CERITA TANAH PAPUA: MAKANAN LOKAL PENUH MAKNA
Oleh: Leo Yansen Yembise
Indonesia bagian timur memang tidak pernah berhenti memukau dengan segudang ceritanya. Kali ini Leo Yansen Yembise atau biasa dikenal Bang Leo akan membagikan pandangan dan pengalamannya tentang daerah tempat dia dibesarkan. Saat ini Bang Leo mengabdi untuk WWF-Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Sejak kecil, Bang Leo berdomisili di Jayapura. Akan tetapi, Bang Leo sendiri tumbuh dalam keluarga yang berasal dari Suku Biak. Suku yang identik dengan ketangguhannya dalam melaut.
Tidak dipungkiri bahwa Boven Digoel telah menjadi salah satu saksi bisu sejarah Indonesia. Tepatnya di Kota Merah, tercatat Bung Hatta pernah diasingkan dan dipenjara oleh Belanda. Bukan hanya sejarah, Boven Digoel juga menyimpan kekayaan budaya yang sangat banyak. Menurut penjelasan Bang Leo, di Boven Digoel masih ada Masyarakat Hukum Adat yang terbagi menjadi 5 suku besar, yaitu Suku Muyu, Mandobo / Wambon, Awyu, Kombay, dan Korowai. Kelima suku terbilang sangat dekat dengan alam, karena +80% wilayahnya masih berhutan.
“meskipun begitu, belum ada Perda yang memberikan penguatan terhadap eksistensi Masyarakat Adat"
Aktivitas berhutan mereka pun masih diatur oleh peraturan pengelolaan SDA tiap dusunnya yang dikenal sebagai Hak Ulayat. Beberapa ritual seperti Pesta Babi dan Pesta Ulat Sagu juga masih dipertahankan. Sebagai sebuah entitas sendiri, Masyarakat Hukum Adat dikabupaten Boven Digoel berusaha memproteksi hutan mereka dengan membuat papan, yang ditempatkan di area penting mereka dengan Tulisan 'Kawasan Bersejarah dan Tanah Adat Suku Awyu SK MK No.35 PUU -X / 2012, yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi adat.
Hal menarik lainnya dari Masyarakat Adat Boven Digoel adalah makanan khasnya. Mirip dengan makanan Indonesia bagian timur pada umumnya, beberapa olahan sagu dan umbi-umbian juga menjadi makanan utama masyarakat Boven Digoel. Sagu biasanya diolah menjadi Papeda atau sagu bakar. Kemudian, sagu akan dilengkapi dengan lauk ikan tawar serta sayur pakis, bunga papaya, ataupun daun singkong. Bang Leo mengakui bahwa kombinasi olahan tersebut merupakan menu kudapan favorit dari daerah asalnya. Berdasarkan sejarahnya, sagu merupakan salah satu sumber pangan para leluhur sehingga sagu memiliki nilai kesakralan tersendiri untuk masyarakat disana. Sagu bahkan sering diibaratkan sebagai 'Ibu yang senantiasa memberikan air susunya saat seorang anak menangis kelaparan. Sayangnya, olahan sagu sudah mulai tergeser popularitasnya oleh beras sebagai sumber pangan utama, terkecuali di acara-acara tertentu.
Menanggapi kondisi tersebut, Bang Leo berpendapat sudah seharusnya makanan lokal tidak hanya menjadi makanan pelengkap. Contoh saja olahan keripik yang saat ini sudah dikembangkan menjadi makanan cemilan sehari-hari. Hal tersebut yang belum terjadi pada komoditas sagu. Maka dari itu, menurutnya perlu ada kebijakan yang progresif dari Pemerintah Daerah, bisa melalui dokumen perencanaan 20 tahunan seperti RPJP, RTRW atau rencana 5 tahunan/ RPJMD yang menjelaskan teknis lengkap kebijakan tersebut. Nantinya dokumen tersebut bisa digunakan sebagai panduan dalam membudidayakan komoditas tertentu, dengan catatan industri pangan tidak akan mengganggu kawasan resapan air disana. Maka dari itu, Bang Leo merasa optimis dengan pengembangan makanan lokal selama diikuti dengan strategi dan komitmen yang jelas dari Pemerintah Daerah.