“SLOW FOOD”: SENSASI KULINER ASLI SEBAGAI EKSPRESI GAYA HIDUP, BUDAYA, DAN KEARIFAN TRADISIONAL
Cristina Eghenter membantu WWF Indonesia sebagai ahli isu Social & Development di bidang konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Antropolog dan praktisi pemberdayaan masayarakat ini menyimpan kesan yang begitu mendalam dengan Kalimantan. Ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di pulau tersebut melakukan penelitian dan survei untuk program S3-nya di bidang ethnohistory dan hubungan manusia dengan Sumber Daya Alam. Profile...
Oleh Cristina Eghenter
Pada tgl 1 April 2011, setelah peresmian Cultural Field School (CFS), rombongan tamu menuju lokasi Terang Baru di mana disiapkan acara makan siang untuk para undangan dan masyarakat, tepatnya di gereja GKII. Ternyata makanan sudah tersedia disajikan dalam banyak panci dan wadah yang besar di atas empat meja di satu pojok gedung gereja. Setelah saya melihat dari dekat, baru saya sadar bahwa semua jenis makanan adalah makanan lokal dan masakan dari bahan asli daerah dataran tinggi Krayan.
Bahkan ada beberapa makanan yang sangat “unik” dan cukup “asing.” Misalnya, ada satu jenis makanan bentuknya bulat seperti permen besar berwarna hitam dihiasi garis putih. Terlihat cantik sekali dan menggelitik rasa penasaran saya untuk mencicipinya. Ternyata itu adalah sejenis jamur yang tumbuh di ladang pada musim tertentu, rasanya sedap dan teksturnya lembut.
Tidak hanya itu, dalam beragam sajian kuliner siang itu, ada juga nasi putih hitam dan merah varietas lokal adan Krayan, beberapa jenis bubur (yang disebut dalam bahasa lokal ""biter""), bermacam-macam hidangan olahan daging kerbau, ikan, siput, dan anakan lebah madu. Selain itu, banyak juga jenis sayuran yang dimasak mulai dari ubud rotan dan palem, hingga ubi, pakis merah dan hijau, serta tumbuhan hutan lainnya.
Setelah menikmati hidangan yang berlimpah dan lezat itu seraya dimanjakan oleh alunan suara merdu paduan suara ibu-ibu dari Long Umung, saya merasa bahwa masakan yang disajikan hari itu sungguh kaya rasa “baru” yang “antik.” Ya, antik karena sajian itu merupakan masakan masyarakat adat sejak jaman dulu.
Makan siang pada hari itumenjadi suatu pengalaman yang luar biasa penuh “petualangan” rasa dan kenikmatan tersendiri, sebuah sensasi kuliner asli Krayan yang tentu tidak mungkin didapat atau dirasakan di tempat lain. Makanan tersebut juga memiliki nilai ektra karena mengekspresikan kearifan lokal masyarakat adat serta pengetahuannya tentang memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan tanaman di sekitarnya.
Saya teringat dengan gerakan sosial yang disebut “slow food movement,” sebuah inisiatif di Eropa (awalnya dari negeri Itali) yang ingin mempertahankan makanan tradisional dari setiap daerah dan suku etnis di seluruh dunia, menghargai varietas lokal yang hanya bisa tumbuh di daerah tertentu. Oleh karena dia tumbuh di daerah tertentu, dia punya cita rasa yang khas berkat air, tanah, benih, cara dan praktek budidaya, dan udaranya.
Slow food ini bukan inisiatif sekedar makanan saja sebenarnya. Nilai paling penting dari inisiatif ini adalah mepertahankan nilai masakan daerah yang berasal dari sumber daya alam dan tumbuhan asli daerah, yang diolah dan diproses berdasarkan tradisi masyarakatnya sendiri. Masakan menjadi ekspresi budaya dan kearifan lokal dalam kaitan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu masakan tradisional patut dilestarikan dan dipromosikan, serta dilindungi bahan bakunya dengan pengakuan HKI (Hak akan Kekayaan Intelektual) dan indikasi geografis (IG).
Nama gerakan “Slow food’ tentu punya sasaran utama juga yakni membendung belenggu “fast food” (McDonald, Burger King, Kentucky Fried Chicken, dll) yaitu makanan ‘global’ (bukan lokal) di mana nilai bahan dan kearifan tradisional sudah tidak ada lagi, bahkan kerap kali publik tidak mengetahui dari mana bahan makanan tersebut berasal.
Pengalaman makan siang di Terang Baru menjadi sebuah pengalaman “slow food” di dataran tinggi Jantung Borneo. Sudah selayaknya masyarakat lokal turut mempromosikan aspek budaya ini dalam rangka mendorong pengembangan ekowisata di daerahnya. Salah satu caranya adalah dengan menawarkan menu lokal (local cuisine) kepada wisatawan. Turis akan terpesona akan rasa segar, unik, dan bumbu alami yang menjadi ciri khas masakan di kawasan hutan.
Di Indonesia sendiri sudah muncul kesadaran di masyarakat bahwa apa yang kita pilih sebagai makanan juga berdampak pada lingkungan dan bumi kita. Gaya konsumsi di kota seperti memilih produk organis dan ramah lingkungan, menghargai masakan tradisional, mendorong konsumsi produk lokal yang tersedia tanpa perlu diimpor dari jauh dengan biaya dan karbon sangat tinggi adalah beberapa contoh langkah nyata guna membantu ekonomi lokal dan kelestarian lingkungan.