SULITNYA PERLINDUNGAN GAJAH?
Oleh: Wishnu Sukmantoro
Peringatan hari bumi sudah selesai dan dalam minggu tersebut, ada beberapa peristiwa penting berkenaan dengan konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan di Indonesia. Pertama, workshop Asian Elephant Range State yang diselenggarakan di Hotel Sangrila Jakarta tanggal 18 – 20 April 2017. Kedua, pada saat yang sama, kematian gajah terdengar dari Aceh, Jambi dan Lampung. Ketiga, pada saat yang sama pula, polda Jambi dan Penegak Hukum PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) Indonesia melakukan penangkapan gading gajah beserta pelaku di Jambi.
Dalam strategi nasional konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan tahun 2007 – 2017 dan sebagai target prioritas nasional Kementerian KLHK, konservasi gajah ditargetnya mencapai peningkatan populasi 10% dari angka sebelumnya. Peningkatan populasi ini menjadi acuan dalam kinerja pemerintah dan mitra. Dalam perjalanannya, perwujudan peningkatan populasi adalah sangat sulit terlaksana. Mengapa demikian? Pertama, metodologi pengumpulan data populasi di lapangan yang berbeda-beda belum standar di banyak tempat, kendala biaya dalam pengumpulan data dan kapasitas peneliti. Kedua, minimal 4 ancaman terbesar kematian Gajah Sumatera dan Kalimantan yaitu konversi lahan yang menurunkan kualitas habitatnya, konflik gajah manusia, perburuan dan penyakit.
Ketiga, target konservasi gajah yang terlalu domain di pemerintah. Padahal posisi sebaran gajah sumatera saat ini tidak hanya di kawasan konservasi, bahkan 90% habitatnya berada di konsesi perusahaan atau binaan masyarakat di banyak tempat. Keempat, upaya konservasi yang dilakukan sangat terbatas pada kegiatan penelitian, mitigasi konflik dan patroli yang fokus di beberapa tempat saja dengan dana atau dukungan yang terbatas pula.
Dari catatan dari tahun 2007 – 2017, posisi kematian gajah meningkat secara trend di kantong-kantong populasi penting, meskipun ada penurunan tahun 2016 – 2017 seperti di Propinsi Riau. Dari 37 kantong gajah sumatera dan 1 kantong populasi gajah kalimantan (yang berada di wilayah Indonesia – Kalimantan Utara), kantong-kantong populasi yang bisa dipertahankan dalam jangka panjang ternyata tidak sampai 50%. Wilayah tersebut adalah Aceh (kondisi habitat hutan yang masih baik meskipun sangat rawan dalam kepastian perlindungan spesies dan habitatnya), Bengkulu (Kerinci Seblat) dan Lampung (Taman Nasional Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan).
Kantong-kantong lain, sangat memprihatinkan terutama kepastian kelangsungan hidupnya meskipun terdapat status kawasan konservasi seperti di Suaka Margasatwa Balai Raja dan Taman Nasional Tesso Nilo (Propinsi Riau). Beberapa alternatif kawasan penting di luar konservasi yaitu Restorasi Ekosistem Jambi dianggap masih memungkinkan menjadi kantong populasi dalam jangka panjang sedangkan di selatan Bukit Tigapuluh yaitu kantong Serangge – Pemayungan yang dahulunya potensi besar sebagai kantong habitat yang dikelola dalam jangka panjang, sudah habis dihajar oleh konsesi perusahaan sehingga kedua kantong ini terpisah dan memunculkan inbreeding depression (penurunan kualitas genetik pada keturunan kelompok gajah).
Dalam kacamata stakeholder, peningkatan populasi juga dibantu oleh gajah-gajah eks-situ (yang sudah tidak tinggal di habitatnya), misalnya di Pusat latihan Gajah, di Kebun Binatang atau di Taman Safari atau di unit-unit mitigasi konflik. Konteks peningkatan populasi gajah yang menyertakan populasi eks-situ meskipun diperdebatkan oleh kalangan ekologi, dapat menjadi alternatif peran dalam mempertahankan populasi gajah. Meskipun demikian, catatan kematian dan kelahiran di eks-situ diperkirakan masih seimbang, artinya peningkatan atau penurunan populasi eks-situ ini masih fluktuatif. Pemerintah dan mitra konservasi sudah berfikir ke depan bahwa upaya eks-situ ini juga diupayakan untuk mendorong kelahiran gajah dan melalui proses rehabilitasi, gajah kemudian dilepas liarkan, tetapi masalahnya adalah ketersediaaan habitat.
Dalam Asian Elephant Range State workshop yang dihadiri sekurangnya 13 negara yang memiliki populasi gajah asia, isu konservasi habitat adalah isu yang paling penting bersamaan dengan pengembangan rencana aksi dan legislasi (mendorong penguatan regulasi) di tingkat negara. Dalam konteks manajemen populasi, penguatan dalam perlindungan habitat di kawasan konservasi, tata kelola habitat yang telah terfragmentasi (di wilayah konsesi perusahaan atau binaan masyarakat), peningkatan upaya mitigasi konflik gajah dan manusia dan penurunan nangka perburuan gading adalah hal yang paling utama. Dalam konteks mitigasi gajah – manusia dan respon anti perburuan, penguatan tim respon gajah yang membantu dalam monitoring gajah dan mitigasi konflik gajah adalah isu teratas, diikuti oleh kegiatan penyadaran masyarakat dan pengembangan panduan mitigasi konflik terpadu yang banyak tidak dimiliki oleh negara-negara tersebut.
Bagi Indonesia, selain perlindungan yang intensif Gajah Sumatera di kawasan konservasi yaitu dengan memperkuat unit – unit patroli kawasan secara intensif, tata kelola populasi kecil di habitat – habitat yang terfragmentasi adalah jalan lebih baik untuk meningkatkan kepastian keberlangsungan populasi ini dalam jangka menengah sampai panjang. Tata kelola populasi kecil yang terfragmentasi dan tidak terkoneksi antara meta-meta populasi gajah tersebut dilakukan dengan rekayasa habitat, reintroduksi individu gajah terutama memastikan gajah jantan terkoneksi dalam kelompok kelompok kecil gajah – gajah betina sehingga meningkatkan peluang kelahiran anak (hal ini sedang di uji coba Gajah jantan bernama Harris dari Bukit Tigapuluh Jambi di introduksi ke kelompok gajah betina di Restorasi Ekosistem Jambi).
Penguatan pengelolaan dan peningkatan kualitas habitat di populasi-populasi kecil tersebut dalam pengkayaan habitat makanan, air dan mineral untuk kebutuhan gajah, rekayasa tata kelola masyarakat dengan bermukim secara cluster atau berkelompok termasuk pondok kebunnya sehingga memudahkan koordinasi antar masyarakat untuk mitigasi konflik bersama dan mendorong perusahaan – perusahaan memiliki tim – tim patrol yang memonitor pergerakan gajah dengan mitra LSM untuk memastikan tidak ada kematian gajah dan penguatan pos-pos jaga konsesi memantau keluar masuk pekerja atau masyarakat dan sebagai peringatan dini pemburu yang datang ke konsesinya. Stategi kerjasama pemerintah, LSM dan perusahaan ini sudah diujicobakan hampir selama dua tahun di kantong gajah Giam Siak Kecil dan Tesso Nilo (Propinsi Riau).
Secara umum, penegakan hukum untuk perburuan gading, meningkat dalam dua tahun terakhir, terutama di Jambi dan Riau dan tahun ini juga di Kalimantan Utara. Sebanyak 4 – 5 kasus perburuan dan perdagangan gading dengan melibatkan total 15 orang anggota sindikat telah berhasil digagalkan dengan putusan pengadilan mencapai 2 tahun 6 bulan (putusan maksimal sesuai undang undang adalah 5 tahun). Peningkatan kasus penegakan hukum dapat menimbulkan efek gentar, alhasil catatan di Riau dan Jambi mengenai angka kematian akibat perburuan adalah menurun drastis meskipun masih terjadi penangkapan dan kematian gajah di Jambi tahun 2017. Dari penelurusan terdakwa, perdagangan gading ini juga melibatkan sindikat dari warga negara Singapura dan Malaysia.
Pemerintah dalam hal ini KLHK, pemerintah daerah, mitra LSM, perusahaan dan masyarakat dapat mengambil peran dalam pengembangan Elephant Intensif Management Zone (EIMZ) untuk tujuan tata kelola gajah dan habitatnya dalam jangka panjang. Langkah pertama adalah mengidentifikasi lokasi – lokasi yang memiliki kepastian dalam pengelolaan populasi gajah dalam jangka panjang meskipun dengan usaha minimal, jika tidak ada, adalah lokasi-lokasi yang teridentifikasi tersebut perlu dibangun rencana aksi yang pasti dan efisien untuk menjamin perlindungan gajah dengan pengembangan minimum essensial force (MEF) misalnya tim - tim patroli yang kuat dan mampu memberikan perlindungan gajah setiap saat di habitatnya, pengembangan pembinaan habitat di kawasan yang terlah teridentifikasi memiliki nilai tinggi bagi habitat gajah, dan tata kelola masyarakat dalam upaya sisitem peringatan dini dan mitigasi konflik.
EIMZ juga dapat dilakukan dengan rekayasa kawasan misalnya dengan membangun pembatas artifisial yang tidak permanen (sehingga gajah terkonsentrasi di dalam lokasi pembatas tersebut dengan minimal luas yang harus dipelajari dan berkaitan dengan wilayah jelajah gajah yang luas (antara 300 – >1000 km2) apabila sulit dilakukan patroli gajah secara ketat dan dibarengi pembinaan habitat di dalam lokasi target.
Selamat Hari Bumi 2017 dan mari peduli Gajah Indonesia.