COP 17 DURBAN: KEPENTINGAN NASIONAL VERSUS KEPENTINGAN GLOBAL
Oleh: Iwan Setiawan
Tanggal 28 November– 9 Desember 2011, COP 17 (Conference of Parties/COP) ke-17—ajang tahunan internasional guna membahas perubahan iklim akan berlangsung di Durban, Afrika Selatan. Sikap apa yang diambil pemimpin dunia dalam menghadapi kenaikan suhu yang membuat bumi makin panas?.
Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia, dalam sebuah diskusi bersama media, Selasa (22/11) di Bakoel Coffie, Cikini, menjelaskan negosiasi di Durban hanya bisa dicapai jika semua pemimpin negara maju sepakat untuk menyegerakan upaya progresif pengurangan emisi karbon dan menerapkan komitmen yang sudah disepakati.
Namun sepertinya harapan tersebut tidaklah sederhana. Pemerintah Amerika Serikat hingga kini masih menolak menetapkan target pengurangan emisi karbon tersebut. Padahal pertemuan di Durban merupakan kesempatan terakhir untuk memberi kepastian bagi masa depan perubahan iklim. Komitmen yang pernah dicetuskan dalam Protokol Kyoto akan berakhir pada tahun 2012.
Di sisi lain, Negara-negara Uni Eropa bersedia meneruskan komitmen jika negara maju seperti Jepang, Rusia dan Kanada ikut bergabung. Setali tiga uang, negara-negara maju itu pun hanya akan bergabung jika negara berkembang bertekad mengurangi emisinya. Situasi inilah yang kemudian membuat WWF menyebut negosiasi di Durban bagai sedang di persimpangan jalan.
Selain permasalahan komitmen international untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), hal lain yang akan menjadi perhatian di Durban adalah REDD+ (Reducing Emision from Deforestation and Forest Degradation). Selain karena deforestasi dan degradasi hutan menjadi sumber emisi terbesar yakni mencapai 20 % dari emisi global, pembahasan REDD+ juga kian penting karena masih banyak kesepakatan soal ini yang masih menggantung di COP sebelumnya di Cancun, Meksiko, November 2010 lalu.
REDD adalah skema untuk memberikan insentif bagi negara-negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. Insentif ini dapat mendorong pengelolaan hutan yang lebih lestari dengan menyediakan aliran pendapatan yang berkelanjutan. Pengurangan emisi atau ‘deforestasi yang dihindari’ dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon. Kredit tersebut selanjutnya dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melindungi hutannya.
WWF-Indonesia mengusulkan untuk meningkatkan pembiayaan dari negara maju sebesar US$10 miliar setiap tahun, dimulai dengan US$20 miliar pada 2013 sehingga bisa mencapai US$100 miliar pada tahun 2020, sesuai kesepakatan negara-negara maju dalam COP 15 di Kopenhagen, Denmark, dua tahun lalu.
Isu ini juga menjadi penting buat Indonesia, karena hutan Indonesia meliputi 71% luas daratan. Menanggapi REDD+, Nyoman Iswarayoga menekankan pentingnya mekanisme yang terukur, pelaporan berkala, dan verifikasi yang jelas. Dengan demikian Indonesia dapat mengambil manfaat yang maksimal dari program tersebut.
Sementara itu, Koordinator Kebijakan Hutan dan Iklim WWF-Indonesia Iwan Wibisono mengingatkan perlunya persiapan yang matang secara internal. ""Di tingkat nasional, kita harus mempersiapkan infrastruktur tata kelola REDD+, menetapkan Strategi Nasional, juga membenahi kelembagaan untuk mengurangi ketidakpastian,"" ungkapnya.
Pelaksanaan kegiatan percontohan, imbuhnya, juga perlu terus didorong sebelum Indonesia masuk tahap implementasi penuh REDD+. Saat ini, dari sembilan provinsi percontohan (Pilot Province) yang diusulkan, baru satu yang berjalan, yakni Provinsi Kalimantan Tengah. “REDD+ bukanlah soal proyek yang mendatangkan uang, melainkan soal bagaimana menuju tata kelola hutan yang lebih baik,"" ujar Iwan mengakhiri diskusi.
Perubahan iklim ini adalah masalah bersama yang sewajarnya diatasi dan dipikul bersama. Melulu memikirkan keuntungan sepihak hanya akan membuat kerusakan bumi yang pada akhirnya berdampak pada seluruh sistem kehidupan global.