TEMPAT PENTING YANG KEHILANGAN ARTI PENTING
Oleh Feronika Manohas, staff WWF-Indonesia yang bertugas di area Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Sehari-hari menjalankan tugas sebagai staff penjangkauan komunitas dan masyarakat untuk pemberdayaan dan edukasi. Kontak fmanohas@wwf.or.id
November lalu,tim WWF-Indonesiamendapat kesempatan lagi untuk menyapa masyarakat pesisir di Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) tepatnya di tujuh Kampung diantaranya Yende ,Syabes , Yomakan , Isenebuai , Yomber , Goni, Napanyaur ,dan Kwatisore. Pada setiap kampung yang kami kunjungi menghasilkan informasi dan kesepakatan hasil diskusi yang luar biasa, mulai dari dipetakannya tempat-tempat yang dianggap keramat oleh leluhur, tempat mencari makan, sumber air, kayu tempat berkebun hingga tempat-tempat bersejarah lainnya.
Setelah Injil masuk di Papua yang membawa ajaran agama kristiani,kesakralan tempat-tempat keramat tersebut mulai menurun, salah satunyadisebabkan oleh kunjungan oleh orang asing (pelancong). Bahkan, Tim WWF-Indonesia pun diperbolehkan untuk masuk kedalam lokasi keramat mereka.Meskipun begitu, nilainya masih tetap ada disetiap benak penduduk disana, ceritanya pun masih diturunkan ke anak cucu agar kelak nilai tersebut tidak hilang ditelan masa.
Lain dengan tempat penting dari segi ekonomi, pada zaman nenek moyang mereka telah memiliki aturan dalam kegiatan pemanfaatannya. Diantaranya adalah pembatasan areal tangkapan dalam jangka waktu tertentu, penggunaan alat tangkap yang sesuai, meninggalkan sebagian hasilnya untuk penghuni alam, tidak boleh ambil banyak-banyak dan berbagai pesan para orang tua agar yang pada dasarnya ingin mengatur agar sumber daya alam itu tetap ada selamanya.
TNTC dikenal memiliki keunikan yang luar biasa dalam pengelolaannya berdasarkan zonasi. Meskipun telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, namun lokasi larang tangkap yang ditentukan bersama kini tetap menjadi lokasi tangkap komersil, para wisatawan juga menyelam dilokasi yang mereka tentukan sesukanya sampai kewilayah zona inti, sering terjadi pemukulan terhadap petugas pendamping wisatawan tersebut (ranger) dibeberapa lokasi penting masyarakat karena tidak melapor atau masuk tanpa izin dari kampong. Salah satu pernyataan masyarakat pun masih menjadi peer besar bagi pengelola TNTC, berupa orang asing yang datang melihat tempat keramat tanpa meminta izin dari para pemilik hak ulayat. Tak hanya masalah rupiah yang menjadi faktor utama, tetapi tingginya nilai tempat-tempat penting tersebut yang membuat masyarakat setempat merasa diabaikan.
Banyak yang lupa atau belum mengetahui bahwa dimasyarakat berlaku sistim kepemilikan hak ulayat, yang berarti meskipun berada dibawah pemerintahan namun suatu lahan atau lokasi penting mereka memiliki “tuannya” dan sayangnya petinggi-petinggi di pemerintahan pun lupa.
Berdasarkan data di Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC), wisatawan mengalami peningkatan hingga 100% dari tahun 2011 hingga 2013. Maraknya tumpang tindih penggunaan lahan , masalah penggunaan alat tangkap yang merusak yang tidak ditegakkan aturannya, juga tidak adanya aturan wisata yang menguntungkan warga, juga berdampak padajumlahikan yang berkurang dan ukuran yang mengecil, lokasi tangkapan semakin jauh, hingga beberapa jenis biota sudah sangat jarang ditemukan saat ini merupakan akibat pariwisata yang tidak bertanggung jawab.“Jika kalian beradab tolong atur kegiatan wisata ini dengan baik, jangan sampai kami hancurkan semua itu!!” tandas Kepala Kampung Isenebuai Ambrosius Kayukatui kepada Tim WWF-Indonesia .
WWF-Indonesia menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat assessment pariwisata di TNTC dan mendorong kepada para pihak yang terlibat. Namun, saat ini masih dalam proses. Harapan terakhir adalah masyarakat mampu bijak dalam mengelolaalamnya agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hari ini, esok dan selamanya dan tim WWF-Indonesia akan terus mendampingi warga hingga hak-hak mereka kembali terengkuh.