SELUK BELUK BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI INDONESIA
Oleh Agis Riyani
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Pada tahun 2012, produksi rumput laut budi daya Indonesia mencapai 5,9 juta ton, meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 2008 yang sebesar 2,1 juta ton. Rumput laut itu sendiri dapat dihasilkan dari budi daya di laut (seperti jenis Eucheuma sp. dan Kappaphycus sp.) dan tambak (seperti jenis Gracilaria sp). Lokasi budi daya rumput laut pun banyak tersebar di daerah tengah dan timur Indonesia, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, Jawa Timur, dan Banten.
Dilihat dari aspek budi daya, rumput laut memiliki banyak keuntungan: tidak memerlukan modal tinggi, teknologi budi dayanya sederhana sehingga mudah dilakukan oleh siapapun, dapat diintegrasikan dengan budi daya lain atau polikultur (misalnya budi daya ikan bandeng dengan Gracilaria sp.), tidak perlu menggunakan pakan, peralatan yang digunakan mudah didapatkan, mudah dalam penanganan saat panen (biasanya rumput laut hanya dicuci dan dikeringkan), siklus budi dayanya singkat (hanya membutuhkan waktu 45 hari), dapat diolah secara rumah tangga untuk menjadi produk siap konsumsi, serta bisa dilakukan sebagai usaha sampingan.
Namun, budi daya rumput laut juga tidak terlepas dari berbagai ancaman, seperti serangan penyakit ice-ice, serta masih banyaknya pembudidaya yang tergiur untuk menggunakan berbagai produk kimiawi buatan pabrik yang tidak sesuai peruntukkannya. Penggunaan produk kimiawi pada kenyataannya juga dapat menyuburkan gulma yang menjadi hama bagi rumput laut dan dapat menurunkan kualitas perairan apabila digunakan secara berlebihan. Kualitas rumput laut yang turun karena dipanen sebelum waktunya, tidak adanya pengelolaan kebun bibit rumput laut, penggunaan bibit yang tidak berkualitas, rendahnya harga jual (disebabkan karena para tengkulak yang datang langsung ke lokasi budi daya untuk membeli rumput laut), serta penggunaan pestisida dalam persiapan tambak pun menambah daftar panjang persoalan budi daya rumput laut. Berbagai aspek sosial dan legalitas usaha, seperti perizinan usaha budi daya serta penempatan lokasi budi daya rumput laut yang sesuai dengan tata ruang daerah masing – masing pun patut diperhitungkan. Budi daya rumput laut acap kali dilakukan di area sekitar ekosistem terumbu karang dan lamun, yang dapat berpotensi merusak ekosistem laut penting tersebut.
Mengacu pada permasalahan tersebut WWF-Indonesia membuat panduan praktis Better Management Practices (BMP) Budi Daya Rumput Laut Gracilaria dan Budi Daya Rumput Laut Kotoni, Sacol, dan Spinosum. Keduanya dibuat oleh tim perikanan budi daya WWF-Indonesia dengan melibatkan sejumlah ahli budidaya rumput laut, mulai dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya (Ditjen DJPB), dinas kelautan dan perikanan daerah, pengusaha, hingga kalangan akademisi universitas. Selain membahas tentang teknis budi daya rumput laut sesuai dengan Cara Budi daya Ikan yang Baik (CBIB), dan Standar Nasional Indonesia (SNI), di dalam BMP ini juga menelaah aspek legalitas dan sosial usaha budi daya rumput laut yang mengacu pada salah satu poin dalam standar Aquaculture Stewardship Council (ASC). Harapannya, BMP ini dapat digunakan oleh pembudidaya skala kecil dan menengah guna mempraktikkan cara-cara budi daya rumput laut yang bertanggung jawab sehingga kualitas produk dan produktivitas usaha budi daya rumput laut di Indonesia semakin meningkat.