CERITA IKAN JULUNG-JULUNG NEGERI KATALOKA YANG DIBURU PARA PENCARI UNTUNG
Oleh: Aliana Nafsal (Fisheries Officer, WWF-Indonesia)
Setiap musim timur yang berlangsung pada bulan Mei-September, ikan julung-julung (Hemirhamphus sp.) mendominasi hasil tangkapan ikan di Pulau Gorom, Petuanan Adat Kataloka, Kabupaten Seram Bagian Timur. Ikan julung-julung merupakan salah satu jenis ikan menjadi target tangkapan nelayan Desa Administratif Aroa. Ikan ini juga menjadi makanan yang digemari masyarakat Indonesia Timur. Pada tahun ini, hasil tangkapan ikan julung-julung di Pulau Gorom melimpah dan membawa berkah keuntungan bagi nelayan.
Biasanya nelayan menangkap ikan di sekeliling Pulau Gorom. Namun, pada musim timur tahun ini nelayan lebih fokus menangkap ikan di perairan Desa Administratif Rumeon. Hal ini disebabkan bagian timur perairan Pulau Gorom sedang mengalami ombak tinggi sehingga nelayan memilih lokasi lain.
Pada musim julung-julung seperti sekarang ini, ikan dapat ditemukan di setiap sudut pemukiman. Warga umumnya mengolah julung-julung secara tradisional menjadi julung kering atau membuat sambal roa. Mengolah julung-julung menjadi sambal roa merupakan salah satu materi pelatihan pengolahan hasil perikanan dari WWF-Indonesia di Petuanan Adat Kataloka. Mengingat banyaknya hasil tangkapan pada musim julung-julung, ikan segar yang belum terjual dapat diolah menjadi sambal roa untuk diversifikasi pangan dan menambah pendapatan masyarakat.
Proses penjualan ikan julung-julung pada dua tahun terakhir ini sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Proses penjualan dalam dua tahun terakhir ini selalu dilakukan di tengah laut.
Hal ini bertentangan dengan kebiasaan atau aturan terdahulu. Dahulu, apabila melakukan penangkapan ikan di pesisir perairan Desa Administratif Rumeon, maka ikan hasil tangkapan tersebut didaratkan ke pantai dari perahu giok. Lalu, hasil tangkapan dibawa kepada para Kepala Dusun baru dijual ke masyarakat.
Berbeda dari kebiasaan sebelumnya, saat ini pengepul atau jibu-jibu menggunakan perahu ke tengah laut menuju perahu giok yang menangkap ikan. Di tengah laut, pengepul langsung membeli ikan dan membawanya ke daratan untuk dijual ke masyarakat.
Sebelum dijual, ikan julung-julung hasil tangkapan ditempatkan di kerangka bambu persegi panjang yang disebut wayah. Satu wayah berisi 20 ekor ikan. Harga ikan yang dibeli oleh pengepul dari perahu giok adalah Rp 10.000,- /wayah. Sedangkan harga yang dijual ke masyarakat mencapai 2 kali lipat menjadi Rp 20.000,-/wayah.
Proses penjualan oleh pengepul ini sangat merisaukan masyarakat, terutama masyarakat Desa Administratif Rumeon karena harga sudah 2 kali lipat. Untungnya, aksi penjualan di tengah laut hanya berlaku di Desa Administratif Rumeon. Di pesisir perairan Dusun Samboru atau di Gorom Timur, ikan julung-julung langsung didaratkan ke pantai kemudian masyarakat langsung membeli dari nelayan.
Di Petuanan Adat Kataloka, WWF-Indonesia dengan dukungan Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) melakukan upaya perbaikan perikanan tangkap dan mengedukasi masyarakat tentang perikanan berkelanjutan, sehingga mereka tak hanya mencari untung. Salah satu upaya untuk menjaga stok ikan julung-julung adalah dengan pembatasan waktu dan daerah tangkap.
Pembatasan waktu dan daerah tangkap ikan julung-julung sangat memungkinkan karena umumnya ikan tersebut datang ke wilayah pesisir untuk bertelur. Jika ditangkap sebelum bertelur, maka dapat memutus regenerasi dan keberlanjutan sumber daya. Oleh karena itu, nelayan perlu diberikan pemahaman dalam menangkap ikan julung-julung secara berkelanjutan dan bertanggung jawab demi lestarinya ikan yang menjadi bahan baku sambal roa yang lezat itu.