SIMBA DAN CERITA DI BALIKNYA
Oleh: Mayawati NH (MyTrip Magazine)
“Saya pernah berenang mengejar Simba yang putus talinya saat di-tonda,” cerita Pak Herman (WWF-Indonesia), asisten perahu cepat Simba. Di-tonda maksudnya diikat dan ditarik di belakang saat kapal induk (kapal Menami) melaju untuk berpindah lokasi.
“Pernah dalam satu malam, Simba lepas tiga kali. Waktu di Pulau Kapota di Wakatobi. Sedang musim angin barat itu,” sambungnya lagi sambil geleng-geleng kepala. Pak Herman yang asli Bajo dan Pak Muhidin yang berasal dari Wakatobi adalah kru Kapal Menami yang bertugas khusus di perahu cepat Simba. Pak Muhidin bekerja di Kapal Menami di bawah bendera WWF Indonesia sudah 10 tahun, sedangkan Pak Herman 8 tahun sebagai karyawan WWF-Indonesia.
Saya membayangkannya pasti capek sekali!. Kapal induk bergeraknya lumayan kencang, sekitar 8-10 knot. Jarak waktu yang cukup panjang dari saat kru yang berjaga di belakang kapal mengetahui tali putus sampai akhirnya kapal berhenti dan Pak Herman nyebur untuk berenang mengejarnya, pasti sudah terlewat beberapa ratus meter. Iya kalau ombak kebetulan tenang, kalau sedang tinggi dan ada arus? Super kerja keras!
Kedua awak Simba ini, seharian bekerja keras mengantar kami, para penyelam, ke lokasi selam, dan membantu kami saat persiapan nyemplung ke laut. Setelah kami semua menghilang di bawah air, mereka harus mengarahkan Simba ke lokasi perkiraan kami akan surfacing.
Tidak seperti recreational dive dimana satu tim penyelaman yang terdiri dari 4-6 orang muncul dari bawah air di lokasi yang sama - atau kalaupun beda, tidak lebih dari 20 m, kalau tim ekspedisi beda cerita. Tim yang terdiri dari minimal 4 orang akan muncul di permukaan di 3 tempat yang berbeda jauh. Minimal jaraknya 100 m, bahkan terjauh bisa 300 m lebih.
Mata mereka harus benar-benar jeli melihat penyelam maupun surface marker buoy (SMD) yang muncul di permukaan. Setelah menjemput para penyelam, Simba masih harus ‘menjemput’ SMD di 3 titik yang terpisah jauh, kadang juga terseret arus hingga jauh sekali.
“Kapal Menami dulunya kapal barang, lalu dibeli oleh WWF,” cerita Pak Muhidin. Kapal ini sandarnya di Mandati, salah satu desa pelabuhan di Pulau Wangi-wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. “Menami sudah ke mana-mana, termasuk ke Banda, Flores, dan keliling Wakatobi. Kami pernah kena badai di sekitar Wakatobi, air masuk sampai dek yang ada ruang makan itu,” sambungnya lagi. Wah, tinggi juga ya. Seram.
“Pernah merasa takut nggak, Pak?” tanya saya penasaran. “Nggak, pasrah saja, sudah risiko pekerjaan,” jawabnya santai.
Ekspedisi atau kegiatan pemantauan kawasan perairan oleh WWF-Indonesia cukup banyak, jadi kapal dan kru Menami paling lama bersandar di Mandati sekitar 10 hari. Saat itulah Pak Muhidin, Pak Herman, dan para kru lain beristirahat dan pulang ke rumah masing-masing. Usai itu, mereka berangkat melaut lagi, menjalankan tugas.
Cerita-cerita itu saya dengar waktu saya terpaksa melewatkan penyelaman kedua karena Buoyancy Compensator Device (BCD) saya sobek alias pecah di bagian sambungan dengan inflator-nya, dan saya harus menunggu rekan-rekan tim menyelam.
Banyak lagi sebenarnya cerita-cerita yang bisa saya gali dari mereka, tapi tugas telah menanti mereka, menjemput para penyelam yang sudah bemunculan di permukaan.