WWF AJAK UNSYIAH TINGKATKAN PENELITIAN TENTANG BADAK SUMATERA
WWF Indonesia mengajak mahasiswa dan dosen Universitas Syiah Kuala untuk meningkatkan penelitian tentang badak sumatera yang salah satu habitatnya ada di hutan Aceh. Salah satu cara menstimulus peran civitas akademika adalah dengan berkolaborasi melakukan Seminar Nasional tentang Konservasi Badak (Dicerorhinus sumatrensis), Kamis (4/08/2016), di Aula FMIPA Unsyiah, Banda Aceh.
Seminar yang dibuka langsung Rektor Unsyiah Prof. Samsul Rizal, M, Eng, menghadirkan pemateri antara lain Yuyun Kurniawan, Rhino Coordinator WWF Indonesia, Dr. Muhammad Agil, Akademisi dari Institut Pertanian Bogor, drh Marcellus Adi CTR, praktisi senior konservasi badak, Tokoh Sejarahwan Aceh, Drs Rahman Kaoy yang juga anggota Majelis Adat Aceh (MAA), Dedy Yansyah, Koordinator Program FKL, Wakil Ketua DPR Aceh, T Irwan Djohan serta Project Leader WWF Indonesia Northern Sumatra Program, Dede Suhendra. Peserta berasal dari perwakilan pemerintah, LSM, dosen dan mahasiswa.
Dalam sambutannya, Rektor Unsyiah mengatakan bahwa, terkait dengan konservasi badak Sumatera di wilayah Hutan Aceh perlu ditingkatkan kembali, baik itu melalui penelitian atau sosialisasi kepada masyarakat dan generasi muda khususnya mahasiswa.
“Kami dari Unsyiah sangat mengapresiasi kepada pihak WWF atas kerja sama ini, terkait khususnya konservasi badak. Bicara penelitian , kita juga bicara dana. Meskipun dana kita sangat kurang, namun kita masih punya mahasiswa atau SDM yang cukup untuk melakukan kegiatan konservasi badak Sumatera di Aceh,” menurutnya.
Rektor Unsyiah berharap mahasiswa Unsyiah khususnya yang berkecimpung di dunia lingkungan seperti yang kuliah di Fakultas MIPA Biologi perlu mengambil peran strategis dalam konservasi badak ataupun satwa lainnya.
“Kita dari Unsyiah juga akan terus membantu dan berkontribusi untuk sama-sama melindungi dan berbagi informasi terkait pelestarian badak Sumatera khususnya,” kata Samsul Rizal.
Dalam seminar ini terungkap bahwa masih banyak gap data dan informasi terkait badak sumatera. “Saat ini tak ada data populasi yang jelas sehingga menyulitkan kita menyusun rencana aksi konservasi badak sumatera,” kata Yuyun Kurniawan dari WWF Indonesia.
Sementara Dr. Muhammad Agil menyampaikan kekawatirannya akan terus menurunnya populasi badak di alam liar. Selain menghadapi masalah kecilnya populasi, badak juga menghadapi masalah dengan adanya penyakit yang mempengaruhi kesuburannya sehingga badak menjadi sulit berkembang biak.
“Indonesia harus melakukan revolusi terhadap konservasi badak sumatera. Bahwa saat ini harus dipikirkan intervensi lain seperti inbreeding untuk meningkatkan populasinya. Disini peran saintis sangat diperlukan,” kata Agil.
Sudh lama badak jadi target perburuan cula sebagai obat tradisional. Selama bertahun-tahun perburuan badak Sumatera untuk diambil culanya ataupun bagian-bagian lain juga menjadi alasan utama mengapa semakin berkurang populasi satwa tersebut, kemudian hilangnya habitat hutan untuk Badak Sumatera juga menjadi ancaman utama bagi kelangsungan hidup badak sumatera yang tersisa. ""Namun saat ini laporan tentang perburuan sangat kecil di lapangan. Mungkin karena semakin sulit mencari badak,"" kata Yuyun.
Menurut Yuyun, pendekatan ekologi dan sosiokultural menjadi kunci utama dalam upaya pelestarian badak. Saat ini, kawasan yang menjadi rumah bagi badak Sumatera sudah semakin tergeser oleh invasi yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar koridor satwa. “Tidak bisa dipungkiri memang, akan tetapi paling tidak dengan pemberian informasi yang baik dan benar, masyarakat juga akan mendapatkan edukasi terkait pelestarian badak,” ujarnya.
“Saat ini badak menjadi satwa yang mendapatkan banyak perhatian dunia karena populasinya yang semakin hari semakin menurun. Badak Jawa dan badak Sumatera bukan lagi milik Taman Nasional, bukan lagi milik Indonesia, tetapi milik dunia. Apakah kita masih tidak peduli?, “begitu kata Yuyun Kurniawan.
Seperti diketahui, Badak Sumatera yang dikenal juga dengan Badak Berambut atau Badak Bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan spesies langka dari familiRhinocerotidae dan termasuk salah satu dari lima speseies badak yang masih tersisa.
drh Marcellus Adi dari Alert menyampaikan kenyataan bahwa masih sedikit pengambil keputusan dan publik di Indonesia mengetahui tentang badak. “Banyak orang tidak tahu mana badak sumatera dan badak jawa. Sehingga dukungan terhadap konservasi badak sangat sedikit di Indonesia,” katanya.
Irwan Djohan menyampaikan legislative Aceh memberi dukungan pada penyelamatan hutan dan satwa di Aceh dan perlu kerja keras untuk meyakinkan kepada para politikus dan pengambil keputusan untuk mau menganggarkan kegiatan-kegiatan konservasi di Aceh.