BERDIRI MENJAGA “TABUNGAN” DAN “BANK” KEHIDUPAN DAN BUDAYA
Oleh: Bernadus Ronald Jeffry Tethool (Field Coordinator Boven Digoel) dan Leo Jahnsen Yembise (Community Outreach Officer)
Kaspar Mukri tertegun sejenak menenangkan diri dari emosinya setelah bercerita panjang tentang rencana perusahaan kelapa sawit yang akan membuka hutan dan wilayah adat Suku Auyu di Kampung Yare, Distrik Boven Digoel.
Kaspar Mukri sebagai salah satu tetua adat Kampung Yare, Distrik Boven Digoel, menentang keras rencana perusahaan kelapa sawit untuk membuka hutan di wilayah adatnya. Karena bagi Kaspar dan masyarakat lainnya, hutan di wilayah ulayat mereka merupakan sebuah tabungan masa depan yang tersimpan dalam bentuk potensi hasil hutan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup keseharian mereka. Hal ini diutarakan kepada Leo Jahnsen Yembise, Community Outreach Officer Boven Digoel WWF-Indonesia, ketika melakukan kunjungan ke Kampung Yare untuk mengumpulkan informasi tentang implementasi Persetujuan Atas Informasi Di awal Tanpa Paksa (PADIATAPA) terhadap masyarakat.
Kaspar juga menegaskan, selama ini masyarakat adat Kampung Yare sudah banyak belajar dari pengalaman aktivitas perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Distrik Boven Digoel. “Banyak masyarakat adat yang terpinggirkan dan kehilangan tempat-tempat penting sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya,” tutur Kaspar. Maka, sebagai bentuk penolakan terhadap upaya pembukaan lahan di wilayah adatnya, Kaspar dan marga lainnya di Kampung Yare membuat tanda berupa “tiang salib” dan “rumah adat” di setiap sudut batas wilayah ulayat mereka.
Jika, ada “tabungan” yang harus dijaga di Kampung Yare, sama halnya di Kampung Getentiri yang memiliki “bank” di dalam hutan ulayatnya yang menyimpan semua kebutuhan hidup masyarakatnya. Ialah, Alberth Tenggare, lelaki berpostur kecil, berwajah tegas serta berpendirian teguh, salah satu orang yang berpengaruh kuat bagi marga Tenggare tidak menginginkan wilayah ulayatnya diserahkan kepada perusahaan kelapa sawit.
Alberth Tenggare diketahui memiliki wilayah ulayat yang jauh dari tempat domisilinya di Kampung Miri, Distrik Jair. Walaupun jauh untuk ditempuh, Alberth selalu menyusuri Sungai Digul menuju wilayah ulayatnya guna terus menjaga dan mencari hasil-hasil kebun dan hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Karena bagi Alberth, wilayah ulayatnya adalah “bank” tempat menyimpan semua kebutuhan hidup masyarakat Kampung Miri, mulai dari ikan, air bersih, sagu, udara yang bersih, pepohonan, rawa, bukit serta sungai yang airnya mengalir tenang.
Lestarikan Hutan Ulayat melalui Program LESTARI
Alberth tidak diam diri untuk menjaga kelestarian hutan ulayat di Kampung Yare. Alberth membuat peta wilayah ulayatnya dan bernegosiasi dengan salah satu perusahaa kelapa sawit yang ingin membuka lahan di hutan adatnya, yang akhirnya dihasilkan kesepakatan bahwa wilayah ulayat Alberth dikeluarkan dari wilayah pengembangan perkebunan sawit.
Menjawab tantangan di atas, WWF-Indonesia melalui Program LESTARI yang didanai USAID bekerja sama dengan Pemerintah Boven Digoel dan Masyarakat adat telah melakukan kajian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF), yaitu Kawasan yang memiliki atau mendukung satu atau lebih Nilai Konservasi Tinggi (NKT). NKT sendiri merupakan atribut penting sebagai acuan mencakup nilai-nilai ekologi, jasa lingkungan, sosial dan budaya, yang tata cara identifikasinya ditentukan dalam panduan toolkit NKT Indonesia.
Berdasarkan toolkit NKT, “tabungan” milik Kaspar Mukri dan “bank” milik Alberth Tenggare berada di nomor NKT 5 dan 6 sebagai kawasan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Hal ini mencakup dusun/rawa sagu, sumber air, tempat berburu, hutan lindung adat, kebun, tempat mencari ikan, hutan gaharu dengan radius perlindungan 100 – 1.500 meter dan kawasan identitas budaya tradisional lainnya, seperti tempat keramat, kampung lama, perjalanan leluhur, persinggahan leluhur, gunung, kuburan leluhur, telaga/danau dengan radius perlindungan 100 – 1.000 meter. Di dalam panduannya dikatakan jika NKT 5 dan 6 berfungsi untuk mempertahankan sumber penghidupan sehari-hari masyarakat lokal, seperti sumber makanan, obat-obatan, sumber bangunan, sumber atribut adat, dan identitas sejarah budaya.
Selain itu, saat ini telah disusun Rencana Konservasi Bentang Alam dapat digunakan sebagai rekomendasi penyusunan kebijakan pembangunan berkelanjutan seperti penyusunan atau evaluasi KLHS, RAD-GRK/SRAK, RPJMD, evaluasi RTRWK/P, evaluasi peruntukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan serta Kawasan Strategis Nasional. Harapannya, setelah melakukan intervensi pendetilan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di level operasional sebagai bahan pertimbagan perencanaan ruang di tingkat lebih detil (RDTR, tata batas investasi), penurunan fungsi lingkungan hidup melalui Adopsi Rencana Aksi (RKBA) dalam implementasi program di setiap sektor dapat diminimalisir sehingga masyarakat lokal dapat mempertahankan hak adat untuk membangun kearifan budaya dalam pelestarian alamnya.