BERKAH SAGU DI TANAH PARA PENGUKIR
Mata tetamu tertuju pada tingkah laku ketiga anak Hendrikus Wowokti. Mereka melihat adegan yang tak biasa. Anak-anak muda ini melangkah dengan gesit di atas perairan berlumpur di antara pepohonan sagu. Mereka bangga menunjukkan kekayaan alam di kampung Erma, sebuah noktah yang terlihat kecil saat kita membentang peta Papua.
Bukan tanpa sebab, anak-anak Hendrikus mengajak tetamu mengunjungi hutan sagu. Mereka ingin menunjukkan bagaimana tradisi nan arif mengajarkan warga untuk memanen tanaman pokok. Bagi warga kampung, sagu menjadi berkah melimpah yang harus tetap lestari. Tanaman yang berada di area pasang surut ini mengembuskan napas peradaban untuk masyarakat Asmat, komunitas dengan anugerah kemampuan mengukir yang mumpuni.
Seiring perkembangan zaman, hutan sagu menjadi salah satu wilayah yang terdampak perubahan iklim. Es abadi di kawasan kutub yang meluruh membuat muka air yang menggenangi tanaman sagu semakin tinggi. Waktu pasang surut turut terganggu.
Hendrikus Wowokti, yang akrab disapa Hengky, telah menjabat sebagai kepala kampung Erma selama bertahun-tahun. Pria paro baya ini berperawakan gagah, sebagaimana laki-laki Asmat umumnya. Dia begitu bangga dengan tradisi seni yang mengalir dalam darahnya di pesisir Papua. Karena itu, dia membawa tetamu, penghuni kota besar berjarak ratusan kilometer dari kampung yang dipimpinnya.
Generasi muda Asmat yang memandu tetamu jauh itu terus bergerak dengan lincah. Langkahnya terlihat ringan saat berjalan di permukaan lantai hutan sagu yang berlumpur tebal. Bagi orang yang datang dari kota besar, kondisi ini menyulitkan diri untuk berpijak dengan leluasa. Belum lagi kaki mereka harus dilindungi sepatu bot hingga sebatas tungkai.
Hutan sagu warga Erma berada di tepian perairan Papua. Untuk mencapainya, kita membutuhkan alat angkut berupa kapal kaleng. Jarak tempuhnya sekitar 20 menit dari dermaga kampung.
Saat tiba di antara tanaman sagu yang tumbuh subur, ketiga anak Hengky bergerak cepat. Setelah turun dari kapal kecil itu, mereka meminta beberapa puntung rokok untuk dipersembahkan pada leluhur saat menjalani ritual sebelum penebangan. Dua diantaranya menyiapkan ritual memangkur sagu.
Sementara itu, Filemon, anak bungsu kepala kampung yang ramah itu memarang daun kelapa. Dia menyiapkan dedaunan itu sebagai alas pijakan tetamu yang begitu antusias melihat kondisi terkini hutan sagu. Maklum, warga megapolitan ini minim pengalaman berjalan di atas lantai hutan dengan lumpur sedalam 80 cm. Filemon pun cekatan membuatkan jalur setapak yang nyaman dipijak.
Saat turun dari kapal kaleng, orang-orang kota itu memijak tulang daun kelapa yang sengaja ditaruh di atas lumpur lantai hutan sagu. Sekalipun sudah tahu tulang daun kelapa cukup kokoh dipijak, langkah tetamu Hengky masih terlihat ganjil. Rupanya mereka harus berkonsentrasi agar tak terpeleset dari tulang daun kelapa. Begitu tergelincir, kaki bakal terperosok ke dalam lumpur hutan. Bonusnya, kulit tungkai lecet karena terkena duri.
Setelah lebih dalam menyusuri hutan tersebut, tetamu Hengky sampai pada pohon sagu yang telah dikuliti. Sejumlah lebah mengitari area ini. Lalat babi pun tak mau kalah dengan berkenalan dengan kulit manis orang kota. Untuk mengatasi serbuan kawanan serangga, dahan pohon dengan dedaunan lebat pun jadi kipas.
Filemon memimpin ritual leluhur. Alasannya sederhana. Sebab, kedua kakaknya enggan memimpin ritual di depan tetamu ayahnya. Malu dan tak terbiasa, kata mereka.
Filemon memiliki perawakan dan wajah yang bak pinang dibelah dua dengan Hengky. Tubuhnya tegap, tetapi bahunya tidak bidang. Ia juga tidak begitu tinggi, tetapi penuh percaya diri dan keramahan. Tulang rahang, hidung, dan bibirnya sangat mirip dengan Pak Hengky, hanya saja ia tak sekeriput bapaknya.
Dua saudaranya yang lebih tua cukup berbeda dengannya. Anak pertama memiliki kepribadian yang lebih pendiam. Matanya lebih belok dan senyumnya memancarkan kehangatan. Namun, ia tidak bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia sebab tak pernah menempuh pendidikan. Dengan begitu, kami tidak banyak bicara dengannya. Begitu pula anak kedua. Walaupun pendidikan terakhirnya SMA, ia tak banyak bicara. Berbeda dengan Filemon yang vokal walau hanya lulusan SMP.
Sebagai pribadi yang paling lantang dan percaya diri, Filemon menjelaskan proses panen sagu. Biasanya, mereka menggunakan perahu dayung sebagai transportasi menuju hutan sagu. Selain itu, waktu mengambil sagu juga tidak boleh terlalu sore karena air akan surut. Jika hal tersebut terjadi, perahu harus didorong. Selanjutnya, ketika hendak menebang, mereka wajib bicara ke leluhur. Setelah menebang, bagian dalam dan luar batang sagu harus dibuka untuk melanjutkan proses pangkur sagu. Tak heran jika lebah kerap hinggap, aroma sagu memang manis.
“Sagu yang mau ditebang itu juga, pas itu dusunnya yang punya di sini. Lalu, nanti sebelum mau tebang itu, bicara. Alat satu untuk kita kayu,” cerita Filemon kepada tetamu jauh yang baru dikenalnya. Anak muda Asmat yang cekatan ini kembali melanjutkan cara memanen sagu.
“Waktu matahari keluar itu kami tunjuk. Itu kan pakai kita, pakai bahasa. Sesudah tebang, kupas kulit yang di luar. Di situ buka yang bagian dalam ini, yang bagian dalam. Yang luar juga itu ada. Sesudah buka yang bagian dalam, lalu buka. Pangkur. Sesudah pangkur, ramas, ramas.”
Sontak, wajah tetamu Hengky berkerinyit. “Ramas itu apa, mohon maaf?” tanya salah satu dari mereka dengan nada kebingungan.
Filemon dengan tangkas menerangkan pertanyaan mereka yang baru pertama kali melihat proses panen sagu warga Asmat untuk pertama kali. “Ini kan dia sedang pangkur, nanti sudah selesai. Dia punya 4 sini nanti sebentar taruh di pelepas sagu ni. Terus, kita ambil air dari sini, langsung siram di tempat pelepas sagu tu. Siram, baru kita ramas. Airnya turun ke bawah. Jadikan sagu. Proses juga nih cukup lama cukup lama 24 jam.”
Dalam proses memangkur sagu, mereka menggunakan pangkur (alat sejenis kapak) yang terbuat dari kayu untuk menyuwir bagian dalam sagu. Sesudah itu, mereka akan membuat pelepas sagu yang terbuat dari setengah lingkaran bambu (cukup panjang) untuk meremas sagu. Proses pemerasan sagu dilakukan bersamaan dengan penyiraman air pada suwiran sagu yang telah dipangkur. Air didapatkan melalui genangan yang tersedia pada lumpur dekat pohon sagu.
Saat meremas sagu, air pun mengalir pada pelepas sagu. Berikutnya, air akan menjadi putih dan solid. Tekstur ini memungkinkan hasil sagu untuk digulung dan diletakkan pada noken yang telah mereka bawa. Sebelum dimasukkan ke noken, daun pandan diambil untuk melapisi bagian dalam noken. Sisi lengkung daun tersebut digesek menggunakan belakang kepala, supaya daunnya menjadi ceper dan menutupi seluruh permukaan noken.
Air laut sudah pergi menjauhi lantai hutan sagu yang menjadi pijakan tetamu Hengky. Kondisi surut memaksa ketiga pemuda Asmat bahu-membahu dengan nahkoda kapal kecil ini untuk mendorong alat angkut ini agar dapat keluar dari habitat tanaman sagu yang khas. Kondisi alam yang berganti lantaran perubahan iklim juga sudah membuat masyarakat harus mampu beradaptasi dengan baik.
Hengky dan warga kampung Erma menerima dengan tangan terbuka kehadiran program Voice for Just Climate Action (VCA). Program aliansi ini menyatukan suara global dan lokal dengan menghubungkan beragam organisasi masyarakat sipil yang mewakili perempuan, pemuda, masyarakat adat, kaum miskin kota, aktivis digital, dan banyak lagi. Program ini dilaksanakan oleh aliansi yang dipimpin oleh empat CSO Selatan yang kuat – Akina Mama wa Afrika (AMwA), Fundación Avina, Slum Dwellers International (SDI) dan SouthSouthNorth (SSN) – dan dua CSO Global – Hivos dan WWF-Belanda – di bawah Kemitraan strategis lima tahun Kementerian Luar Negeri Belanda: “Power of Voices”.
VCA menghandirkan agenda yang adil dan berorientasi pada solusi yang mengintegrasikan hak-hak sosial dan ekonomi ke dalam aksi iklim. Bersama-sama – mitra aliansi dan organisasi masyarakat sipil lokal – kami menciptakan medan permainan yang demokratis dan memperkuat solusi inventif lokal untuk memacu pembangunan yang lebih luas. Dengan melakukan itu, kami siap membentuk realitas baru bagi manusia dan alam.
Zaani Inaury yang sehari-hari memangku jabatan Project Leader VCA untuk WWF-Indonesia menjelaskan secara lengkap mengenai program telah dimulai di wilayah Papau sejak tahun 2021. “Jadi, selama ini perubahan iklim menjadi isu yang sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia selama ini, dan harapannya adalah, perlu pengambilan keputusan secara inklusif. Jadi (program VCA ini) mengedepankan konsep dan metode inklusif conservation.”
Pria yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia organisasi masyarakat sipil ini melanjutkan keterangannya. Dia berujar, VCA memiliki tiga target yang diterjemahkan melalui tiga pilar.
“Tiga pilar ini berarti dia lebih kepada fokus kegiatan atau apa yang dikerjakan. VCA ini dikerjakan, berarti WWF tidak bekerja sendiri. Artinya, ada 7 mitra yang menjadi subgrant yang bekerja di tingkat tapak. Jadi, 7 mitra ini terbagi di dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Meskipun hari ini, provinsi Papua sendiri sudah dibagi menjadi enam, dan ada dua lokasi kerja yang berubah menjadi Papua Selatan dan Papua Barat Daya,” papar Zaani panjang lebar.
Pemimpin proyek VCA ini menerangkan lebih jauh mengenai ketiga pilar yang menjadi landasan dalam melakukan kerja di tingkat masyarakat atau tapak. “Dari ketiga pilar ini, bagaimana kita kuatkan kapasitas masyarakat untuk nanti bersuara. Lalu, yang di pilar kedua itu, bagaimana kapasitas ini kita gunakan supaya bentuk sebuah forum, forum bersuara. Nah, di pilar ketiga, suara itu, bagaimana dia bisa, dalam suatu kebijakan, dalam hal ini, baik di tiap level pemerintah, mulai dari kampung, distrik, kabupaten, provinsi, bahkan nasional.”
Bukan hanya latar belakang VCA hadir di pulau besar paling timur Indonesia ini, Zaani juga menerangkan alasan mereka menjatuhkan pilihan pada Asmat sebagai salah satu wilayah kerja. “Dengan kondisi geografis dan juga perkembangan investasi yang luar biasa, menyebabkan deforestasi gila-gilaan terjadi di sana dan juga artinya perjalanan WWF sendiri di Papua Selatan itu cukup lama, dan itu menjadi salah satu pemilihan untuk Asmat. Lalu, kasus seperti busung lapar atau kelaparan di tahun itu menjadi referensi tersendiri untuk pemilihan lokasi.”
Selain Asmat, VCA juga bekerja untuk wilayah Jayapura, yang menjadi pusat peradaban dari Pulau Papua. “Di Jayapura sendiri kan terbagi menjadi lima kampung. Jadi, di Asmat itu sebenarnya karena mereka sistem masyarakat adatnya perumpun, tapi sebenarnya dalam satu rumpun itu bisa 10-12 kampung. Nah, untuk di Asmat sendiri, sampai hari ini jika dijumlahkan ada 20 kampung dampingan dalam program VCA. Jadi, ada dua rumpun, tiap rumpun ada 20 kampung gitu,” Zaani menjelaskan lebih detail mengenai pemilihan Asmat dalam proyek ini.
VCA membangun dukungan masyarakat yang luas untuk solusi lokal dan merangsang tindakan dari berbagai perspektif dan pendekatan alternatif. Kami memfasilitasi koalisi baru yang tak terduga yang melindungi dan memperluas ruang sipil dan terlibat dalam dialog inklusif yang membangun rasa saling percaya. Dengan demikian, kami mengalihkan kepemilikan kepada masyarakat sipil lokal dan mendukung mereka dalam membangun gerakan, mengangkat suara mereka ke tingkat global dan menantang keseimbangan kekuatan.
VCA melihat kepemimpinan perempuan sebagai kunci untuk memastikan suara kelompok terpinggirkan didengar. Kesetaraan gender adalah landasan bagi pendekatan kuat untuk keadilan iklim. Dengan mengakui akar penyebab masalah dan mengintegrasikan analisis titik-temu, kami berusaha untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mengubah hubungan kekuasaan antara lain berdasarkan gender dan identitas, ras, dan kelas.
Asmat termasuk salah satu lokasi yang dipilih secara strategis berdasarkan kepentingan ekonomi dan tantangan yang dihadapi dalam hal kerentanan iklim dan ruang sipil yang terbatas. Pada saat yang sama, banyak inisiatif dan gerakan lokal yang menarik muncul di negara-negara ini, memberikan kesempatan untuk menunjukkan bagaimana kita dapat beralih ke dunia yang adil, adil, dan berkelanjutan.
Krisis iklim sangat memengaruhi alam dan berdampak buruk pada kehidupan manusia dan hak-hak. Kita berada di titik kritis Dalam perjuangan kita melawan peningkatan suhu dan dalam mengubah masyarakat kita secara berkelanjutan, adil dan inklusif. Titik kritisnya adalah sekarang. Ada peluang besar untuk melakukan perubahan. Kita perlu menegosiasikan ulang hak-hak yang tidak setara dan menata kembali serta memulihkan keseimbangan antara manusia dan alam. Kami percaya ini hanya mungkin melalui kepemimpinan dan kepemilikan masyarakat sipil lokal di tingkat berikutnya. Melalui inovasi, pendekatan keadilan iklim, dan koalisi yang kuat untuk aksi iklim yang adil.
Hengky bercerita lebih jauh mengenai perkenalannya dengan program VCA. Dia berkisah dengan lancar di rumahnya yang unik, khas generasi pengukir Asmat yang begitu mendunia.
Rumahnya sederhana untuk seorang kepala kampung. Terasnya juga kecil, hanya pas untuk dua kursi merah mudanya atau satu kursi dengan meja kecil. Temboknya didominasi oleh warna hijau dengan sedikit semu kuning. Walau tak sempat masuk, terlihat bahwa ruang bersahajanya dihiasi dengan atribut keagamaan Katolik, seperti Bunda Maria dan Yesus, serta kertas HVS A4 berisikan selfie-nya.
Bapak Hengky saat itu berpakaian polo biru dengan celana panjang krem. Hengky tidak terlalu tinggi, wajahnya terlihat seperti orang Papua pesisir lainnya, garis wajah tegas dengan tulang rahang, tulang alis, dan bibir yang sedikit maju, matanya cukup bulat. Tulang hidungnya juga lebih tinggi dan maju dibanding orang-orang lain di kampung.
Ia menunjukkan kami aula desa di seberang rumahnya. Mereka menyebutnya Jew. Ukuran Jew hampir sama besarnya dengan pastoran yang kami tinggali, mungkin sedikit lebih sempit. Bedanya, Jew hanya berbentuk segi empat, dengan atap segitiga, persis seperti rumah konvensional yang panjang. Atapnya terbuat dari daun rumbia/sagu. Sementara itu, lantainya terbuat dari batang sagu yang ‘digeprek’.
Adapun ikatan rotan yang menggantung sepanjang jalan di Jew. Setiap ikatan melambangkan marga yang ada pada Kampung Erma dan Sono. Sebagai informasi, kedua kampung ini berbagi Jee yang sama. Beberapa famili telah memiliki patung khas sebagai representasi leluhurnya. Tinggi patung kurang lebih dua meter. Patungnya berwarna putih, terlihat telanjang sembari membawa noken dan aksesoris khas Asmat. Noken merupakan tas rajutan alam yang terbuat dari serat kulit kayu maupun rotan. Bagi masyarakat Asmat, noken sangat berarti karena dapat membopong hal-hal yang menopang kehidupan mereka, mulai dari sagu hingga anak.
Di tengah Jee, terdapat patung salib Yesus yang ditutup dengan dua daun kelapa kering karena masih dalam proses pemahatan. Tangan dari sang patung belum dibuat. Patung ini biasa dibuat secara kolektif. Dalam kata lain, bapak-bapak secara bergantian membuat patung ini di waktu yang sama. Menurut para teteh, setiap tahun saat paskah, patung Yesus selalu diganti. Nantinya saat perayaan Vigili Paskah, patung yang sedang dalam proses pemahatan ini, akan diarak ke seluruh area kampung.
Di balik patung moyang yang dipahat oleh para masyarakat adat, terdapat tungku sebagai representasi leluhur. Tungku-tungku tersebut seharusnya menyala, tetapi sekarang hanya berbalut abu mati digerus modernisasi. Begitulah kata Hengky seraya memperkenalkan kami dengan Jee yang menghadap ke arah laut secara langsung.
Orang Asmat atau suku Asmat adalah salah satu dari kelompok suku besar di Papua tepatnya di bagian selatan tanah Papua. Geografis wilayah selatan Papua dengan lingkungan alam berupa hutan bakau, berawa dengan banyak aliran sungai mempengaruhi kehidupan dan karakter budaya orang Asmat sebagai masyarakat pemburu, peramu dan menangkap ikan di sungai atau di air tawar.
Kesenian sebagai tradisi orang Asmat khususnya seni ukir sangat unik dan memiliki nilai budaya yang tinggi. Seni ukir mempunyai hubungan erat dengan kehidupan religi orang Asmat (agama tradisi) yang mereka percaya terutama yang berkaitan dengan tradisi lisan dalam mite, legenda dan dongeng yang dianggap oleh mereka sakral dan berhubungan dengan sejarah kehidupan leluhur atau nenek moyang mereka yang sangat mempengaruhi kehidupan religi mereka seperti mite Fumiripts dan mite Mbisman serta rumah adat atau Jew dan Mbis (patung roh orang mati/patung yang member simbol kehadiran roh leluhur).
Orang Asmat percaya, benda berupa kerajinan ukiran adalah media penghubung antara kehidupan di dunia ini dengan kehidupan di dunia arwah terutama dengan nenek moyang mereka. Kematian seperti akibat black magic atau karena senjata lawan maka harus dibalas dengan kematian. Segala jenis ukiran yang dibuat seperti di dayung, perisai, tifa, busur dan sebagainya setelah di kerjakan akan diberi nama sesuai dengan orang yang telah meninggal. Pemberian nama ini untuk mengingatkan mereka pada orang yang meninggal tersebut dan mereka akan melakukan pembalasan karena mereka beranggapan sebelum membalas kematian maka arwah orang yang meninggal tidak merasa tenang diakhirat.
Ukiran Asmat sebagian besar dikerjakan oleh kaum pria. Peruntukan ukiran umumnya mereka gunakan untuk keperluan ritual dan saat ini untuk dijual guna menambah ekonomi keluarga. Setiap ukiran orang Asmat mempunyai ciri-ciri khas sendiri terutama yang diperuntukan untuk ritual adat dan perbedaannya sangat terlihat jelas.
Ukiran Asmat yang kelihatan pada ukiran, sebenarnya bayangan konsep dari apa yang terkandung dan merupakan suatu usaha membedakan khayalan tingkat nyata yang dapat dipahami. Ukiran Asmat adalah ukiran kepercayaan yang bertujuan memuja arwah para leluhur. Mengukir merupakan kegiatan mereka sebagai prosesi pengungkapan keadaan pribadi ke dalam wujud keadaan secara idiologis,psikologis, dan religi.
Untuk mempertahankan adat, Hengky juga memberitahukan bahwa terdapat tiga pesta yang selalu kampungnya rayakan. Pesta pertama disebut ‘Pokman’ yang berarti pesta kehadiran roh. Berikutnya adalah ‘Pesta Ulat Sagu’. Pada pesta ini, para mama menari di bagian atas Jee, sementara bapak-bapak hanya boleh dibawah dan memukul tifa. Setelah itu, sagu yang digunakan diberikan ke kampung sebelah sebagai silaturahmi. Terakhir, ‘Pesta Perahu Baru’ merupakan pesta apresiasi terhadap mata pencaharian utama mereka sebagai peramu.
Saat bercerita, Hengky juga mengaku bagaimana tantangan eksternal merupakan hal yang tak terkendali. Hal tersebut meruntuhkan budaya yang telah ada sejak sedia kala. Hengky mengatakan, salah satu wujud konkret tumbangnya kebudayaan mereka adalah dengan berkurangnya rumpun di Asmat. Dua belas rumpun menjadi sembilan rumpun. Pengurangan ini disebabkan oleh kelengahan rumpun tersebut dalam membawa lambang budaya mereka, seperti tabu misalnya, di upacara adat. Ketinggalan simbol budaya dalam upacara adat menghilangkan roh leluhur. Masalah ini membuktikan lunturnya kesadaran kebudayaan di Asmat. Namun, beliau tetap mengutarakan rasa syukurnya karena pihak eksternal, seperti gereja maupun tokoh adat, mendorong mereka untuk melestarikan budaya sambil mengikuti perkembangan zaman. Ajaran inilah yang membuat Bapak Hengky dan kampungnya untuk membuka diri dan menerima bantuan VCA.
Bantuan pemetaan partisipatif yang ditawarkan oleh VCA bermula dari pertemuan antara lima kepala kampung melalui gereja. Hengky mengaku, pertemuan tersebut bertujuan untuk menyepakati bahwa mereka tidak mau memenjarakan anak cucu mereka dalam konflik adat. Tanpa kehadiran pemetaan wilayah, masyarakat Erma di masa lampau kerap baku bertengkar dengan siapapun yang dengan sembarangan menebang sumber pangan di area mereka. Namun, sang kepala kampung menyadari bahwa hal ini terjadi lantaran tidak ada batasan jelas mengenai kepemilikan lahan di kampung.
Secara umum, pemetaan partisipatif digunakan sebagai penguatan hak adat, sehingga sumber daya alam tidak tereksploitasi oleh pengelola eksternal, seperti sawit misalnya. Perjuangan pemetaan ini akhirnya melahirkan payung hukum ‘SK Bupati Asmat No 552 Tahun 2022’. Pada SK tersebut, tertulis bahwa Distrik Sawa Erma mendapat wilayah timur dari keseluruhan luas wilayah adat 81.264,14 hektar yang dimiliki Rumpun Keenok atau Rumpun Pomar Sirau.
Walaupun begitu, masyarakat Erma, paling tidak melalui Hengky, memandang manfaat pemetaan ini sebagai jalur tengah bagi konflik adat yang mereka alami. Sebagai bentuk partisipasi dalam mengupayakan pemetaan wilayah, perwakilan para lelaki dalam masyarakat kerap menanam jambu, sukun, maupun kelapa untuk memberi garis batas wilayah.
“Sebenarnya salah satu kegiatan utama untuk Asmat dalam program VCA ini adalah pemetaan wilayah adat dalam Rumpun Pomar Sirau. Pemetaan ini adalah pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat sejak awal. Jadi, sejak 2021, mulai dari pra kondisi, kemudian pemetaan wilayah yang dilakukan bersama masyarakat rumpun Pomar Sirau, artinya da sepuluh kampung, di situ mereka secara partisipatif membuat peta yang digunakan sebagai alat advokasi untuk mendapat SK Bupati,” terang Zaani Inaury. Keterangannya seperti menguatkan terhadap kegiatan yang sudah dikerjakan warga yang dipimpin Hengky.
Di sisi lain, Mama Maryana, seorang perajin di Kampung Erma menjelaskan bagaimana kaum perempuan yang belum mendapat kesetaraan pengambilan keputusan maupun bekerja di lapangan. Akan tetapi, mereka tetap berkontribusi menyukseskan agenda ini.