BMP BUDIDAYA UDANG WINDU MENYAPA PENYULUH PETAMBAK ACEH UTARA
Oleh Tim Akuakultur
Udang windu selain berukuran besar, juga memiliki harga jual yang tinggi di pasar nasional maupun internasional. Provinsi Aceh merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih konsisten untuk memproduksi udang windu dengan sistem tambak tradisional, dengan total produksi sebesar lebih dari 5.000 ton pada tahun 2011. (sumber data : Pusat Data, Statistik, dan Informasi – KKP). Salah satu daerah di wilayah Provinsi Aceh yang menyimpan potensi budidaya udang windu adalah di Kabupaten Aceh Utara.
Sistem tradisional dalam budidaya udang windu berarti padat tebar benur udang windu yang rendah, sekitar 1 – 3 benur per meter persegi, serta diperlakukan tanpa diberi pakan dan aerasi (kincir air). Sedangkan semi intensif adalah dengan padat tebar benur udang windu sebesar 3 – 10 benur per meter persegi dan dengan memberi pakan namun tanpa aerasi. Memaksimalkan potensi yang dimiliki Aceh tersebut, WWF-Indonesia melalui Better Management Pratice (BMP) Budidaya Udang Windu hadir untuk membina petambak di sana. Bertempat di Ruangan 1 Gedung Tgk. Hasbi Ash Shiddieqy pada 16 April, pelatihan BMP budidaya udang windu digelar. Dihadiri oleh Para penyuluhBadan Ketahan Pangan dan Penyuluh (BKPP), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Aceh Utara serta DKP Provinsi Aceh.Tokoh lokal juga digaet untuk mendampingi petambak dibeberapa kecamatan seperti, Seunuddon, Lapang, Muara Batu, Samudera, Lhoksukon, Tanah Jambo Aye, Lancang Barat, Tanah Pasir, Syamtalira Bayu, Syamtalira Aron.BMP budidaya udang windu yang disusun oleh WWF ini juga mengacu standar internasional Aquaculture Stewardship Council (ASC).
Pelatihan yang dipaparkan oleh Wahju Subachri, Senior Officer Aquaculture Program, lebih berbicara tentang budidaya udang windu yang baik, dimulai dengan aspek-aspek penting dalam budidaya udang, yaitu persiapan lahan dan air, pemilihan benur, pemilahan kualitas air, pengendalian penyakit, dan panen. “WWF-Indonesia tidak merekomendasikan petambak membuka lahan baru. Sebab, hampir seluruh lahan di Indonesia sudah terbuka, khususnya hutan mangrove. Namun, jika kondisi mendesak dan mengharuskan lahan dibuka, petambak harus berkonsultasi dengan dinas terkait untuk mengidentifikasi lahan mana yang bisa dan tidak bisa dibuka,” ungkap Wahju Subachri.
Agus Salim, tokoh setempat yang juga merupakan koordinator penyuluh Kab. Aceh Utara yang dipercaya untuk mengawal kecamatan-kecamatan tersebut untuk mewujudkan budidaya berkelanjutan dan bertanggung-jawab, mengutarakan “Kegiatan ini sangat bermanfaat,setelah adanya kegiatan ini percaya diri kami semakin tinggi dan ilmu bertambah. Kami ingin demonstrasikan langsung apa yang diperoleh di sosialisasi ini, Sehingga ketika kami ke masyarakat tahu bagaimana cara adopsi BMP yang baik dan sesuai lalu untuk diterapkanoleh masyarakat dan dan bisa kami jadikan referensi."" Selama ini, Kab. Aceh Utara belum tersentuh program yang dapat membantu kesejahteraan masyarakatpesisir, terutama petambak dan nelayan. Kebanyakan belum tahu cara membenihkan ikan, budidayayang baik sehingga bernilai ekonomi tinggi. Masyarakat berharap WWF-Indonesia dapat menjembatani penyuluh dan juga pelaku tambak untuk memaksimalkan hasil produksi dan menciptakan keberlanjutan.