VO O IL, KETIKA PARA PERANTAU PULANG KE KERAJAAN WERKA DAN MEMETAKAN WILAYAH ADAT BERSAMA
Oleh: Rizal (Community Right Based Management Officer for Inner Banda Arc Subseascpace, WWF-Indonesia)
Kerajaan Werka di Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara, sedang ramai-ramainya pada 15-17 Februari 2017 lalu. Masyarakat adat Desa Werka baru saja menggelar Vo o il, sebuah ritual adat panggil pulang yang telah dipraktekkan secara turun temurun. Pada waktu tertentu, biasanya dalam jangka 2-5 tahun sekali, seluruh masyarakat adat Werka yang ada di perantauan dipanggil untuk pulang ke tanah leluhur, Kerajaan Werka.
Momen panggil pulang ini juga dimanfaatkan untuk berkeliling untuk melihat batas wilayah adat kerajaan. Wilayah petuanan adat seluas 569 hektar ini menyimpan potensi alam – baik itu sumber daya darat seperti umbi-umbian, cengkeh, pala, kelapa, dan sagu; juga sumber daya laut seperti ikan, lola, teripang, gurita, cumi, lobster, dan kepiting. Desa Werka dipimpin oleh seorang kepala desa, yang secara adat tunduk kepada Raja Loor Lobay Ohoi Werka.
Pada kesempatan langka tersebut, berbeda dengan Vo o il sebelumnya yang hanya melibatkan masyarakat adat, kali ini Kerajaan Werka mengundang WWF-Indonesia untuk ikut berpartisipasi. Dalam momen panggil pulang inilah, kami memfasiltasi masyarakat adat untuk melakukan pemetaan partisipatif, yaitu memetakan wilayah adat dan wilayah pengelolaan sumber daya alam di Kerajaan Werka, dengan melibatkan langsung masyarakat.
Kami tiba di Werka disambut oleh Raja dan para Saniri (kepala marga) dengan ritual sirih pinang. Sebelum masuk ke rumah raja, kami diwajibkan melangkahi lela (meriam kuno peninggalan Belanda) agar terhindar dari bahaya. Di balai adat Desa Werka lah kemudian kami memperkenalkan metode pemetaan partisipatif yang merujuk pada Seri Panduan Pemetaan Partisipatif No. 8 - Pemetaan dengan GPS yang dibuat oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Setelah mengenalkan metode pemetaan dan membentuk tim pemetaan, pemetaan partisipatif dimulai dengan mengambil titik koordinat situs-situs sejarah di Kerajaan Werka. Pada tahap ini, tim tidak diperbolehkan memakai perhiasan emas dan pakaian merah, dan dipercaya siapapun yang melanggar pantangan tersebut akan menjadi gila.
Pada hari pertama, terdapat empat situs sejarah yang kami ambil datanya, yaitu kampung tua marga Jomca dan Jamlain, siran (tempat pertemuan adat semua marga di masa lampau), kampung tua marga Reneuth dan Renleuw, serta makam Raja Werka pertama.
Hari kedua, kami mengambil data batas wilayah adat Werka dengan melibatkan seluruh masyarakat. Dimulai dengan meletakkan sesaji sirih pinang dan uang logam di woma (pusat kampung), kami berkeliling Werka dengan dipimpin raja. Kami berhasil mengambil data pada 15 titik dalam jarak tempuh 10 km. Titik-titik ini dengan batu besar, sumber mata air, dan kuburan leluhur.
Pada hari terakhir, kami mengambil data koordinat di batas petuanan laut Kerajaan Werka. Sebuah kearifan lokal Werka yang patut diacungi jempol adalah komitmen mereka dalam menjaga kelestarian sumber daya lautnya.
Kerajaan Werka memberlakukan sistem Yot atau Sasi, yaitu pelarangan pengambilan sumber daya dalam jangka waktu tertentu dengan sistem buka tutup kawasan laut. Yot ditandai dengan adanya Hawear yang terbuat dari daun kelapa. Pembukaan dan penutupan Yot selalu dilakukan dengan sidang dan upacara adat.
Seluruh data yang diambil pada pemetaan partisipatif ini akan divisualkan dalam bentuk peta, lengkap dengan legenda untuk untuk setiap situs adat dan fasilitas umum kerajaan dan desa. Peta inilah yang akan digunakan untuk mendaftarkan kekayaan wilayan adat Werka ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan menjadi dasar untuk penyusunan Peraturan Desa terkait pengelolaan sumber daya laut dan mangrove di kerajaan milik suku Kei dengan hampir 400 penduduk ini – Werka.