FESTIVAL PARARA, KENALKAN MAKANAN LOKAL INDONESIA
Oleh: Natalia Trita Agnika
Makanan lokal sering dipandang sebelah mata. Padahal, makanan lokal memiliki makna penting dalam upaya mengurangi jejak karbon, melestarikan alam, dan menjaga warisan budaya. Produk makanan lokal tersebut masih termarjinalkan karena kurangnya pengetahuan publik akan keanekaragaman makanan lokal yang ada di Indonesia. Sebagai upaya memperkenalkan khasanah makanan lokal serta produk adil dan lestari tersebut, pada 6-7 Juni 2015 lalu telah diselenggarakan Festival Panen Raya Nusantara (PARARA) 2015 di Lapangan Banteng, Jakarta.
Kegiatan ini diinisiasi oleh 22 lembaga yang mendukung lebih dari 100 komunitas untuk mempromosikan produk-produk adil dan lestari. Komunitas-komunitas tersebut memperkenalkan produk mereka di masing-masing booth. Meski cuaca cukup terik, para pengunjung nampak antusias melihat-lihat produk yang dipromosikan. Beberapa produk yang sering menjadi tujuan favorit para pengunjung di antaranya adalah aneka kain tenun, madu, dan beras organik.
Interaksi para pengunjung dan anggota komunitas di Festival PARARA 2015 ini bukanlah sekadar interaksi antara calon pembeli dan pedagang. Dalam interaksi tersebut, informasi mengenai latar belakang produk menjadi hal menarik yang diperoleh para pengunjung. Sebut saja kain tenun indah aneka warna yang dipamerkan di festival ini. Keindahan kain tersebut dihasilkan dari pewarna alami yang tidak memberikan dampak negatif bagi lingkungan, misalnya saja campuran kunyit dan tawas menghasilkan warna kuning seperti emas, campuran kayu cacang dan kapur menghasilkan warna salem, sedangkan campuran kunyit dan tunjung menghasilkan warna coklat.
Para penggemar madu pun dapat memilih produk madu hutan dari beberapa anggota Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) seperti madu hutan dari APDS, Danau Sentarum, Odeng dari Banten, madu hutan Gunung Mutis, dan madu hutan Flores. Sembari mencicipi rasa madu menggunakan sendok kayu, pengunjung mendapat pengetahuan tentang berbagai cara panen madu, salah satunya adalah sistem panen tiris seperti yang dilakukan untuk menghasilkan madu hutan Gunung Muntis. Madu hutan ini adalah produk lebah jenis Apis dorsata di kawasan sekitar Cagar Alam Gunung Mutis di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Madu hutan Gunung Mutis adalah salah satu produk dampingan WWF Indonesia yang termasuk dalam produk “Green & Fair”. Disebut “green” karena sistem pemanenan madu hutan Gunung Mutis menggunakan sistem panen lestari sehingga memerhatikan sisi keberlanjutannya. Selain itu, pembuatan madu ini tidak menggunakan bahan kimia tambahan. Konsep “fair” juga berlaku karena masyarakat di sekitar Cagar Alam Gunung Mutis dapat menikmati tambahan pendapatan dari kekayaan alam di sekitar mereka tanpa merusak alam.
Festival yang mengangkat tema “Menuju Ekonomi Komunitas Adil Lestari” ini memang tidak hanya bersifat perayaan semata. Berbagai diskusi dan workshop dilakukan untuk membuat produk adil dan lestari makin kuat di pasar, misalnya saja dengan memerhatikan desainnya, mulai dari kemasan hingga logo. Pembuatan desain untuk berbagai komunitas lokal ini melibatkan para mahasiswa, di antaranya dari Binus University dan Universitas Tarumanegara.
Rangkaian kegiatan selama dua hari tersebut juga menjadi wadah bagi seluruh anggota keluarga untuk makin mengenal produk adil dan lestari. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun berkesempatan ambil bagian dalam festival ini. Di area bermain anak, mereka dapat mencoba secara langsung permainan gasing, congklak, serta egrang di Komunitas Pecinta Mainan Tradisional. Ada pula Dongeng Petualangan di Negeri Cermin bersama Juki and Friends yang menghibur pengunjung anak-anak.
Seperti harapan dari penyelenggara, Festival PARARA 2015 ini bukan hanya sekadar gelaran produk komunitas tapi bagaimana publik belajar tentang komunitas lokal yang berjuang untuk peningkatan ekonomi dan sekaligus menjaga kelestarian alam tempat tinggal mereka. Salah seorang pengunjung yang datang dari Mampang, Jakarta mengatakan sangat senang dengan acara seperti ini karena makin mengenal aneka jenis makanan lokal. Selama ini ia memang lebih suka mengkonsumsi makanan lokal. “Di rumah, saya lebih suka makan pisang lokal daripada apel impor. Saya takut ada pengawet di buah impor karena buah itu nggak busuk ketika saya diamkan begitu saja selama lebih dari seminggu,” ujarnya.
Selain berbelanja produk adil dan lestari serta memperkaya informasi tentang kisah di balik produk tersebut, pengunjung juga mendapat oleh-oleh ketika mengunjungi booth komunitas yang didampingi oleh WWF Indonesia. Sebuah paket mungil berisi benih dapat dibawa pulang secara gratis untuk ditanam di rumah, sebuah cara sederhana untuk turut melestarikan alam. Cara sederhana lain dari gaya hidup hijau yang dapat kita terapkan untuk menyelamatkan bumi melalui kegiatan sehari-hari dapat dipelajari dengan mudah dan menyenangkan lewat seri stiker “Green Lifestyle WWF”. Unggah segera di Blackberry Messenger Shop.