DITUNGGU! PERATURAN DESA YANG AKAN BUKA JALAN MENUJU PENGELOLAAN PARIWISATA BERKELANJUTAN DI MEKKO
Oleh: Nisa Syahidah (Communication, Sunda Banda Seascape, WWF-Indonesia)
Baca Sebelumnya: Buka Pusat Informasi Pariwisata, Dusun Mekko Kembangkan Pariwisata Bahari Berbasis Konservasi
“Aku menarik nafas panjang ketika melihat keindahan ini, dan memuji kebesaran Sang Ilahi. Kemudian aku menyadari, bahwa sesungguhnya segala sesuatu dijadikannya dengan cinta.”
Kami menarik nafas panjang saat melihat puluhan ribu kelelawar menyerupai pusaran hitam, terbang memutar di atas rapatnya pagar mangrove Pulau Kelelawar. “Mereka sedang berembuk, menentukan arah perginya mereka nanti malam, pukul 18.00,” terang Tardi Sarwan, Responsible Marine Business Coordinator, WWF-Indonesia, yang selama ini mendampingi langsung Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko (BM3).
Saat itu (28/06/2018) pukul 14.00, para tamu Peresmian Pusat Informasi Pariwisata Mekko mengunjungi Pasir Putih, Kolam Renang Raksasa, dan beberapa lokasi di antara 14 destinasi wisata Mekko yang diluncurkan. Pada badan kapal-kapal kayu yang disulap jadi kapal wisata itu, dicat gambar tangan yang saling berkaitan - logo Kelompok BM3 yang menyimbolkan persaudaraan dan kerja sama membangun kampung.
Tak hanya di atas langitnya, di bawah perairannya, Mekko menyimpan kekayaan ekosistem terumbu karang dan biota laut. Sejak tahun 2013, Perairan Mekko memang menjadi bagian dari KKPD Flores Timur dengan target konservasi untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan habitat penting hiu.
Berdasarkan data WWF-Indonesia tahun 2016, di Perairan Mekko, ditemukan 2 jenis hiu yaitu jenis hiu karang sirip hitam (Carcharinus melanopterus) dan hiu karang sirip putih (Triaenodon obesus) dengan total kemunculan masing-masing sebesar 82,69% dan 17,31%. Keberadaan hiu sebagai predator atas merupakan indikator penting sehatnya sebuah ekosistem terumbu karang.
“Pengelolaan pariwisata berkelanjutan dan pengelolaan hiu berkelanjutan ini yang sedang didorongkan untuk diatur dalam Peraturan Desa Pledo,” kata Tardi. “Rencananya, bulan Januari ditargetkan rilis, sehingga dapat menjadi dasar aturan bagi tata kelola wilayah Mekko, jadi lebih baik ke depannya,” sambung I Made Dharmajaya, Alor & Flotim Marine Protected Area (MPA) Coordinator, WWF-Indonesia.
“Kami ini, masyarakat Bajo, sulit sekali sebenarnya beroganisasi dan berkelompok,” Pak Bakri, berkisah pada kami di depan rumahnya. Beberapa ekor kambing mengembik di bawah pohon tak jauh dari kami. “Tapi kami bertahan sejauh ini di kelompok, itu luar biasa. Mengingat perubahan yang ada di masyarakat, dari dulu hingga sekarang,” kenang dia pada masanya masyarakat nelayan Mekko menjadikan hiu sebagai buruan, sebelum tahun 2006.
“Aku seorang pecinta alam, aku mencintai keindahan
Aku berjanji akan menjaga dan lestarikan keindahan dan keunikan Perairan Mekko.
Aku orang Adonara, di sini indah. Dan aku bangga dengan tanahku yang indah, dengan budaya dan sejarahnya.
Tanahku bahkan tanahmu, Adonara senantiasa berdiri di dalam semangatku,” tutup Dijah dalam puisinya.
“Dulu nelayan Mekko menangkap dan menjual hiu, sekarang kami bangun wisata alamnya, dan kami tidak akan berhenti sebelum tercapai tujuan kami, masyarakat sejahtera dengan pariwisata, dan alam Mekko terjaga,” ucapnya.
Di ujung perjalanan kami, Alfred Ayom (WWF-Indonesia) memetik gitarnya di pantai, sambil melagukan lirik buatannya.
“Alam Mekko yang indah
Kami selalu menjaga
Demi generasi kita
Ayo bersama jaga
Ayo ke Mekko..”
Dan kami membayangkan di masa depan, dusun tanpa listrik, alih-alih sinyal, ini berkembang. Pembukaan infrastruktur jalan dan rencana pembangunan oleh pemerintah mendesak Mekko untuk siap menerima wisatawan sekaligus mengajarkan mereka tentang menjaga alam, menuju konservasi yang mensejahterakan.