seperti bagaimana kita memanfaatkan ekosistemnya, sumber airnya, keragamannya dan lain-lain. “Ini harus dilakukan dengan kolaborasi berbagai pihak terutama peran masyarakat sipil”, pungkasnya.