TEMPAT BERLINDUNG HARIMAU, ORANGUTAN, DAN GAJAH TERANCAM OLEH APP/SMG
Hutan Sumatera: Rumah Terakhir Masyarakat Asli Orang Rimba dan Talang Mamak
Rilis media bersama KKI Warsi, FZS, Eyes on the Forest dan WWF-Indonesia
Jambi (14/12) – Hamparan hutan yang dijuluki para ilmuwan sebagai salah satu dari 20 lansekap prioritas global bagi keberlangsungan harimau kini dijadikan target secara sistematis oleh aktivitas industri pulp yang dilakukan Asia Pulp & Paper/Sinar Mas Group (APP/SMG), satu dari sejumlah pemasok kertas terbesar di dunia. Ini bertentangan dengan klaim perusahaan tersebut untuk tidak menargetkan hutan bernilai konservasi tinggi untuk ditebang dan klaim footprint karbon mereka yang diyakininya telah mendekati kondisi netral.
Investigasi yang dilakukan sejumlah LSM di Sumatera bagian tengah menemukan bahwa sejak 2004 perusahaan-perusahaan afiliasi APP secara sistematis mendapatkan/mencari konsesi-konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH, konsesi tebang pilih) pada lahan yang dirimbuni hutan alam di lansekap Bukit Tigapuluh. Perusahan tersebut memperoleh izin dari pemerintah untuk mengubah status HPH menjadi konsesi hutan tanaman industri (HTI), terkadang dengan keadaan/kondisi yang masih dipertanyakan legalitasnya. Hal ini semakin memuluskan praktik pembabatan dan konversi hutan alam menjadi perkebunan komersial. Akibatnya, gajah, harimau, orangutan, dan masyarakat asli penghuni hutan yang hidup sejak ribuan tahun lalu kehilangan rumah mereka.
“Selain klaim APP bahwa ia tidak membabat hutan bernilai konservasi tinggi, investigasi kami juga menemukan bahwa dalam kurun enam tahun terakhir, perusahaan tersebut memiliki andil penting terhadap hilangnya 60 ribu hektar hutan kaya karbon di lansekap Bukit Tigapuluh tanpa adanya penilaian profesional yang layak ataupun konsultasi dengan para pemangku kepentingan,” ujar Susanto Kurniawan dari koalisi Eyes on the Forest. “Bukit Tigapuluh hanyalah satu dari segelintir hutan hujan tersisa di Sumatera bagian tengah. Karena itu kami mendesak Pemerintah untuk tidak melepaskannya kepada APP/SMG yang akan tanpa ampun melenyapkannya dan menghancurkan masyarakat lokal serta keanekaragaman hayati di dalamnya.”
Bukit Tigapuluh adalah rumah bagi dua suku masyarakat asli penghuni hutan. Ada 551 penduduk Orang Rimba dan 165 penduduk Talang Mamak berdiam disini, atau tidak menetap di luar Sumatera tengah. Orang Rimba telah menghuni rimba Bukit Tigapuluh berabad-abad lamanya, berkelana dalam kelompok keluarga yang berpindah di dalam hutan, berburu, memancing dan mengumpulkan produk hutan non-kayu pada lahan tradisional mereka.
“Anggota-anggota masyarakat asli ini biasanya menukar barang mereka dengan warga kampung di pinggiran hutan, namun lebih senang menyimpannya untuk mereka sendiri,” ujar Diki Kurniawan dari WARSI. “Mereka terusir dari tanah nenek moyang mereka oleh APP dan perusahaan-perusahaan lainnya sehingga mereka kehilangan banyak pilihan. Mereka bergantung pada hutan untuk obat, makanan, hunian, dan tanaman untuk dibarter dengan warga kampung. Banyak dari mereka kini harus meminta-minta pemberian nasi agar bisa bertahan hidup.”
Lansekap Konservasi Harimau Prioritas Global (Global Priority Tiger Conservation Landscape) Bukit Tigapuluh di Sumatera bagian tengah dianggap sebagai satu dari 20 lansekap yang kritis bagi keberlangsungan jangka panjang harimau di belantara oleh para pakar harimau terkemuka pada 2006. Pada November 2010, Pemerintah Indonesia bertekad dalam pertemuan puncak harimau dunia untuk menetapkan lansekap tersebut sebagai salah satu dari kawasan fokus bagi konservasi harimau.
Bukit Tigapuluh mencakup hampir 320 ribu hektar hutan alam pada 2010, konsentrasi terbesar dari kawasan hutan dataran rendah yang tersisa pada lahan non-gambut di Sumatera. Sekitar 30 ekor harimau diperkirakan bertahan di sini atau hampir 10 persen dari populasi harimau Sumatera yang sangat ini terancam punah. Harimau di kawasan ini berbagi hutan dengan lebih dari 150 gajah Sumatera dan 130 kera besar yang dilepasliarkan sebagai bagian dari satu-satunya program pelepasliaran orangutan Sumatera yang sukses. “
Kami telah melepaskan lebih dari 100 orang utan, termasuk Tamara dari Kebun Binatang Perth, ke dalam hutan ini sebagai kerjasama dengan Pemerintah Indonesia karena ini dianggap sebagai hutan lindung,” ujar Julius Paolo Siregar dari Frankfurt Zoological Society (FZS). “Kera-kera besar ini adalah satwa yang masih hidup dari perdagangan hewan piaraan ilegal yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk hidup dan berkembang biak di hutan belantara. Orang utan tidak bisa hidup tanpa pohon dan rencana konversi berarti kematian banyak bagi mereka.”
Lansekap itu telah lama terpencil. Kondisinya yang berbukit pun sesungguhnya juga merepotkan untuk dijadikan sasaran industri. Namun, semakin banyaknya hutan Sumatera yang telah rusak, industri pulp dan kertas pun mulai melirik kawasan tersebut. Saat ini, hanya 42 persen (134.834 hektar) hutan tersisa di lansekap tersebut, kawasan paling berbukityang dilindungi dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Evaluasi terhadap deforestasi menyimpulkan bahwa di masa depan, APP/SMG bisa menjadi penghancur hutan alam tunggal terbesar di Bukit Tigapuluh. Mendekati 60 persen atau sekitar 97 ribu hektar hutan tersisa yang terletak di luar kawasan konservasi kini terancam oleh konversi komersial berskala besar industri pulp dan kertas yang dilakukan APP/SMG.
Dua perusahaan berafiliasi APP/SMG - PT. Artelindo Wiratama dan PT. Tebo Multiagro Corporation – terus menebangi hutan alam Bukit Tigapuluh pada 2010 dan PT. Rimba Hutani Mas dari Sinar Mas Group tengah berencana membabat hampir 43 ribu hektar hutan alam. Kalangan LSM khawatir bahwa konsesi HTI terbaru, PT. Lestari Asri Jaya dari Barito Pacific Group, dengan luasan sekitar 36 ribu hektar hutan alam, bisa saja mulai menebanginya guna memasok kayu kepada APP/SMG dalam waktu dekat ini.
Seperti industri pulp dan kertas, harimau, gajah dan orangutan lebih menyenangi dataran rendah dibandingkan bukit-bukit, menempatkan mereka di jalur langsung buldozer yang datang membabat hutan. Mereka yang mampu bertahan hidup pun harus menghadapi ancaman konflik dengan pekerja kebun, perambah ilegal dan pemburu satwa yang mengikutinya mengingat semakin terbukanya akses akibat jalan logging termasuk yang dibangun oleh APP yang legalitasnya juga masih diragukan.
Pemerintah daerah dan LSM telah mendorong Rencana Implementasi Konservasi Ekosistem Bukit Tigapuluh pada Mei 2009 yang bertujuan untuk mengembangkan lansekap berkelanjutan yang mendukung konservasi keanekaragamanhayati dan kesejahteraan masyarakat lokal yang berbasis pada ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Pemerintah Provinsi Jambi juga baru saja mengajukan diri sebagai provinsi yang ditujukan untuk proyek perintis REDD-plus. Banyak pembuat keputusan juga baru menyepakati untuk memperluas Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Namun APP/SMG masih saja membabat hutan itu. “
Menjadi penting sekali agar hutan alam yang tersisa di lansekap ini dilindungi semaksimal mungkin melalui perluasan taman nasional atau pada konsesi restorasi ekosistem, dan tidak boleh ada lagi izin konversi hutan alam yang dikeluarkan atau dilaksanakan,” ujar Aditya Bayunanda dari WWF-Indonesia. “Lansekap Bukit Tigapuluh merupakan ujian besar bagi kesepakatan iklim Indonesia dengan Norwegia. Kami mengusulkan agar Pemerintah Indonesia mengajukan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut yang dikomitmenkan oleh kesepakatan dengan Norwegia dan berlaku untuk semua hutan, termasuk yang di lansekap Bukit Tigapuluh. Kami tetap siap membantu Pemerintah menemukan cara-cara untuk melindungi hutan dan warisan alam Indonesia.”
###
Catatan Redaksi:
- Laporan dipublikasikan di: http://www.wwf.or.id/btp_report_dec10_pdf
- Laporan disertai oleh bukti pendukung dalam format geo-referensi termasuk peta deforestasi di kawasan dan foto-foto terkait. Klik tautan berikut untuk mengunduh laporan tersebut http://www.wwf.or.id/btp_evidence_google_earth""
- Siaran Pers bersama LSM soal Bukit Tigapuluh tahun 2009 bisa diunduh di:http://www.savesumatra.org/index.php/newspublications/pressdetail/8
- Pada 2007, perusahaan afiliasi APP membangun satu jalan logging baru dan transportasi kayu yang memotong Lansekap Bukit Tigapuluh jadi separuh, dan dibangun di atas Hutan Bernilai Konservasi Tinggi tanpa adanya analisis dampak lingkungan. Ini sangat merusak lansekap mengingat semakin terbukanya akses bagi para perambah dan pemburu satwa yang tak pernah menggunakan jalan ini sebelumnya. .
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi :
- Susanto Kurniawan (EoF) : +628127631775 / santo@jikalahari.or.id
- Diki Kurniawan (KKI Warsi) : +628127407730 / dicky@warsi.or.id
- Julius Paolo Siregar (FZS) : +6281380656556 / combi_regs@yahoo.co.id
- Aditya Bayunanda (WWF-Indonesia) : +62818265588 / abayunanda@wwf.or.id