#XPDCMBD: SISI IRONIS SEWA LAHAN ‘METI’ DI DUSUN KOUR YATUNA
Penulis: Hellen Nanlohy (Unpatti) & Noverica Widjojo (WWF-Indonesia)
Dusun Kour Yatuna, adalah dusun pesisir yang saya dan Tim Darat kunjungi hari ini (5/11) saat sedang melakukan survei cepat di Desa Jerusu di Pulau Romang. Mata pencaharian utama warga Dusun Kour Yatuna adalah petani jagung; kelapa; dan madu, pada saat musim angin barat atau musim angin kencang. Jika sudah masuk musim peralihan atau musim tenang seperti saat ini, warga Kour Yatuna mulai menjalankan aktivitas menangkap ikan.
Walaupun menjadi nelayan merupakan mata pencaharian alternatif, warga Kour Yatuna sangat memperhatikan kondisi laut dan hasil tangkapan mereka. Saat kami melaksanakan survei cepat melalui forum discussion group (FGD) di lokasi tersebut, banyak warga yang bercerita bahwa sejak tahun 1986, jumlah tangkapan laut dan pesisir – terutama teripang dan lola – yang mereka dapatkan semakin sedikit. Ukurannya pun semakin mengecil. Padahal, di dusun ini sasi atau peraturan adat mengenai pelarangan memanen teripang dan lola sudah berlaku sejak dahulu kala. Tidak hanya itu, menurut mereka, terumbu karang yang terdapat di sekitar perairan Dusun Kour Yatuna pun banyak yang rusak akibat pemboman ikan yang dilakukan oleh nelayan dari luar wilayah Maluku Barat Daya.
Namun diantara semua curahan hati warga Desa Kour Yatuna tersebut, menurut kami yang paling menarik adalah cerita mengenai sistem sewa lahan ‘meti’ wilayah laut dan pesisir yang dilakukan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Jerusu. Durasi sewa lahan ‘meti’ ini berlaku selama 3-4 bulan dan penyewa diperbolehkan untuk mengambil dan memanfaatkan hasil tangkapan, khususnya udang. Sedangkan hasil laut lainnya seperti ikan, kepiting, dan teripang, tidak diperbolehkan untuk ditangkap. Ironisnya, sewa lahan ‘meti’ tersebut hanya berlaku bagi para nelayan dari luar Maluku Barat Daya.
Menurut hasil pemantauan masyarakat setempat, walaupun dilarang, para penyewa lahan ‘meti’ ternyata tetap mengambil beberapa hasil laut selain udang. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan masyarakat Dusun Kour Yatuna. Tidak hanya secara sosial karena mereka terikat dan menghormati sistem sasi yang berlaku di wilayahnya; tetapi juga secara ekonomi, yang mana saat sasi dibuka, warga diperbolehkan untuk mengambil dan menjual hasil tangkapannya tersebut ke para pembeli yang mayoritas juga berasal dari luar Maluku Barat Daya. Walaupun mereka sudah meminta Pemdes Jerusu untuk menghentikan sewa lahan ini, namun hingga sekarang sistem tersebut masih berjalan.