MISI PENYELAMATAN SI CULA DUA DI SELATAN SUMATERA (2)
Oleh: Hijrah Nasir (Communication and Education Officer WWF-Indonesia Southern Sumatra Program)
Si cula dua, Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), spesies yang diperkirakan telah menghuni Bumi sejak 50 juta tahun silam dianggap sebagai satu-satunya kerabat badak paling primitif yang masih bertahan hidup (Goossent et al. 2013). Sayangnya, sebaran dan populasi satwa purba ini terus mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir sehingga dibutuhkan misi khusus untuk menyelamatkan si cula dua dari kepunahan. Salah satu sebaran satwa ini adalah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Untuk itu, sebagai salah satu upaya penyelamatan si cula dua, WWF-Indonesia melalui dukungan TFCA Sumatra (Tropical Forest Conservation Action Sumatra) mengadakan Lokalatih Berbagi Pembelajaran Survei Badak Sumatera di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Salah satu kesulitan tim lapangan ketika melakukan survei Badak Sumatera di TNBBS adalah membedakan tanda-tanda keberadaan badak dan tapir. Tapir yang dikategorikan oleh IUCN sebagai satwa endangered ini banyak ditemukan di kawasan TNBBS. Baik Badak Sumatera maupun tapir memiliki bekas tapak yang hampir mirip, begitupun dengan kotorannya. Pelatihan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas tim survei untuk mengenali tanda-tanda keberadaan Badak Sumatera dan dapat membedakan tanda keberadaannya dengan satwa lain, khususnya tapir (Tapirus indicus).
“Sama seperti induk satwa lain, badak betina pun sangat melindungi anaknya. Tak jarang ia menumpuk kotoran dan tapak anaknya dengan tapak dan kotorannya sendiri untuk menghilangkan jejak anaknya agar mereka terlindung dari predator maupun gangguan manusia. Uniknya, pada waktu berumur tiga minggu, anak badak makan kotoran induknya untuk memasukkan mikroba ke dalam pencernaannya. Badak memiliki bentuk bibir prehensile atau browser yang berfungsi untuk menarik atau meraih tunas-tunas muda. Selain itu, badak juga menyemprotkan urinenya untuk menandai wilayah, sebagai alat komunikasi dan respon terhadap stres. Satu hal yang perlu dipastikan ketika melakukan survei adalah jika menemukan tanda keberadaan badak seperti tapak, maka perlu mencari tanda-tanda temuan lainnya, misalnya plintiran, kotoran, atau cakaran,” jelas Arif Rubianto dari RPU Yayasan Badak Indonesia.
Pada kesempatan itu, peserta mempraktikkan pembuatan plaster cast tapak badak yang merupakan bagian dari survey trajectory Badak Sumatera. Survey trajectory dilakukan dengan mengikuti jejak satwa tersebut hingga kita bisa menemukan jejak baru. Untuk memperbesar peluang menemukan tanda sekunder Badak Sumatera, tim bisa fokus pada penjelajahan individu. Kekuatan ini tergantung pada ketelitian tingkat tinggi tracker di lapangan. Untuk itu perlu mengembangkan spesialisasi mengenai kubangan, tapak, dan pengambilan sampel DNA Badak Sumatera. Trajectory dianggap sebagai metode yang sangat menjanjikan, khususnya untuk menjawab kebutuhan di lapangan. Untuk memastikan tapak badak, salah satu yang bisa dilakukan adalah membuat plaster cast tapak dari campuran gypsum dan campuran semen putih. Ini akan membantu tim lapangan memastikan bahwa tapak yang ditemukan adalah benar tapak badak.
Salah satu pembahasan yang menarik dalam pelatihan kali ini adalah materi dan praktikum genetik lingkungan (E-DNA). Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu genetika, saat ini tanda-tanda keberadaan satwa dapat dianalisis tanpa harus mengambil bagian tubuh dari spesies tersebut. Hal tersebut karena badak merupakan satwa yang jarang bisa ditemukan secara langsung di alam yang membuat jejak mereka semakin sulit ditemukan. Untuk memudahkan tim di lapangan dalam mengambil sampel genetik badak, kita bisa mengambil sampel air dari kubangan atau air mengalir yang diperkirakan menjadi wilayah jelajah badak. Pada waktu lokalatih, tim mengambil sampel air di Sungai Kubu Perahu sebagai bagian dari praktik pelatihan e-DNA.
“Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk praktik pengambilan sampel DNA badak untuk mengumpulkan dan menyatukan material yang tercecer di alam, misalnya partikel-partikel kulit yang lepas atau bagian-bagian yang lain melalui media air dalam kubangan badak dengan menggunakan DNA barcoding research. Analisis DNA spesies dengan meta-barcode adalah yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Ke depannya kami berharap pendekatan ini dapat membantu kemajuan penelitian terkait DNA satwa termasuk satwa yang terancam punah seperti badak,” terang Mochammad Samsul Zein, peneliti dari LIPI yang turut menjadi pemateri dalam pelatihan ini.
Dengan memanfaatkan metode survei secara komprehensif, diharapkan hasil survei Badak Sumatera bisa dilakukan secara maksimal. Peran dari semua pihak sangat dibutuhkan dalam upaya ini. Mari bersama-sama mendukung misi penyelamatan si Cula Dua di Selatan Sumatera dengan menjaga hutan tempat tinggal mereka. Mengurangi penggunaan kertas dan tisu adalah salah satu cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk mendukungnya.