CATATAN #XPDCMBD: PULAU LUANG
Penulis: Nara Wisesa (WWF-Indonesia)
Desa Luang Timur
Saat pagi menyongsong kegiatan hari kesembilan, Kris (DKP Maluku Barat Daya) sudah berbicara dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Desa Luang Timur untuk meminta bantuan menghubungi dan memberitahu Kepala Desa (Kades) Luang Timur mengenai kunjungan Tim #XPDCMBD.
Pulau Luang adalah sebuah pulau yang dikelilingi oleh kondisi surut atau ‘meti’ yang luas dan tertutup oleh kepala karang yang cukup tinggi, sehingga cukup sulit bagi kapal cepat yang ditumpangi oleh Tim Darat untuk menemukan ‘jalur masuk’ ke pantai desa, terutama saat tim berangkat di pagi hari, kondisi air sedang surut. Mengingat sulitnya akses, bila tim menunggu air pasang, maka bisa jadi saat tim selesai berkegiatan, air sudah dalam kondisi surut lagi.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari nelayan dari Desa Luang Barat yang sempat ditemui sehari sebelumnya di Atol Meatimiarang, ‘jalan masuk’ menuju Pulau Luang berada di utara pulau tersebut. Saat mencari ‘jalur masuk’ tersebut, kapal cepat yang ditumpangi Tim Darat beberapa kali hampir kandas di kepala karang. Beruntung, akhirnya tim bertemu dengan nelayan yang menunjukkan ‘jalan masuk’ yang biasa digunakan oleh warga untuk masuk ke desa.
Setiba di muka Desa Luang Timur, karena air masih surut, tim masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter dari tepian air hingga ke gerbang desa. Substrat ‘meti’ atau pesisir di depan desa berupa pasir berlumpur dan padang lamun. Di lumpur ini banyak ditemui ketam canggah (fiddler crab). Selain itu juga terlihat banyak perahu milik warga desa dan tempat-tempat dijemurnya rumput laut. Ternyata di kawasan ‘meti’, sebelum mencapai desa pun banyak terlihat tali-tali tempat budidaya rumput laut. Patung ikan layar atau marlin yang cukup besar di gerbang Desa Luang Timur pun menyambut kedatangan Tim Darat.
Tim disambut oleh pejabat kades karena saat ini posisi kades sedang kosong, yang sudah mulai mengumpulkan warga Desa Luang Timur. Warga yang dikumpulkan ternyata cukup banyak. Karena hari ini (9/11) Tim Darat mendapatkan anggota ‘ekstra’, yaitu Estra dan Tiela dari WWF-Indonesia, maka tim memutuskan untuk melakukan dua diskusi kelompok terarah secara bersamaan.
Setelah melakukan pengumpulan data, Tim Darat diantar berkeliling oleh para warga sambil berkunjung ke SMK Perikanan yang berada di ujung desa. Tim kemudian dijamu makan siang dan (alhamdulillah) menerima oleh-oleh ikan asin dan gurita kering.
Warga Desa Luang Timur terlihat cukup sejahtera dan menikmati hidup mereka sebagai pembudidaya rumput laut. Rumput laut yang dibudidayakan di Luang, berdasarkan identifikasi Niar (IPB), adalah jenis kotoni (Euchema cottonii). Sejak rumput laut menjadi komoditas utama desa ini, nelayan menangkap ikan pun lebih untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kondisi tanah yang tandus tidak memungkinkan warga desa untuk berkebun dan bertani, belum lagi persediaan air tawar yang sangat terbatas di Luang Timur. Air hanya didapatkan dari tiga mata air (parigi) di atas bukit yang debitnya berkurang ketika musim kering.
Berbeda dengan nelayan di desa-desa sebelumnya yang menangkap ikan pelagis, nelayan Desa Luang Timur lebih mengutamakan ikan karang sebagai target utama. Ikan-ikan tersebut mereka tangkap di kawasan kepala karang dan tubir di sekitar kawasan ‘meti’ Pulau Luang. Akan tetapi, sejak budidaya rumput laut di desa terhitung maju, para nelayan pun banyak yang beralih ke budidaya rumput laut. Padahal, semenjak Kabupaten Maluku Barat Daya terbentuk, mulai ada peningkatan jumlah pembeli ikan di kawasan ini, termasuk para pembeli dari luar Maluku Barat Daya.
Hal lain yang cukup disayangkan di desa ini adalah belum ada fasilitas pendingin untuk menyimpan ikan segar. Alat tangkap yang digunakan juga masih berupa pancing; jaring sederhana; dan panah, karena rumpon dan jaring bobo yang sempat digunakan warga hancur ketika musim angin barat.
Kondisi geologis Pulau Luang sebenarnya cukup menarik dan unik bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Jangan bayangkan pantai berpasir putih halus bak tepung. Pantai di sini berlumpur dengan batu-batu cadas besar di atas bukit. Sangat menantang jiwa petualang, bukan? Ditambah lagi informasi keberadaan batu-batu akik (gemstones) dan batu badam besi (magnetit), mengindikasikan bahwa pulau ini bukanlah pulau karang yang terangkat dari dasar laut. Karakteristik yang ditemui lebih sesuai dengan pulau yang memiliki asal-usul tektonik (bagian lempeng yang terangkat) atau vulkanik (bekas gunung api/sea mount yang mencuat dari dasar laut, tetapi kini sudah mati).
Kapal penumpang sabuk 48 dan sabuk 49 berhenti di Luang. Tetapi karena kondisi ‘meti’ tidak memungkinkan kapal untuk berlabuh, kapal tersebut hanya berhenti di tengah laut. Para penumpang yang naik /turun diangkut menggunakan kapal motor masyarakat.
Masyarakat Luang menolak menjadi pusat Kecamatan Mdona Hyera karena khawatir akan terjadi eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya laut mereka. Tak hanya itu, mereka juga menolak pembangunan pelabuhan/dermaga/jetty di kawasan ‘meti’ karena dirasa akan merusak lingkungan. Akan tetapi, sempat ada wacana membangun jetty terapung menggunakan ponton di luar kawasan ‘meti’.
Komoditas utama yang dimasukan ke daftar sasi di kawasan ‘meti’ di kawasan ini adalah lola dan teripang. Sasi biasanya ditutup selama 2-3 tahun. Dahulu pada tahun 1970-an, sasi cukup ditutup 6-12 bulan, tapi sekarang hasil sudah berkurang sehingga masa sasi diperpanjang. Sedangkan rumput laut dalam setahun dapat dihasilkan hingga 800 ton dan dijual ke para pembeli yang mayoritas berasal dari Makassar.